Headline
Gregor Neonbasu: Aksi 299 Ikuti Pola Pemilihan Gubernur DKI Jakarta

Gencarnya pemberitaan media mainstream dan media sosial tentang rencana “Aksi 299” turut berbias ke daerah-daerah di seluru pelosok Indonesia. Diberitakan bahwa aksi yang diinisasi Alumni 212 tersebut akan menggerakan 50 ribu orang mengepung gedung DPR RI Senayan pada tgl 29 September 2017 dengan mengusung dua tuntutan, yaitu menolak Perppu No. 2/2017 tentang Ormas (Perppu Ormas) dan melawan kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI).
http://nasional.kompas.com/read/2017/09/25/17034671/tolak-perppu-ormas-dan-kebangkitan-pki-alumni-212-akan-gelar-aksi-299 dan http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/17/09/27/owxo44330-ketua-presidium-alumni-212-hanya-ada-2-agenda-di-aksi-299
Saya melihat ada semacam pengulangan pola gerakan yang mengadopsi gerakan suksesi Gubernur DKI Jakarta. Aktornya masih sama (para pelaku Aksi 212), dan kelompok massa agama yang digerakan juga sama. Yang berbeda hanyalah tuntutannya (agenda), yang saya yakini bukanlah agenda sesungguhnya.
Tak bisa dipungkiri bahwa gerakan ini bukan gerakan politik. Hampir dapat dipastikan bahwa ia adalah gerakan politik pragmatis.
Melibatkan umat (kelompok identitas agama) ke dalam gerakan politik pragmatis adalah tindakan salah menafsir peran agama dan tradisi dalam dinamika perubahan dan arus besar globalisasi.
Mengutip Prof. Dr. Magnis-Suseno SJ, agama tidak hanya memberi pengaruh positif dalam masyarakat, melainkan juga memainkan suatu watak ganda. Di satu pihak agama dapat menopang perdamaian, tetapi di lain pihak, dapat menyulut konflik, maka agama terbuka untuk diperalat secara politik (F. Budi Hardiman [Ed.] 2016: 110-111). Usaha kita bersama adalah menjaga dan mengawal ‘agama’, agar tidak diperalat dalam peta kehidupan politik dan berbagai perkara yang pragmatis dan dangkal.
Di bawah ini adalah catatan kritis saya dalam kapasitas saya sebagai seorang Antropolog.
Indonesia lahir dalam iklim yang majemuk dan beragam. Semenjak awal kemerdekaan (1945), Indonesia selalu unggul sebagai bangsa dan negara yang selalu memberi respek bagi kemajemukan atau keberagaman tersebut. Dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, kemajemukan dan keberagaman ini sebagai harta karun bangsa. Karena itu harta karun tersebut serentak merupakan tambang emas, yang tidak boleh dianggap sepi.
Mengapa ‘keberagaman’ dan ‘kemajemukan’ disebut tambang emas? Oleh karena keberagaman dan kamajemukan itu adalah kekayaan yang turut menambah ‘perkasa’ dan ‘indahnya’ Indonesia. Indah dan perkasa di sini, tidak saja dari aspek tampilan fisik-material, melainkan citra kedalaman hati dan model spiritual cosmis sebagai bangsa dan Negara yang bermartabat.
Pada pelana internasional, Indonesia senantiasa unggul oleh karena ‘pola kemajemukan’ dan ‘strategi keberagaman’ yang tumbuh secara alami, dalam bingkai sebuah keindahan mempesona, yang secara kultural senantiasa menarik mata dan hati dunia dan masyarakat luar. Keindahan natural Indonesia, sebetulnya telah dimiliki dari pusara kehidupan bersama, yang kemudian dirajut dan terus dipelihara dalam paradigma yang multi-fungsi, baik lokal-nasional, maupun regional-internasional.
Untuk menjaga harta karun keberagaman tersebut, Indonesia sangat membutuhkan dua hal, pertama stabilitas politik, dan kedua kesadaran baru mengenai realitas Indonesia yang multikulturalis (ethnic) dan pluralis (agama). Walau dalam sejarah perjalanan bangsa dan Negara tercinta, agama terkadang dapat menjadi pemicu ketidak-toleran dan dengan demikian juga dapat menjadi alat untuk mencipta kekerasan.
