Jakarta (MI) – Setelah melalui proses dan perdebatan panjang, akhirnya Pemerintah dan Panitia Khusus Rancangan Undang-undang Terorisme (RUU Terorisme) menyepakati pasal yang mengatur tentang penyadapan. Kedua pihak satu suara mengenai izin dan waktu yang diperbolehkan aparat penegak hukum untuk melakukan penyadapan. Demikian menurut Ketua Pansus RUU Terorisme Muhammad Syafii di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (26/7)
Lebih lanjut, Syafii mengatakan selain pasal penyadapan, Pansus dan pemerintah menyepakati dua pasal lain, yaitu terkait pemeriksaan saksi dan perlindungan kepada aparat yang terlibat dalam penyelesaian kasus terorisme. Menurutnya, masih ada tiga pasal yang belum disepakati, yakni pasal Guantanamo, pasal keterlibatan TNI, dan penguatan kelembagaan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Lebih lanjut Syafii menjelaskan, dalam situasi normal, penyadapan harus atas izin pengadilan karena menyangkut kebebasan dan privasi seseorang. Namun, jika dalam situasi yang disebut mendesak atau luar biasa, penyadapan dapat dilakukan terlebih dahulu, baru meminta persetujuan hakim untuk mencegah penyimpangan, jelasnya.
Syafii menjelaskan bahwa seharusnya izin dulu baru disadap. “Tetapi di lapangan, ada hal-hal yang sangat luar biasa yang kalau menunggu izin dulu situasinya bisa berubah. Maka akhirnya kita menemukan solusi. Apa solusi yang bisa membuat orang nyadap dulu baru minta persetujuan, maka disepakati tadi harus ada 3 poin," terang dia. Selanjutnya dia mengungkapkan, tiga syarat untuk menyadap, nantinya akan dimintakan persetujuan pada hakim. “Kalau tiga syarat tersebut dianggap terpenuhi maka aparat penegak hukum berhak melakukan penyadapan,” paparnya.
Namun, Syafii mengaku masih ragu dengan efektivitas penerapan pasal penyadapan yang sudah disepakati itu. Karena, saat ini masih ada ketidakpercayaan kepada aparat penegak hukum. “Kalau aturannya bagus, pelaksanaanya tidak bagus, tetap saja praktiknya tidak bagus. Aturannya kurang bagus, dilaksanakan oleh orang-orang bagus, maka hasilnya dipastikan bagus," pungkasnya.
Sementara itu, anggota tim ahli pemerintah, Muladi, menjelaskan tiga syarat yang mengacu pada UU KUHAP agar aparat penegak hukum dapat meminta persetujuan hakim untuk penyadapan. “Pertama, bahaya maut atau luka fisik yang serius dan mendesak. Kedua pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana terhadap keamanan negara. Ketiga dan/atau pemufakatan jahat yang merupakan karakteristik tindak pidana terorganisasi," kata Muladi.
Salah satu kesepakatan Pansus dan pemerintah adalah Pasal 31A. Dalam pasal itu disebutkan : “Dalam keadaan mendesak, penyidik dapat melakukan penyadapan terlebih dahulu terhadap orang yang diduga mempersiapkan, merencanakan dan melakukan tindak pidana teror, dan setelah pelaksanaannya dalam jangka waktu paling lama 3 hari wajib memberitahukan Ketua Pengadilan Negeri untuk mendapatkan persetujuan.” (TGM)