
MATA INDONESIA, JAKARTA – Meski negara Uni Soviet secara resmi bubar pada 26 tahun silam, namun eksistensi Komitet Gosudarstvennoy Bezopasnosti (KGB) masih menarik diulas. Sebab badan intelijen ini pernah memiliki hubungan ‘psikologis’ dengan Indonesia.
Semua itu bermula pada tahun 1960an, yakni saat Indonesia dipimpin Presiden Soekarno. Semua pasti tahu, saat itu Soekarno mendapat dukungan militer dari Uni Soviet. Sebuah negara yang tertarik pada jiwa sosialis pelopor kemerdekaan RI.
Tak tanggung-tanggung, negara komunis tersebut memberikan bantuan senjata senilai miliaran dolar Amerika Serikat. Bantuan itu untuk mendukung konfrontasi RI dengan negara Malaysia, melalui kampanye yang disebut “The Destruction of Malaysia” alias Ganyang Malaysia.
Tak hanya saat konflik dengan Malaysia, Soviet pernah memberikan bantuan puluhan kapal selam Soviet, Ketika itu Indonesia berhasil menumpulkan kapal-kapal Angkatan Laut Belanda di Irian Barat.

Beberapa tahun kemudian, di bawah Presiden Soeharto, Portugal terpaksa meninggalkan Timor Timur berkat bantuan Soviet pula.
Secara tidak sadar, semua bantuan Uni Soviet itu sebenarnya tengah menyiapkan Indonesia menjadi sekutu untuk berkontribusi dalam Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet.
Alhasil, kondisi ini ternyata membuat Central Intelligence Agency (CIA) kebakaran jenggot. Mereka pun memanfaatkan konflik di wilayah tersebut, dengan meluncurkan Habrink, sebuah operasi berskala besar di Indonesia. Tujuan Habrink adalah mengumpulkan informasi tentang semua senjata yang dikirim Uni Soviet ke Jakarta.
CIA vs KGB di Indonesia
Kontra intelijen Indonesia selama periode tersebut masih dalam masa pertumbuhan. Hal ini dikarenakan banyak mantan perwira etnis Jawa dari bekas tentara Belanda kolonial, berhasil ‘dibajak’ oleh CIA. Dengan menyogok mereka, CIA berhasil mendapatkan dokumen dan informasi tentang senjata Soviet.
Pada pertengahan 1970an, agen CIA bernama David Barnett yang bekerja di Konsulat A.S. di Surabaya pada masa Soekarno, berhasil merekrut warga Soviet.
Setelah pensiun dari CIA, Barnett pindah ke Indonesia dan membuka perkebunan udang yang bangkrut. Dia kemudian menjual data tentang Operation Habrink ke KGB seharga USD 100.000. Sayangnya pada tahun 1979, dia dikhianati oleh seorang pembelot KGB bernama Piguzov, yang direkrut oleh CIA di Indonesia.
Alhasil Barnett dijatuhi hukuman 18 tahun penjara, namun pada 1990 dia dibebaskan dengan jaminan. Dan Piguzov, pada gilirannya, ditemukan oleh Aldrich Ames dan ditembak pada tahun 1986. Cerita-cerita ini dibicarakan sampai sekarang di komunitas intelijen.
CIA pun berhasil mendapatkan sampel informasi senjata yang didapat dari operasi Habrink. Banyak rincian yang selalu disertai kontrak berskala besar untuk pengadaan senjata sangat menarik. Informasi yang didapat CIA antara lain mulai skema pembiayaan, perantara, tempat pertemuan, sampai ke daftar kapal pengangkut.
Kemudian informasi mengenai pihak Rusia yang menginginkan agar intelijen Indonesia menginformasikan upaya CIA dalam melakukan penetrasi atau perekrutan orang yang terlibat dalam kerjasama teknik militer Uni Soviet-Indonesia tersebut.
Jika pihak Uni Soviet dan Indonesia melakukan upaya, sebenarnya mereka dapat mempertahankan cara kerahasiaan yang diinginkan seputar transfer senjata. Apalagi perjanjian kerjasama intelijen tidak selalu disertai dengan kontrak untuk pasokan militer, sehingga Indonesia dapat mengklaim bahwa hal itu tidak melanggar asas netralitasnya.
Indonesia pun terus menjadi ‘boneka’ di tengah kepentingan politik antara KGB dan CIA yang diyakini masih terjadi hingga saat ini. Bahkan beberapa media luar seperti warisboring, menyebutkan jika CIA mencoba mengubah kecakapan seksual Soekarno dengan memproduksi film porno dengan skema “panci madu” dengan petugas KGB yang berpakaian sebagai pramugari.
Pengkhianatan KGB
KGB sendiri tidak sepenuhnya menjadi ‘teman’ yang baik bagi Indonesia. Soviet pernah melakukan satu percobaan untuk memeras Soekarno dengan memfilmkan dia berhubungan seks dengan sekelompok pramugari. “Ketika Soekarno mengunjungi Moskow pada tahun 1960an, KGB berusaha memanfaatkan gairah seksualnya yang terkenal dengan mengirim sekelompok wanita muda yang glamor berpose sebagai pembawa acara udara ke hotelnya,” tulis Tim Lister dalam rekaman CNN tentang seks dan spionase.
