Headline
Kemerdekaan Papua, Merdeka dari Kemiskinan

Jakarta (MI) – Menjelang HUT Kemerdekaan RI ke-72, 17 Agustus 2017, bangsa Indonesia masih terus berjuang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya seperti yang diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945. Hal ini bukan saja persoalan pekerjaan rumah tangga bangsa Indonesia tetapi semua bangsa-bangsa di dunia juga mengalami hal yang serupa, yaitu bertekad menyejahterakan masyarakat dan menekan angka kemiskinan. Apapun standar dan ukuran yang dipakai, semua persoalan di dunia pasti menghadapi orang miskin dan belum ada resep yang instant untuk menyelesaikannya. Tapi ada satu tekad oleh semua anak bangsa dari Sabang sampai Merauke adalah melawan kemiskinan.
Tulisan ini fokus urun rembuk tentang cara mengatasi kemiskinan di Papua. Salah satu caranya yaitu dengan peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM), karena tanah Papua sangat kaya dan selama ini belum dikelola maksimal. Tetapi Kabupaten Merauke berupaya tidak terjebak dalam fenomena tersebut. Namun yang sering muncul ke permukaan adalah tuntutan untuk memerdekakan diri lepas dari NKRI. Isu tersebut dikemas oleh elite politik yang tidak ingin melihat Papua maju dan sejahtera sejak bergabung dengan NKRI. Sangat besar perhatian pemerintah RI terhadap Papua dengan mengucurkan anggaran Rp 950 Triliun sampai saat ini, belum lagi dana Otonomi Khusus (Otsus) sejak digulirkan tahun 2002 – 2014 sebesar Rp 37 Triliun (data Pemprov Papua). Lantas pertanyaan selanjutnya bagaimana masyarakat Papua memanfaatkan anggaran Otsus tersebut mengatasi permasalahan kemiskinan ?
Dana Otonomi Khusus
Fenomena kemiskinan (poverty) dan ketimpangan pendapatan (inequality income) hampir dialami oleh semua negara atau wilayah di seluruh belahan dunia. Perbedaannya hanya terletak pada proporsi atau besar kecilnya tingkat kesenjangan dan angka kemiskinan yang terjadi serta tingkat kesulitan mengatasinya, yang dipengaruhi oleh luas wilayah dan jumlah penduduk suatu negara atau wilayah.
Fluktuasi dari pertumbuhan pendapatan per kapita ini dapat dijadikan indikator untuk menilai berhasil dan tidaknya suatu pemerintahan di tingkat elite lokal dalam mengatasi persoalan tersebut. Elite lokal dipilih langsung oleh rakyatnya dalam Pilkada demokratis saat ini, dan untuk mengukur kinerjanya dapat dilihat seberapa jauh dalam pengelolaan anggaran yang diberikan oleh Pemerintah Pusat untuk kepentingan masyarakat.
Sangat menarik mencermati peta kemiskinan Provinsi Papua. Ratio kemiskinan berada di angka 21,98% yang mana berbanding terbalik dengan Kalimantan yang menjadi wilayah dengan tingkat kemiskinan terendah se-Indonesia. Tetapi ada satu Kabupaten di Papua yaitu Merauke yang paling rendah memiliki jumlah penduduk miskin, bahkan tingkat kemiskinannya terbilang rendah di Indonesia. Data BPS, selama tahun 2008-2010 misalkan, jumlah penduduk miskin di Kabupaten Merauke rata-rata hanya 27.214 orang per tahun atau 3,63 persen dari total penduduk miskin di Provinsi Papua per tahun. Tingkat kemiskinannya cenderung mengalami penurunan setiap tahun, dengan rata-rata sekitar 15,22 persen per tahun. Sementara itu, berdasarkan data BPS Agustus 2016, jumlah penduduk di kabupaten itu mencapai 213.484 jiwa atau turun menjadi 10,92 persen. Penduduk miskin tersebut tersebar di 20 distrik yakni Distrik Kimaam, Waan,Tabonji, Ilwayab, Okaba, Tubang, Ngguti, Kaptel, Kurik, Animha (Antara.Papua/3 Agustus 2016).
