HeadlineKisah

Kisah Syaikhah Hajjah Rangkayo, Pejuang Hijab Masa Penjajahan

MATA INDONESIA, JAKARTA – Generasi ‘zaman now’ mungkin terlalu asing jika mendengar nama Syaikhah Hajjah Rangkayo Rahmah El Yunusiyyah. Mereka mungkin hanya mengenal nama Cut Nyak Dien, R.A Kartini dan Martha Christina Tiahahu, sebagai pejuang wanita Indonesia.

Padahal, Rahmah merupakan salah satu wanita yang bersejarah memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Sosok ‘Kartini’ satu ini memang tidak pernah dimunculkan profilnya dalam buku sejarah pendidikan di Indonesia.

Nah, MataIndonesia.id mencoba mengembalikan kenangan dan kontribusinya terhadap republik lewat sebuah tulisan ini. Buat kalian tahu, pada saat masa penjajahan Belanda dan Jepang, pengaruh Rahmah dalam dunia pendidikan dan perjuangannya begitu nyata.

Rahmah merupakan salah satu wanita yang memperjuangkan hijab sebagai kewajiban bagi muslimah dalam menutup aurat ke dalam kebudayaan Indonesia.

Meski tak terlalu dikenal di era saat ini, wanita kelahiran Nagari Bukit Surungan, Padang Panjang, Hindia Belanda pada 29 Desember 1900 ini pernah menginspirasi Universitas Al-Azhar. Sebab Rahmah saat itu berani merintis sekolah agama Islam perempuan pertama di Indonesia, yakni Diniyah Putri di Padang Panjang pada 1 November 1923.

Gagasan itu muncul sejak Rahmah bersekolah, dengan bercampurnya murid laki-laki dan perempuan dalam kelas yang sama, menjadikan perempuan tidak bebas dalam mengutarakan pendapat dan menggunakan haknya dalam belajar, terutama dalam perspektif fiqih.

Rahmah pun mempelajari fiqih lebih dalam kepada Abdul Karim Amrullah di Surau Jembatan Besi, dan tercatat sebagai murid-perempuan pertama yang ikut belajar fiqih, sebagaimana dicatat oleh Hamka.

Melalui Madrasah Diniyah Lil Banaat (Diniyah Putri), Rahmah menginginkan agar perempuan memperoleh pendidikan yang sesuai dengan fitrah mereka dan dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

Tiga tahun kemudian, Rahmah membuka program pemberantasan buta huruf bagi ibu-ibu rumah tangga yang belum sempat mengenyam pendidikan dan dikenal dengan nama Sekolah Menyesal.

Untuk melindung kelangsungan Diniyah Putri, Rahmah memilih tidak bekerja sama dengan pemerintah Belanda. Bahkan tawaran subsidi dari Belanda ditolaknya. Ia memiliki prinsip bahwa sekolahnya adalah sekolah milik umat dan dibiayai oleh umat.

Atas sikap dan komitmennya dalam dunia pendidikan tersebut, Rahmah duduk dalam kepengurusan Serikat Kaum Ibu Sumatera (SKIS). Pada 1935, ia diundang mengikuti Kongres Perempuan Indonesia di Batavia. Dalam kongres itulah ia memperjuangkan hijab sebagai kewajiban bagi muslimah dalam menutup aurat ke dalam kebudayaan Indonesia.

Pada April 1940, Rahmah menghadiri undangan Kongres Persatuan Ulama Seluruh Aceh. Kala itu ia dipandang oleh ulama-ulama Aceh sebagai ulama perempuan terkemuka di Sumatera.

Masa Pendudukan Jepang

Keadaan berubah saat kedatangan tentara Jepang di Minangkabau pada Maret 1942. Ketika itu Jepang membawa mengurangi kualitas hidup penduduk non-Jepang. Hal ini yang melatarbelakangi Rahmah bersama para Anggota Daerah Ibu (ADI) mengumpulkan bantuan sosial berupa makanan dan pakaian bagi penduduk yang kekurangan.

Sedangkan kepada murid-muridnya, ia meminta menjahit seluruh taplak meja dan kain pintu yang ada di Diniyah Putri untuk dijadikan pakaian untuk penduduk.

Bersama para anggota ADI, Rahmah juga menentang kebijakan Jepang yang menjadikan perempuan Indonesia sebagai wanita penghibur untuk tentara Jepang. Tuntutan ini akhirnya dipenuhi oleh pemerintah Jepang dengan menutup tempat prostitusi di kota-kota Sumatera Barat.

Kondisi inilah yang membuat Rahmah akhirnya terjun ke dunia politik. Ia kemudian bergabung dengan Majelis Islam Tinggi Minangkabau yang berkedudukan di Bukittinggi.

