HeadlineNews

Diplomasi Ekonomi Tak Bisa Lepas dari Landasan Politik Pendiri Bangsa

MATA INDONESIA, FUZHOU – Diplomasi ekonomi yang dijalankan suatu negara tidak bisa lepas dari politik. Semisal saat Soekarno sebagai Presiden Indonesia pertama yang konsisten memegang dasar negara Pancasila, juga menjalankan diplomasi ekonomi melalui pelaksanaan Konferensi Asia Afrika 1955.

Kala itu, Bung Karno menugaskan PM Indonesia Ali Sastroamidjojo, bertemu dengan Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok untuk menyampaikan undangan resmi menghadiri Konferensi Asia Afrika 1955.

“Bung Karno menyampaikan sebuah pesan, ‘tibalah saatnya bagi Tiongkok untuk membuka pintunya bagi dunia’. Kemudian, pemerintah Republik Rakyat Tiongkok pun menunjuk utusan khususnya, PM Zhou Enlai,” ujar Presiden RI kelima Megawati Soekarnoputri usai menerima gelar doktor kehormatan (Honoris Causa) bidang diplomasi ekonomi dari Fujian Normal University, di Fuzhou, Tiongkok, Senin 5 November 2018.

Dalam pembukaan KAA itu, lanjut Megawati, Bung Karno menyatakan empat hal. Pertama rakyat di manapun di kolong langit ini, tidak ingin ditindas dan dieksploitasi oleh bangsa lain. Kedua, rakyat dimanapun menuntut kebebasan dari kemiskinan dan ketakutan yang disebabkan ancaman.

Ketiga, rakyat dimanapun menuntut kebebasan untuk menggerakkan aktivitas sosial yang membangun dalam upaya meningkatkan kebahagiaan individu maupun masyarakat. Keempat, rakyat dimanapun menuntut kebebasan berbicara untuk menuntut hak-haknya, yaitu demokrasi. “Semua diplomasi ekonomi tak kan lepas dari politik maka dasar politiknya harus ada,” kata dia.

Sementara itu, dalam pembukaan KAA, Zhou Enlai menyampaikan pidato yang menegaskan bahwa Tiongkok tiba di KAA untuk menggalang persatuan, bukan konflik. Zhou juga menegaskan delegasi Tiongkok datang bukan untuk menyebarluaskan ideologi politik maupun sistemnya.

Yang dicari adalah persamaan, untuk menyingkirkan penderitaan dan bencana akibat kolonialisme. Dalam konferensi tersebut, lanjut Megawati, Zhou Enlai mengusulkan lima prinsip yang dikenal sebagai Lima Prinsip Perdamaian Zhou Enlai.

Yakni saling menghormati kedaulatan satu sama lain, tidak saling menyerang, tidak saling mencampuri urusan dalam negeri satu sama lain, kesetaraan dan kerja sama yang saling menguntungkan, dan hidup berdampingan dengan damai.

Lima Prinsip Enlai akhirnya menjadi bagian penting dan menjadi semangat Dasa Sila Bandung, yang merupakan 10 prinsip yang membawa gelombang kemerdekaan dari bangsa-bangsa terjajah di Asia, Afrika dan Amerika Latin.

Menurut Mega yang juga Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), prinsip-prinsip itu sangat kontekstual saat ini atau 63 tahun setelah KAA 1955 dilaksanakan. Artinya, diplomasi ekonomi tidak boleh lepas dari landasan politik yang sudah dituliskan para pendiri bangsa. (Puji Christianto)

Tags

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Close