
MATA INDONESIA, JAKARTA – Kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 sudah memasuki hari ke-5. Isu-isu negatif pun mulai bertebaran untuk mempengaruhi pilihan rakyat Indonesia, tak terkecuali isu suku, agama dan ras.
Menyikapi kondisi itu, Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes, memprediksi isu-isu identitas dalam Pilpres 2019 tak laku lagi. Sebab setiap kubu memiliki inovasi isu untuk saling menyerang secara politik.
“Mengapa isu identitas tidak dimainkan? Karena sekarang nyaris isu itu variabelnya tak sekuat waktu pilgub DKI,” ujar Arya saat ditemui seusai diskusi Darurat Pemilu 2019 di Jakarta Pusat, Kamis 27 September 2018.
Arya beralasan bahwa efek isu politik identitas tidak cukup kuat mendulang suara di tiap kubu. Buktinya, kata dia, selama tiga tahun, elektabilitas Joko Widodo dan Prabowo Subianto cukup stagnan meski isu sensitif itu sempat dimainkan.
Dalam survei CSIS, Jokowi mendulang suara 50,9 persen pada 2017. Angka ini naik dari dua tahun sebelumnya, tapi tak terlampau signifikan. Data elektabilitas Jokowi pada 2015 dan 2017 berturut-turut 36,1 persen dan 41,9 persen.
Sementara angka elektabilitas Prabowo pada 2015, mantan Danjen Kopassus itu memiliki pendukung 28 persen. Kemudian pada 2016 berjumlah 24,3 persen dan pada 2017 sebesar 25,8 persen. (Rayyan Bahlamar)