Jabatan Ketua Hahanokai di Padang Panjang pun diembannya untuk membantu perjuangan perwira yang terhimpun dalam Giyugun atau setara tentara PETA. Ketenggangan pun semakin memuncak dan membuat Rahmah bersama 100 orang muridnya menyelamatkan diri dari serbuan Jepang.

Ketika terjadi kecelakaan kereta api pada 1944 dan 1945 di Padang Panjang, Rahmah menjadikan bangunan sekolah Diniyah Putri sebagai tempat perawatan korban kecelakaan. Hal ini membuat Diniyah Putri mendapatkan piagam penghargaan dari pemerintah Jepang.

Menjelang berakhirnya penjajahan, Jepang membentuk Cuo Sangi In yang diketuai oleh Muhammad Sjafei dan Rahmah duduk sebagai anggota peninjau.

Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Setelah mendapatkan berita tentang proklamasi kemerdekaan langsung dari Ketua Cuo Sangi In, Muhammad Sjafei, Rahmah segera mengibarkan bendera Merah Putih di halaman perguruan Diniyah Putri.

Ia tercatat sebagai orang yang pertama kali mengibarkan bendera Merah Putih di Sumatera Barat. Berita bahwa bendera Merah Putih berkibar di sekolahnya menjalar ke seluruh pelosok daerah.

Ketika Komite Nasional Indonesia terbentuk sebagai hasil sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 22 Agustus 1945, Soekarno yang melihat kiprah Rahmah mengangkatnya sebagai salah seorang anggota.

Rahmah juga menjadi pelopor pembentukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) untuk Padang Panjang dan sekitarnya pada 5 Oktober 1945. Pada saat itu ia mengumpulkan bekas anggota Giyugun dan Hahanokai untuk mengusahakan logistik dan pembelian beberapa kebutuhan alat senjata dari harta yang dimilikinya.

Anggota-anggota TKR inilah yang menjadi cikal bakal tentara inti dari Batalyon Merapi yang dibentuk di Padang Panjang. Ketika Belanda melancarkan Agresi Militer Belanda kedua, Belanda menangkap sejumlah pemimpin-pemimpin Indonesia tak terkecuali Rahmah.

Ia ditangkap Belanda pada 7 Januari 1949 dan mendekam di tahanan wanita di Padang Panjang. Setelah tujuh hari, ia dibawa ke Padang dan ditahan di sebuah rumah pegawai kepolisian Belanda berkebangsaan Indonesia. Ia melewatkan 3 bulan di Padang sebagai tahanan rumah, sebelum diringankan sebagai tahanan kota selama 5 bulan berikutnya.

Pada Oktober 1949, Rahmah meninggalkan Kota Padang untuk menghadiri undangan Kongres Pendidikan Indonesia di Yogyakarta. Ia baru kembali setelah mengikuti Kongres Muslimin Indonesia di Yogyakarta pada akhir 1949. Rahmah bergabung dengan Partai Islam Masyumi.

Dalam pemilu 1955, ia terpilih sebagai anggota Konstituante mewakili Sumatera Tengah. Melalui Konstituante, ia membawa aspirasinya akan pendidikan dan pelajaran agama Islam.

Pada 1956, Imam Besar Al-Azhar, Kairo, Mesir, Abdurrahman Taj, berkunjung ke Indonesia dan atas ajakan Muhammad Natsir, berkunjung untuk melihat keberadaan Diniyah Putri.

Imam Besar tersebut mengungkapkan kekagumannya pada Diniyah Putri, sementara Universitas Al-Azhar sendiri saat itu belum memiliki bagian khusus perempuan.

Pada Juni 1957, usai menunaikan ibadah haji, ia mengunjungi Mesir memenuhi undangan Imam Besar Al-Azhar. Dalam satu Sidang Senat Luar Biasa, Rahmah mendapat gelar kehormatan “Syaikhah” dari Universitas Al-Azhar, dimana untuk kali pertama Al-Azhar memberikan gelar kehormatan itu pada perempuan.

Diniyah Putri mempengaruhi pimpinan Al-Azhar untuk membuka Kuliyah Qismul Banaat (kampus khusus wanita) di Universitas Al-Azhar. Sejak saat itu Universitas Al-Azhar yang berumur 11 abad membuka kampus khusus wanita, yang diinspirasi dari Diniyah Putri di Indonesia yang baru seumur jagung.

Rahmah pun ikut bergerilya bersama tokoh-tokoh Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PPRI) di Sumatera Tengah akhir 1958. Gerakan ini diambil akibat ketidaksetujuan atas sepak terjang Soekarno.

Pada 1961, Rahmah kembali memimpin perguruannya setelah tiga tahun ditinggalkannya pasca-pergolakan PRRI. Pada 1964, ia menjalani operasi tumor payudara di RS Pirngadi, Medan dan meninggal pada 26 Februari 1969.

Tags

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Close