News
KPU DIY: Harus Ada Kesadaran Literasi Berpolitik yang Santun

MATA INDONESIA, YOGYAKARTA – Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Daerah Istimewa Yogyakarta Ahmad Shidqi menilai perlu ada kesadaran literasi dan kritis, serta santun dalam berpolitik.
“Dalam peraturan KPU, materi kampanye harus menjunjung tinggi pancasila dan UUD 45, menjunjung nilai moral dan agama. Meningkatkan kesadaran hukum, memberikan informasi yang benar,” ujar Shidqi dalam sebuah diskusi publik di Yogyakarta yang diselenggarakan oleh Lentera Indonesia Institute, Gema Nusantara, PW GPI DIY, KW LMN DIY, dan Kopikrasi Yogyakarta.
Tujuan literasi tersebut untuk meningkatkan partisipasi rakyat terhadap pemilihan umum. Jika kampanye rusuh maka masyarakat akan enggan memberikan suaranya pada April 2019.
Menurut Shidqi kampanye harus menjalin komunikasi yang bagus antara peserta pemilu dengan masyarakat sebagai audiens. Materi kampanye harus menghargai suku, ras, dan budaya yang berbeda. Selain itu hindari politik uang (money politics).
Komunikasi yang bagus jika disampaikan dengan santun di mana saja termasuk di dunia maya. Jangan melakukannya dengan cara menjatuhkan lawan, memroduksi opini seenaknya, sehingga pemilu dipenuhi ketegangan, bukan kegembiraan.
Padahal pemilu sebetulnya adalah pesta rakyat. Kalau pesta ya harus gembira.
Hal senada diungkapkan Dosen UIN Sunan Kalijaga, Bayu Mitra A. Kusuma pada kesempatan yang sama. Dia mengingatkan kita jangan gampang berkampanye dengan membawa politik identitas, SARA yang tidak bermartabat dan tidak santun.
Negara kita menurut Bayu memang memberi kebebasan kepada masyarakatnya untuk mengungkapkan pendapatnya. Tetapi harus diingat bahwa ada Undang-Undang ITE yang menjadi koridornya.
Sementara Ketua Jaringan Pemuda Nusantara, Abulaka Archaida menguraikan isi buku “Hate Speech and Democratic Citizenship” karangan Eric Heinze yang mengungkapkan mengapa seseorang melakukan ujaran kebencian.
Jawabnya, pertama karena ada kecenderungan berprasangka buruk terhadap komunitas lain yang berbeda dengan dirinya.
Kedua, karena memiliki sikap inferior berlebihan bagi orang-orang yang kalah dalam perebutan di ruang sosial. Orang seperti ini ingin mendapatkan pengakuan publik dengan jalan memunculkan sesuatu yang berbeda.
“Potret keadaan sekarang kelompok minoritas selalu menganggap bahwa kebenaran ada pada mereka,” ujar Abulaka. (Nefan Kristiono)