Kedangkala, hidup beragama dapat mencipta suasana kehidupan yang tidak menentu, dan jika seseorang atau kelompok yang senantiasa memelihara kedangkalan tersebut secara sepihak, maka bayarannya adalah gerakan sosial yang tidak teratur.
Pada pelana bangsa dan Negara yang sudah memasuki usia 72 tahun, agama mestinya menciptakan toleransi, dan semakin memberanikan orang untuk hidup berbagi dan terus berbagi oleh karena didorong harta karun keberagaman yang multikultural dan pluralis.
Hakekat toleransi selalu mengerucut pada usaha yang segar untuk memelihara (a) demokrasi dan (b) keadilan. Itu berarti ketika agama digunakan untuk menumpas toleransi, maka bayarannya adalah pertama hidup demokrasi terganggu, dan kedua, keadilan akan menjadi sangat sulit dibangun. Karena itu toleransi adalah akar tunggang atau pondasi bagi usaha untuk membangun demokrasi dan keadilan.
Jika Indonesia tidak membangun sebuah kesefahaman akan harta karun keberagaman yang multikultural dan pluralis, maka krisis multi-dimensi akan selalu mengganggu kehidupan bersama: mulai dari pusat sampai ke daerah-daerah. Apa yang terjadi di Jakarta, turut berbias ke daerah, baik melalui tayangan media, dan kajian serta refleksi dan kontempasli antropologis dari berbagai sudut dunia, termasuk daerah-daerah di seluruh pelosok Indonesia.
Kita sangat mengharapkan para sesepuh politisi untuk serius mengajak semua anak bangsa dan Negara untuk secara tulus dan ikhlas mencintai keberagaman yang multikulturalis dan pluralis pada pelana Indonesia. Tidak boleh ada dusta di antara kita untuk membangun pemahaman yang benar dan bening mengenai realitas sosio-antropologis Indonesia yang majemuk dan beragam.
Mari kita dengan hati segar membagun pemahaman yang benar (dan sungguh-sungguh) mengenai misi agama kita masing-masing, yang selalu mengajarkan kebenaran, kebaikan, kesetia-kawanan, dialog, solidaritas, humanitas dan kesejahteraan bersama (bonum commune). Perubahan yang tengah kita hadapi sebagai bangsa dan Negara adalah salah menafsir peran agama dan tradisi dalam dinamika perubahan dan arus besar globalisasi.
Karena itu, sebagai bangsa dan Negara yang besar dalam perspektif kebersamaan multikultural dan pluralis, kita sangat membutuhkan kategori antrolopologis untuk selalu merasa haus dan lapar akan kebersamaan yang harus terus dipelihara dalam iklim multikultural dan pluralis.
Kebersamaan dan kemajemukan Indonesia sungguh indah menawan, yang telah dipelihara dan diwariskan dari generasi ke generasi. Hal itu tidak boleh dirusak oleh refleksi agama yang tidak benar, atau penghayatan teologi yang salah sasar. Tanda otentik akan kekeliruan dan bahkan kesalahan dalam merefleksi ‘peran agama’ dan ‘teologi’ adalah bukti kemiskinan spiritualitas, yakni hidup dangkal yang terombang ambing ombak pragmatisme.
Refleksi ‘agama’ dan kajian ‘teologi’ dari masing-masing agama dan kepercayaan, tidak boleh alpa memberi respek yang tulus bagi nilai-nilai kemanusiaan dalam perspektif ‘kebersamaan Indonesia’. Jika tidak, maka makna agama dan arti teologi akan kehilangan kekuatan atau intinya (inner power). Refleksi teologi yang benar dan dengan demikian juga penghayatan agama menjadi bermutu, justru oleh karena bermanfaat bagi manusia dalam ikatan kebersamaan Indonesia yang harmonis. Indonesia menjadi harmonis justru karena percikan keberagaman yang secara etnisitas (multicultural) dan agama (plural) telah membesarkan Indonesia semenjak awal kemerdekaan hingga kini! [*]