
MATA INDONESIA, JAKARTA – Tren positif nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus mengalami penguatan dalam beberapa hari terakhir ini. Penyebabnya, asing mengguyur dana investasinya masuk ke pasar saham dan obligasi negara.
Hal itu diamini Pengamat Ekonomi Universitas Indonesia, Prof Ari Kuncoro yang menyebutkan kondisi tersebut membuktikan para investor asing tertarik dengan obligasi negara seiring harga yang murah dan tawaran imbal hasil (yield) tinggi.
“Dulu orang kaya alias tabur uang ke Amerika Serikat. Saat itu mereka berpikiran AS akan jadi power house manufacturing. Sekarang mereka mikir bakal ada kenaikan bunga acuan AS pada Desember mendatang, dan bingung mau investasikan uangnya,” kata Ari saat berbincang dengan MataIndonesia.id, Rabu 28 November 2018.
Meredanya intensi perang dagang AS-Tiongkok, kata dia, juga menjadi faktor penguatan nilai tukar rupiah. Investor pun langsung berpaling memburu saham-saham yang bonafit di Indonesia.
Mengapa investornya harus Indonesia? Ari beralasan karena mereka tahu kondisi politik dan ekonomi Indonesia masih konsisten. Seperti Pemilu maupun Pilpres yang selama ini berlangsung damai dan aman. Termasuk industri otomotif di Indonesia masih dalam kategori sehat dan aman.
Ketika ditanya bagaimana kondisi perekonomian Indonesia, Ari menjawab, “Sangat aman, dengan berbaliknya ekspektasi luar negeri terhadap Indonesia. Pertumbuhan ekonomi yang masih di angka 5,1-5,2 persen sudah lumayan baik dan realistis. Daripada berambisi angka 7-8 persen nanti malah terpeleset jatuh.”
Bahkan Ari menyatakan jika masih ada pihak yang mendesak pemerintah mengejar target pertumbuhan ekonomi di 7-8 persen, bisa dikategorikan sebagai orang yang tidak mengerti persoalan ekonomi. Dirinya pun mengibaratkan laju pertumbuhan ekonomi bak kompetisi mobil balap Formula 1 (F1).
Para pembalap F1 mengetahui kapan dia berjalan kencang dan lambat sesuai dengan kondisi track balapan. “Pembalap F1 itu bisa lari kenceng kalau jalannya kering. Sama seperti posisi pemerintah saat ini, saat mereka tahu ‘track’ banjir, gak jadi ngebut. Jadi yang terpenting itu inflasi nya rendah, daya beli dipertahankan atau bahkan naik,” kata dia.
“Jadi pemerintah punya paradigma yang realistis dia tahu kalau dia genjot 5,6-5,7 maka defisit akan melebar lagi. Hal tersebut melihat ekspor yang masih lemah, sehingga nanti rupiah tertekan lagi. Alhasil pertumbuhannya oke lah 5,2 inflasinya ditekan itu kombinasi yang optimal, jadi pertumbuhan dan inflasi jangan hanya pertumbuhan aja.” (Yurinta Aisara)