HeadlineKisah

Ini Lho Makna Ijtimak dan Ulama Menurut Pakar

Pada awalnya istilah itu digunakan sebagai sebuah kesepakatan untuk menentukan awal kalender hijriyah.

MATA INDONESIA, JAKARTA – Hingga Senin pagi 17 September 2018 mesin penelusuran Google menunjukkan peristiwa ijtimak ulama jilid II masih banyak dicari orang hingga mencapai 20 ribu penelusuran. Apa sih ijtimak itu? Mengapa harus dikaitkan dengan ulama?

Ijtimak dalam bahasa Arab menurut Wikipedia berkaitan dengan peristiwa saat bumi dan bulan berada dalam posisi bujur langit yang sama. Pada awalnya istilah itu digunakan sebagai sebuah kesepakatan untuk menentukan awal kalender hijriyah.

Imam besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar pernah mengungkapkan contoh ijtimak yang sering dilakukan adalah saat pemerintah menentukan awal bulan Ramadhan atau Syawal. Seperti dilansir Tirto, Nasaruddin menyatakan jika ulama melakukan ijtimak mereka harus lah orang-orang yang pemahaman agamanya sangat tinggi (mujtahid) salah satunya memiliki ilmu fiqh mumpuni.

Sebab dalam sebuah ijtimak harus menghasil ijma atau keputusan yang berlaku bagi kemaslahatan umat Islam.

Dia juga mengaku belum pernah mengetahui ada ijtimak dari ulama di Indonesia yang melahirkan ijma untuk politik praktis. Jadi sebuah kegiatan yang disebut sebagai ijtima ulama legitimasi ijmanya sangat ditentukan oleh kredibilitas “ulama” yang hadir di situ.

Lalu apa itu ulama? Sumanto Al Qurtuby, profesor antropologi di King Fahd University melalui akun facebooknya mengungkapkan kata “ulama” adalah bentuk jamak dari kata “alim” dalam bahasa Arab atau “ilm” yang berarti pengetahuan.

Senada dengan Sumanto, KH Mustafa Bisri dalam ceramah-ceramahnya sering menyatakan bahwa kata “alim” tidak bisa dilekatkan hanya kepada ahli agama. Gus Mus begitu pria asal Rembang itu biasa dipanggil menegaskan setiap orang yang memiliki keahlian tertentu bisa disebut alim, seperti BJ Habibie yang ahli pesawat terbang.

Al-Qur’an menurut Sumanto secara eksplisit menyebut kata “ulama” sebagai “komunitas ilmuwan” ini, khususnya para ilmuwan hard sciences. Dia juga menegaskan dahulu tidak ada sekat-sekat keilmuan antara sekuler dan religius.

Itu sebabnya para sarjana Muslim hebat zaman dahulu menguasai berbagai ilmu pengetahuan atau biasa disebut sebagai “sarjana polymath.” Dia tidak hanya ahli ilmu Islam seperti fiqih, hadis, maupun ushul fiqih tetapi juga ilmu-ilmu yang lain termasuk kedokteran, ekonomi, astronomi, politik, filsafat, sejarah, biologi, dan bahkan antropologi.

Menurut Sumanto ulama zaman dahulu bisa dipastikan seorang sarjana polymath. Mereka pada umumnya berprinsip semua ilmu pengetahuan itu bersumber dari Tuhan karena itu tidak ada istilah sekuler-religius.

Sumanto mengungkapkan istilah ulama disempitkan sebagai orang yang hanya ahli agama Islam pada zaman Turki Ustmaniah pada abad ke-14 Masehi. Rezim itu pula yang melembagakan ulama untuk kepentingan politik pemerintahan.

Tags

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Close