Sumber lain menunjukkan bahwa KGB sedang memasak cerita tentang Sukarno dan pramugari selama tahun 1957 atau 1958. Joseph Burkholder Smith, yang memimpin operasi CIA di Indonesia dari tahun 1956 -1958, menulis dalam memoarnya. “Ada kesamaan dugaan Soekarno dengan pramugari muncul di media massa di seluruh dunia. Soekarno sedang diperas oleh mata-mata Soviet yang seksi.”
CIA pun menarik kesimpulan bahwa jika cerita mata-mata seksi mampu mengilhami pemberontakan sampai batas tertentu. Mereka pun menggagas cerita yang lebih besar dan seksi dari rencana KGB. Salah satunya dengan membayar aktris film porno.
KGB pun terus menghantui dunia intelijen Indonesia saat itu. Seperti yang terjadi pada 4 Februari 1982, dimana Corps Polisi Militer (CPM) menangkap Letkol (Laut) J.B. Soesdarjanto dan agen KGB bernama Sergei Egorov alias Wito di restoran “Jawa Tengah” di Jalan Pemuda Jakarta Timur.
Soesdarjanto dituding menjual peta laut Indonesia kepada KGB dengan upah Rp 50.000. Selama setahun, Soesdarjanto juga menyerahkan dokumen-dokumen penting antara lain laporan dan perjanjian survey Selat Malaka antara Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Jepang (Memorandum of Procedure Survey Operation), laporan bulanan staf operasi Kasal, laporan intelijen Kasal, juklak anggaran, rencana kerja Janhidros (Jawatan Hidro Oseanografi) TNI AL, dan laporan bulanan operasi/survey Hidros. Ia pun diberi upah tambahan sebesar Rp 600.000.
Wito alias Sergei Egorov adalah agen Rusia (KGB) yang menjabat atase militer pada Kedutaan Besar Rusia di Jakarta. Menteri Luar Negeri Indonesia, Mochtar Kusumaatmadja memanggil dan menyatakan protes kepada duta besar Rusia. Pemerintah Indonesia mengusir dan mem-persona nongrata-kan Egorov dan Robert alias Alexander Finenko.
Johannes Baptista Soesdarjanto lahir di Ambarawa, Jawa Tengah, pada 27 Juni 1934. Lulus dari SMA De Loyota Semarang, dia masuk Akademi Ilmu Pelayaran dan lulus pada 1958. Dia masuk Angkatan Laut tahun 1962, setahun kemudian disekolahkan ke Maryland Amerika Serikat. Sekembalinya ke tanah air, dia menjadi perwira bahkan komandan di berbagai kapal TNI AL, serta menjabat Kadis Pemetaan pada 1979.
“Sewaktu Soesdarjanto menjadi perwira pemetaan, tahun 1976 berhubungan dengan Vladimir yang berkantor di Tanjung Priok sebagai agen kapal-kapal Soviet di Indonesia. Perkenalan bermula dari niat Vladimir membeli peta laut guna mensuplai kapal-kapalnya yang berlayar di Indonesia,” tulis majalah spion dan wanita, Spionita, No. 014, Agustus 1984.
Soesdarjanto memenuhi pesanan Vladimir dan mendapatkan imbalan Rp50.000. Selama setahun (1976-1977), Soesdarjanto menyerahkan dokumen-dokumen penting antara lain laporan dan perjanjian survey Selat Malaka antara Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Jepang (Memorandum of Procedure Survey Operation); rencana kerja Janhidros (Jawatan Hidro Oseanografi) TNI AL, dan laporan bulanan operasi/survey Hidros untuk setahun. Untuk dokumen tersebut, Soesdarjanto menerima imbalan sebesar Rp600.000.
Pengkhianatan Soesdarjanto pun tak berhenti sampai disitu saja. Dirinya juga menjual data data fisik arus, temperatur, kadar garam air laut Selat Makassar dan laut Ambon, peta dasar laut Selat Ambon dan Selat Makassar, keadaan perairan di sekitar Pulau Natuna.
Jika Selat Ambon dan Selat Makassar bila dihubungkan dengan Selat Lombok, bisa dikatakan itu semua adalah jalur kapal selam Uni Soviet. Lagi, Soesdarjanto menerima upah Rp 300.000 dan 10 roll film kosong.
Dalam persidangan di Mahkamah Militer Tinggi II Barat (Jakarta-Banten), Soesdarjanto mengaku menjual data negara tersebut lantaran karena faktor ekonomi dan kepangkatan yang tidak naik-naik. Soesdarjanto akhirnya divonis sepuluh tahun penjara dan dicabut haknya sebagai anggota TNI. Semua barang bukti berupa dokumen-dokumen dan foto serta uang Rp300.000 disita oleh negara. (Puji Christianto)