
MATA INDONESIA, JAKARTA – 1 Agustus 1949 menjadi hari paling kelam di Gunung Simping, Cilacap. Tepat pada tanggal tersebut, patroli militer Belanda mengeksekusi mati 26 orang dan membuat 33 orang lainnya cedera.
Mengutip Marc Lohnstein, dalam artikel berjudul Een bloedbad in Goenoeng Simping di javapost.nl, peristiwa ini bermula dari laporan seorang informan berinisial M (nama samaran) dari dinas intelijen staf RI 3-11. Saat itu ia melapor ke Kelas 1 Dinas Intelijen yang bernama D Van der Ent pada pukul 19.15.
M mengatakan kepada Van der Ent bahwa ada 50 tentara TNI di sebuah rumah di desa Gunung Simping. Dalam pengakuannya, M menyebut para prajurit TNI ini mengenakan seragam hijau dan seragam Polisi Daerah, di mana sebanyak 25 orang dipersenjatai dengan karaben.
M pun merekomendasikan untuk mengirim sebuah patroli. Atas informasi tersebut, Van der Ent meneruskan informasi tersebut ke Letnan DG Franken. Selama percakapan dengan M, tidak ada seorang anggota dinas intelijen yang berbicara bahasa Melayu dengan lancar.
Kondisi itu bisa dipastikan menimbulkan perbedaan penafsiran. Artinya, saat itu menunjukkan masalah pasukan Belanda di Indonesia, adalah kurangnya pengetahuan bahasa lokal.
Franken menganggap laporan itu kredibel, apalagi M menyatakan bahwa ia melihat prajurit TNI itu sendiri. Ia pun kemudian melapor kepada komandan batalyonnya, Letnan Kolonel JT Bastiaanse. Alhasil diputuskan untuk mengirim sebuah patroli.
Namun tugas apa yang harus dilakukan selama patroli tersebut, dan tidak disebutkan secara eksplisit dalam laporan resmi. Belanda ketika itu mengerahkan patroli tempur yang terdiri dari 19 tentara dari batalyon infanteri 3-11 RI. Mereka diperkuat dengan tiga senapan mesin ringan Bren.

Mereka pun pergi ke rumah Pak Soewito, Kepala Desa setempat untuk memberi tahu tentang rencana adanya patroli tersebut. Saat itu, Soewito tidak bisa memberi tahu Belanda, bahwa di desanya sedang berlangsung pesta besar pernikahan warganya.
Hajatan tersebut merupakan pagelaran pesta pernikahan Radijem dan Sopawi. Radijem merupakan keponakan dari Somadihardja.
Asal tahu saja, pernikahan ini dirayakan dengan pesta besar, ada pertunjukan wayang orang dengan musik gamelan. Asisten kepala desa setempat Raden Mas Koessoehardjo yang memberikan cap izin penyelenggaraan pesta itu. Tidak disebutkan adanya waktu penyelenggaraan hajatan.
Kembali ke pengakuan informan M, ia memberi kesaksian bahwa seorang Indonesia telah memberitahunya bahwa pengantin laki-laki itu adalah seorang TNI.
Sialnya, setelah menerima informasi tersebut, Franken justru memberi arahan singkat ke prajurit yang ikut patroli, bahwa ada 50 orang TNI, 25 di antaranya bersenjata, berada di dalam dan dekat sebuah rumah di sebuah kampung.
Ketika penyusuran ke kampung, M menunjuk sebuah rumah yang berjarak sekitar 50 meter. Kata dia, ada 50 TNI berada disana. Ia lantas memerintahkan patroli untuk mengelilingi rumah tersebut dan membagi menjadi dua kelompok.
Ia menugaskan personel yang membawa senjata Bren berjaga di tiap titik di rumah tersebut. Dengan pistol di tangannya, Franken berjalan ke sisi timur laut rumah untuk lebih mengamati masyarakat.
Di sisi barat daya pendopo ia melihat sekelompok orang yang dicurigai, lalu dia pergi ke pendopo dan berjalan melalui sebagian penonton.

Situasi pun langsung mencekam saat muncul letusan tembakan misterius dari pendopo. Keadaan itu membuat panik di antara penonton dan tamu undangan pernikahan, bahkan banyak yang lari atau jatuh di tanah.
Tragedi penembakan brutal pun dimulai. Saat orang-orang banyak melarikan diri lewat belakang rumah, mereka langsung diserang oleh pasukan yang berjaga di sisi utara dan timur.
Franken lantas memerintahkan pasukannya menghentikan tembakan. Pada kejadian ini, Franken sepertinya melupakan aturan V.P.T.L. (Voorschrift Politieke Politioneele Taak Leger -JP).
Peraturan itu menyebutkan bahwa ketika komandan patroli memimpin operasi, penduduk harus keluar satu per satu tanpa senjata dengan tangan mereka ke atas. Dan pasukan harus mewaspadai laki-laki dewasa dan anak-anak. “Setelah semua warga berada di luar, maka barulah dilakukan pemeriksaan secara seksama,” sebut aturan VPTL tersebut.
Dalam laporan resmi, hasil pengamatan Franken menyebutkan bahwa di sekitar pendopo ada lebih dari 400 orang yang terdiri dari pria, wanita dan anak-anak. Saat itu mereka sedang menikmati pertunjukan gamelan.
Tidak ada masyarakat yang mengenakan pakaian seragam dan membawa senjata api seperti laporan informan M.
Franken memutuskan untuk melihat lebih dekat menuju pendopo. Ketika itu dia memberi tahu beberapa tentara yang berdiri di dekatnya untuk tidak menembak apapun. Sayangnya, perintah tersebut tidak sampai ke telinga prajurit lainnya, termasuk Van der Ent dan Sersan A. Houwing.
Menurut catatan Limpach, para prajurit mengira komandan tersebut telah ditembak dan berasumsi bahwa ada aksi serang. Letnan Franken pun menyatakan saat itu dirinya ingin memberi tahu petugas medis tentang korban luka sesegera mungkin.
Para korban penembakan Gunung Simping ini semuanya tinggal di kampung yang berbeda. Diperkirakan aksi brutal ini menghabiskan 150 peluru kaliber 7,7 milimeter dan 50 peluru kaliber 9 milimeter.
Hasil penelitian juga menyebutkan bahwa tidak ada bukti kehadiran TNI dalam acara pernikahan tersebut. Saksi Indonesia menyatakan bahwa mereka tidak melihat orang bersenjata dan tidak ada yang mengenakan seragam apapun.