
MATA INDONESIA, JAKARTA – Putri ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN) Hanum Salsabila Rais menyamakan Ratna Sarumpaet dengan Pahlawan Aceh Cut Nyak Dhien, protes pun melayang.
Aktivis perempuan asal Aceh Asiah Uzia pun meradang. Dia menolak pernyataan itu karena menilai perjuangan Ratna tidak sebanding dengan perjuangan dan keteguhan hati Cut Nyak.
“Pahlawan bukan sekadar dihafal ya buk @hanumrais, hayati juga perjuangannya agar tidak bertukar teladan,” begitu Asiah melalui akun twitternya Asiah [email protected] 3 Oktober 2018.
Cut Nyak sangat dihormati rakyat Aceh karena keteguhannya dalam memperjuangkan kedaulatan negeri Serambi Makkah tersebut. Perempuan kuat itu dilahirkan di tengah keluarga dengan pendidikan agama yang juga kuat.
Dia dinikahkan dengan Teuku Ibrahim di usia 14 tahun. Ayahnya Teuku Nanta Seutia adalah keturunan Sultan Aceh, ibundanya juga keturunan bangsawan. Latar belakang keluarga seperti itulah yang membuat Cut Nyak memperoleh pendidikan agama kuat salah satunya pengetahuan membina keluarga yang Islami.
Setelah dianggap mampu mengurus rumah tangga sendiri, pasangan tersebut pindah dari rumah orang tuanya. Mereka pun dikurniakan seorang anak laki-laki.
Ketika perang Aceh meletus tahun 1873, suami Cut Nyak Dhien aktif di garis depan sehingga merupakan tokoh peperangan di daerah VI Mukim. Karena itu Teuku Ibrahim jarang berkumpul dengan istri dan anaknya.
Cut Nyak mengikhlaskan suaminya dalam peperangan bahkan dia menjadi pendorong dan pembakar semangat juang suami. Untuk mengobati kerinduan pada suaminya yang berada jauh di medan perang, ia menyanyikan syair-syair yang menumbuhkan semangat perjuangan sambil membuai anaknya. Seujung kuku pun tak ada niat bercerai.
Keterlibatannya dalam perang Aceh terjadi saat pembakaran terhadap Mesjid Besar Aceh. Dengan amarah dan semangat yang menyala-nyala berserulah kepada rakyat Aceh untuk melawan Belanda.
Bertahun-tahun peperangan kian berkecamuk. Pada sebuah pertempuran di Sela Glee Tarun, Teuku Ibrahim Lamnga gugur konon karena penghianatan Habib Abdurrahman.
Meski kematian suaminya menimbulkan kesedihan yang dalam, tetapi tak membuatnya murung dan mengurung diri. Sebaliknya, semangat juangnya kian berkobar terus mempertahankan tumpah darahnya.
Sebagai seorang janda yang masih muda dengan seorang anak, ia tetap ikut bergerila melawan Belanda. Menurut orang yang dekat dengannya, pernah mendengar sumpahnya yaitu hanya akan menikah dengan orang yang turut membantunya melawan Belanda.
Kehadiran Teuku Umar yang juga pemimpin perjuangan di kemudian hari sangat berarti bagi rencana perjuangan Cut Nyak. Akhirnya Teuku Umar dia nikahi dan berjuang bersama-sama hingga sang suami tewas tertembak peluru Belanda.
Perempuan itu pun terus berjuang selama bertahun-tahun hingga pengawalnya Pang Laot tak tega dengan tubuh renta dan mata rabunnya. Sang pengawal pun memutuskan menghentikan peperangan dengan cara memberitahu keberadaan Cut Nyak kepada tentara Belanda.
Hingga ditangkap dan dibuang ke Sumedang sampai sang ajal menjemput, Cut Nyak tak pernah takut kepada Pemerintah Belanda.
Biografi Ratna Sarumapaet
Sedangkan Ratna Sarumapet adalah perempuan kelahiran Tarutung 16 Juli 1949. Dia dibesarkan dengan adat Batak dan agama Kristen.
Setelah melihat drama W.S. Rendra pada tahun 1969, ia memutuskan meninggalkan bangku kuliah dan bergabung dengan grup drama tersebut. Lima tahun kemudian, setelah menikah dan masuk Islam, ia mendirikan Satu Merah Panggung
Grup itu melakukan sebagian besar adaptasi drama asing. Ketika ia menjadi semakin khawatir tentang pernikahannya dan tidak senang dengan adegan teater lokal, dua tahun kemudian Sarumpaet meninggalkan grup dan mulai bekerja di televisi. Pada tahun 1989, Ratna bahkan menceraikan suaminya.
Pada 1993 dia menulis naskah pementasan orisinal pertamanya, Marsinah yang berkaitan dengan pembunuhan keji aktivis buruh itu. Karyanya yang berkaitan dengan politik pun terus dia hasilkan, tetapi banyak dilarang Pemerintah Soeharto.
Ratna kecewa. Semakin kecewa dengan tindakan otokratik Orde Baru Soeharto, selama pemilihan umum 1997 Sarumpaet dan grupnya memimpin protes pro-demokrasi. Akibat salah satu protesnya Maret 1998 dia ditangkap dan dipenjara selama tujuh puluh hari karena dinilai menyebarkan kebencian dan menghadiri pertemuan politik “anti-revolusioner”.
Setelah dibebaskan, Sarumpaet terus berpartisipasi dalam gerakan pro-demokrasi hingga akhirnya dia keluar Indonesia karena takut ditangkap Pemerintah Soeharto. Dia kembali setelah Soeharto tumbang dan sempat menjadi kepala Dewan Kesenian Jakarta tahun 20013.
Itulah biografi dua perempuan yang namanya ramai diperbincangkan warga belakangan ini. (kris)