Jakarta (MI) - Serangan teroris yang ditujukan ke aparat kepolisian kini makin marak. Setelah penyerangan terhadap Markas Kepolisian Daerah Sumatera Utara yang menewaskan seorang anggota polisi pekan lalu, aksi teror yang ditujukan ke aparat kepolisian kemvali terjadi di kawasan Mabes Polri di Jakarta, Jumat (30/6).
Akibat dari serangan tersebut dua anggota satuan Brigade Mobil Kepolisian Negara RI mengalami luka-luka. Kejadian penyerangan menggunakan senjata tajam tersebut terjadi usai shalat Isya di Masjid Falatehan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan yang lokasinya berseberangan dengan lapangan Bhayangkara.
Korbannya adalah Komandan Kompi Satuan Reserse Resimen Satu Gegana Ajun Komisiaris Dede Suhatmi dan anggota Resimen Tiga Pelopor Brigadir Satu Syaiful Bahri, sedangkan identitas pelakunya yang tewas tertembak bernama Mulyadi (28), warga Kampung Pagaulan, Desa Suka Resmi, Kec. Cikarang Selatan, Bekasi.
Sedangkan dalam aksi teror yang terjadi di Mapolda Medan (26/6), petugas piket Ajun Inspektur Satu Martua Sigalingging gugur terkena sabetan parang, sementara pelaku Ardial Ramadhana (34) tewas dan pelaku lainnya SP (43) mengalami luka tembak.
Dari hasil penyelidikan kepolisian, diketahui bahwa pelaku pernah tinggal setengah tahun di Suriah. Selain itu, ditemukan juga tumpukan buku-buku yang bercover gambar dari Ketua ISIS Abu Bakar al-Baghdadi yang berisi propaganda melakukan jihad, setelah melakukan penggeledahan di rumah SP.
Dari buku tersebutlah diketahui adanya sebuah doktrin yang diyakini mereka bahwa melakukan aksi bunuh diri atau membunuh orang-orang yang dianggap musuh adalah sah dan wajib. Jika mereka tewas akan diganjar naik surga dengan segala kenikmatan termasuk dikelilingi oleh para bidadari.
Padahal, pemahaman seperti itu jelas sesat menurut ajaran Islam.
Doktrin Islam tersebutlah yang digunakan kelompok terorisme di Indonesia untuk lakukan penyerangan, terutama kepada kepolisian.
Aparat keamanan khususnya kepolisian selama ini mereka anggap sebagai musuh yang sering menggagalkan rencana mereka.
Karena itulah, kepolisian dianggap sebagai thogut oleh kelompok teroris.
Yang akhirnya membuat, kelompok teroris tersebut menganggap bahwa membunuh kepolisian adalah halal bagi mereka.
Hal itulah yang membuat terjadinya aksi-aksi penyerangan terhadap aparat kepolisian oleh pelaku teror.
Selain itu, penyerangan terhadap kepolisian juga dilakukan karena kelompok teroris di Indonesia memiliki keterbatasan kemampuan.Teroris di Indonesia tidak seperti yang terjadi di Afganistan, Irak, Suriah atau Pakistan yang menggunakan bom berdaya ledak tinggi yang menelan banyak korban jiwa, aksi teror di Indonesia, selain pada kasus bom Bali, masih menggunakan bahan peledak sederhana seperti bom panci, senjata tajam atau senapan rakitan.
Keterbatasan tersebut membuat kelompok teroris lebih memilih menyerang aparat, markas kepolisian, dll sebagai sasaran karena dianggap sebagai otak sebagai pusat komando atau jantung sebagai tumpuan kekuatan.
Penyerangan terhadap jantung institusi kepolisian atau tentara selain efektif dari sisi sebaran publikasi, juga diharapkan menimbulkan effek psikologis lebih besar, baik terhadap pelaku maupun korban dan juga memicu kecemasan pihak-pihak lainnya.
Logikanya kantor kepolisian yang dianggap sebagai sarang macan saja, pelaku berani satroni untuk meningkatkan pamornya, hal itu kemudian akan membuat masyarakat jadi lebih takut terhadap aksi-aksinya.
“Sarang macan saja diserang, “ demikian kira-kira yang tersirat dalam benak publik.
Jadi serangan mereka yang notabenenya hanya menggunakan senjata tajam atau memakai bom yang low explosive akan menimbulkan ketakutan di masyarakat layaknya di negara-negara seperti, Pakistan, Suriah, Irak, dan Afghanistan. (FC)