Jakarta (MI) – Seiring dengan rencana Seleksi bagi 1.600 hakim yang akan dilakukan secara internal oleh Mahkamah Agung (MA), Guru Besar Hukum Pidana Universitas Soedirman (Unsoed) Prof. Hibnu Nugroho, berharap pembukaan seleksi hakim seharusnya menunggu Undang-Undang Hakim yang saat ini tengah di godok oleh DPR. “Karena didalamnya dirumuskan cara rekrutmen secara komprehensif," ujar Prof. Hibnu, Jumat (7/7/2017).
Lebih lanjut Hibnu mengatakan, rekrutmen hakim sebagai pejabat negara bukan suatu hal yang sederhana dan perlu kajian yang mendalam. “Penerimaannya yang harus diubah dari fresh graduate menjadi mereka yang telah matang secara pengalaman, karena dunia penegakan hukum sekarang kan tidak steril-steril banget, bercampur-campur politik. Jadi kalau orang akademisi kan di situ agak malasnya. Karena hampir di semua perguruan tinggi tidak diperbolehkan seperti itu birokrasi diujungnya politik, sehingga hakim non karir yang mendaftar berkurang," tuturnya.
Sebelumnya, Jimly Asshiddiqie juga menyampaikan hal serupa, menurutnya negara seharusnya merekrut hakim dari kelompok profesional dan bukan melalui jalur CPNS. “Karena Hakim itu jabatan, khususnya pejabat negara, dan sifatnya itu kehormatan, bukan jabatan kepegawaian. Tapi jabatan dari orang-orang yang mempunyai integritas dan kehormatan tertentu untuk direkrut menjadi hakim," jelas Jimly.
Jimly berharap, definisi perekrutan hakim harus dikeluarkan dari pengertian calon pegawai negeri sipil (CPNS). “Penting sekali seorang hakim harus direkrut dari para sarjana hukum yang sudah matang, sudah berpraktik jadi advokat, praktik dosen, aktivis, public defender, dan tugas pelayanan hukum lainnya yang sudah matang, baru direkrut jadi hakim," ucap Jimly.
Sedangkan menurut hakim agung Gayus Lumbuun, rekrutmen seharusnya menyertakan Komisi Yudisial (KY). Gayus juga sependapat dengan Jimly, yaitu hakim bukan dari fresh graduate, melainkan dari kelompok profesional. Gayus juga mengusulkan agar perekrutan hakim melibatkan KY.(TGM)