
MATA INDONESIA, JAKARTA – Masih ingat dengan penemuan ratusan koin emas kuno pada 11 November 2013 lalu. Koin peninggalan Kesultanan Aceh itu ditemukan di sebuah wilayah di Gampong Pande, Aceh.
Yang menarik, koin-koin tersebut bertuliskan nama Sultan Aceh ke-10 Alaudin Riayat Syah Al-Kahar dan Sulaiman I, Sultan Ottoman Turki. Penemuan ini menjadi bukti bahwa Al Kahar yang berkuasa pada kisaran abad ke-16 tersebut pernah menjajaki kerja sama diplomatik dengan Ottoman.
‘Persahabatan’ itu dilakukan agar Ottoman menjadi jembatan penghubung Kesultanan Aceh untuk bekerja sama dengan Portugis. Bahkan tak jarang nama Sultan Ottoman selalu disebutkan dalam tiap khotbah Jumat.
Asal tahu saja, sejak tahun 1511 Portugis merupakan pesaing Aceh dalam meluaskan pengaruhnya di bidang ekonomi maupun politik di Selat Malaka. Sementara Aceh memiliki kekuatan politik dan ekonomi yang dominan di Sumatera dan Semenanjung Malaka.
“Kesultanan Ottoman menjadi tempat bagi kerajaan-kerajaan Islam di Timur. Baik itu India dan Kepulauan Nusantara yang baru berkembang menaruh harapan dalam menghadapi Portugis,” tulis Giancarlo Casale dalam The Ottoman: Age of Exploration.

Dalam penjajakan tersebut, Aceh mengirim utusan ke Istanbul pada 1562. Saat itu mereka meminta bantuan senjata berupa meriam. Menjawab permintaan itu, Sulaiman I mengirimkan meriam beserta teknisinya serta seorang diplomat bernama Lutfi Bey.
Usai kedatangannya ke Aceh, Lutfi Bey mengirim laporan ke Istanbul pada 1566. Isi laporan tersebut menyatakan bahwa Sultan Al-Kahar tidak lagi ingin sekadar meminta senjata kepada Sultan Sulaiman I.
“Kesultanan Aceh ingin diperintah secara langsung oleh Sultan Sulaiman I sebagai ganti bantuan Ottoman dalam menghadapi Portugis,” kata Casale.

Antusiasme Aceh ditanggapi positif oleh Sultan Sulaiman I sebelum akhirnya dia mangkat dan digantikan Sultan Selim II. Dia memerintahkan angkatan lautnya untuk mengirim armada sebanyak 15 kapal layar ke Aceh yang bermuatan prajurit, penasehat militer, teknisi meriam, juga tukang-tukang seperti penambang, pandai besi, dan pandai emas.
Sayangnya, armada yang dijadwalkan tiba di Aceh pada 1568 terpaksa mengalihkan perjalanan ke Yaman, Arab Selatan, untuk memadamkan sebuah pemberontakan. Hanya dua buah kapal yang tiba di Aceh tanpa membawa senjata.
Kedua kapal itu membawa sekelompok pedagang dan teknisi meriam, yang tidak cukup untuk memuluskan rencana Sultan Al-Kahar menyerang Portugis di Malaka pada 1570.
Menurut Denys Lombard dalam sebuah buku berjudul ‘Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636)’, Sultan Al-Kahar-lah yang memperkenalkan mata uang Aceh pertama, yakni dirham. “1 pardew (mata uang Portugis yang ditempa di Goa, India) sama dengan 4 dirham Aceh,” kata Lombard dalam tulisannya.
“Namun nilai mata uang itu sendiri sering mengalami perubahan yang besar sekali. Para penjelajah selalu memberi nilai yang berbeda-beda, kadang-kadang bahkan dalam jarak waktu yang hanya beberapa bulan,” ujar Denys.