Selain itu, pendapatan per kapita di Kabupaten Merauke melaju dengan cukup pesat, namun hal itu tidak diimbangi dengan perbaikan distribusi pendapatan, sehingga pembangunan yang dihasilkan dapat dikatakan kurang berkualitas. Selama tahun 2011-2016 rata-rata pertumbuhan pendapatan per kapita sekitar 5,39 persen per tahun, dimana pada tahun 2015 tercatat sebesar Rp. 8,01 juta. Meskipun kesenjangan distribusi pendapatan di Kabupaten Merauke masuk kategori rendah dan sedang, namun angkanya cederung mengalami peningkatan. Kondisi ini dipicu oleh perbedaan aktivitas perekonomian yang menonjol berdampak pada kesenjangan distribusi pendapatan yang meningkat antara kota dan desa.
Indikator tersebut menunjukkan bahwa walaupun Otonomi Khusus ini sudah berjalan hampir 16 tahun namun mayoritas orang asli Papua masih dililit kemiskinan dan kebodohan di sejumlah Kabupaten dan Kota di Papua dibandingkan di Maureke. Mengapa dana otsus yang sudah mencapai 40-an trilyun Rupiah tidak menyebar merata tetapi hanya mengalir sampai di kalangan tertentu saja. Mencermati hal tersebut, masyarakat Papua harus cerdas dan meminta pertanggungjawaban publik terhadap elite politiknya yang sudah mereka percayakan untuk memimpin dan kelompok intelektual dalam mengawal sampai sejauh mana dana tersebut terserap untuk pembangunan SDM dan Infrastruktur di daerah.
Seperti juga terjadi di wilayah luar Papua, LSM dan masyarakatnya sudah sangat cerdas dalam mengawal kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh Kepala Daerah dan elite politik. Masyarakat tidak dengan mudah dialihkan isu strategis ke persoalan tuntutan kemerdekaan dan isu tematik lainnya, tetapi lebih terfokus bagaimana pemerintah daerah transparan dalam penggunaan anggaran untuk kesejahteraan masyarakat.
Transparansi
Transparansi dalam pengelolaan dana Otsus, pemerintah daerah melalui SKPD harus sangat terbuka memberi informasi kepada berbagai pihak dalam tiap tahapan pengelolaan dana Otsus. Hampir semua tahapan pengelolaan dana Otsus mulai dari tahapan perencanaan,pengawasan dan monitoring sampai dengan tahapan tindak lanjut, SKPD memberikan informasi kepada masyarakat, walaupun ada beberapa aspek dalam memberikan informasi terkait berapa besar alokasi dana Otsus yang dikelola dan untuk membiayai apa saja yang tingkatannya hanya patut diketahui level pimpinan.
Secara teori, partisipasi rakyat merupakan kerjasama yang erat antara perencana dan rakyat, dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan hasil pembangunan yang telah dicapai (Soetrisno, 1995). Merujuk pada konsep teori tersebut, partisipasi masyarakat di Merauke sudah mencerminkan ikut terlibat merencanakan program dan kegiatan yang berasal dari penggunaan dana Otsus untuk mencapai hasil optimal.
Hal ini sudah menunjukkan masyarakat lebih mengenal dan mengetahui program yang dibiayai dengan Dana Otsus Papua. Berarti tahapan-tahapan Musrenbang yang selama ini dilakukan sudah sepenuhnya dapat melibatkan seluruh komponen masyarakat yang ada di setiap wilayah, selain itu sumber dana untuk setiap program dan kegiatan sudah mulai dibuka untuk disosialisasikan kepada masyarakat.
Transparansi penggunaan dana Otsus sampai saat ini masih sangat rendah di sejumlah Kabupaten dan Kota di Papua. Tidak adanya transparansi penggunaan dana Otsus akan menimbulkan dampak negatif yang sangat luas bagi masyarakat.
Dampak negatif tersebut berpotensi memunculkan masalah legitimasi masyarakat kepada pemerintah pusat sebagai pelayan publik nasional, padahal manajemen di tingkat lokal yang belum dapat melakukan transparansi tersebut. Agenda kampanye yang saat ini perlu dibangun oleh kelompok intelektual di Papua adalah bagaimana dana Otsus yang diberikan oleh Pemerintah Pusat tepat sasaran dan trasparan dalam alokasinya.
Tepat sasaran dan transparan adalah kunci kemerdekaan untuk meningkatkan kualitas SDM melalui pendidikan untuk membangun Papua tumbuh menjadi wilayah industrialiasi kedepan. (Agung Virdianto, mahasiswa Pasca Sarjana dan Komunitas Pengkajian Studi Perbandingan Ilmu Politik)