HeadlineKisah

Kisah Laskar Merah PKI yang Gagal Kudeta Kota Cirebon

MATA INDONESIA, JAKARTA – Suasana kota Cirebon berubah ramai dengan atribut Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 9 Februari 1946. Di tambah kehadiran 3000 orang Laskar Merah bersenjata lengkap tiba di Stasiun Kota Cirebon.

Kehadiran mereka untuk ikut Kongres PKI pimpinan Mr Yoesoef dan Mr Soeparto yang dilaksanakan pada 12 Februari 1946 di gedung bioskop Tjangkol. Mendengar kabar kedatangan ribuan laskar itu, Polisi Tentara Cirebon, Letda D Sedarsono langsung dengan mendatangi stasiun.

Sayangnya kehadiran Sedarsono langsung disambut dengan tembakan dari para anggota laskar. Kalah jumlah, Sedarsono pun menyerahkan diri dan akhirnya ditawan.

Ribuan laskar itu kebanyakan berasal dari Jawa Timur dan Jawa Tengah. Mereka kemudian menginap di Hotel Ribrink, atau sebelah utara alun-alun Kejaksaan Hotel.

Tak disangka, alih-alih mengadakan kongres, mereka justru ingin melakukan kudeta. Seluruh kota dikuasai dengan tindakan-tindakan yang brutal untuk merebut gedung-gedung vital, stasiun radio dan pelabuhan.

Bahkan mereka menahan para tentara dan merampok senjatanya. Tindakan laskar tersebut, menurut beberapa sumber ternyata tanpa sepengetahuan Yoesoef.

Mendengar kabar aksi brutal itu, Panglima II/Sunan Gunung Jati saat itu, Kolonel Zainal Asikin Yudadibrata segera mengambil tindakan. Awalnya, ia mengirim utusan untuk berunding dengan Yoesoef di Hotel Ribrink. PKI berjanji akan menyerahkan senjata-senjata hasil rampasan esok harinya, namun janji tersebut tidak ditepati.

Alhasil, Zainal langsung meminta bantuan pasukan dari Komandan Resimen Cikampek. Sebanyak 600 prajurit Banteng Taruna dipimpin Mayor Banuhadi tiba di Cirebon.

Terjadilah penyerbuan ke pihak Laskar Merah pada 13 Februari 1946, namun gagal. Hal ini dikarenakan persenjataan di pihak Tentara Republik Indonesia kurang lengkap.

Namun hal itu tak berlangsung lama. Pada serangan kedua yakni 14 Februari 1946, pasukan Komandan Resimen Cikampek, Kolonel Moefreini Moekmin berhasil melumpuhkan PKI.

Pimpinan pemberontak, Mohamad Yoesoef dan Suprapto akhirnya ditangkap, kemudian dijatuhi hukuman penjara oleh pengadilan tentara. Setelah keluar, dia aktif kembali di organisasi Persi dan meninggal pada 1953.

Asal tahu saja, meski menjabat Ketua PKI, Yoesoef dikenal menganut paham imperialisme dan kapitalisme. Karena itu, Komite Pemberesan PKI bentukan grup Moskow, pada Maret 1946 menyatakan Yoesoef bukan penerus sah dari PKI 1926.

Bagaimana dengan nasib para anggota Laskar Merah yang terlibat aksi kudeta tersebut? Hingga kini belum ada kejelasan. Bahkan beredar isu bahwa mereka di eksekusi mati di Pantai Desa Rawaurip Pangenan Cirebon.

Kudeta ini tidak tertulis secara resmi dalam sejarah Indonesia, seperti kudeta 3 Juli 1946 di Jogjakarta pimpinan Tan Malaka, kudeta PKI di Madiun, 19 September 1948 pimpinan Mr Amir Sjarifoeddin dan Moeso, serta kudeta G 30 S PKI di Jakarta pimpinan DN Aidit.

Tags

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Close