Viral

KPU Resmi Tandatangani Regulasi Terkait Larangan Mantan Narapidana untuk Nyaleg

MATAINDONESIA.ID, JAKARTA – Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menerbitkan regulasi larangan bagi mantan narapidana kasus korupsi sebagai calon anggota legislatif. Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Aturan ini ditetapkan Sabtu (30/6) dan ditandatangani Ketua KPU Arief Budiman pada Minggu (1/7).

Dalam pasal 7 ayat 1 g dan h disebutkan bahwa bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota adalah warga negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap; bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi.

Meski demikian PKPU membolehkan mantan narapidana tersebut mencalonkan diri dalam pemilihan, namun dengan syarat mengumumkan kepada publik terkait status pemidanaan dirinya.

Aturan itu tertuang dalam pasal 7 ayat 4 yang berbunyi, “persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf g dikecualikan bagi: (a) mantan narapidana yang telah selesai menjalani masa pemidanaannya, dan secara kumulatif bersedia secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik, bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang, serta mencantumkan dalam daftar riwayat hidup; dan (b) terpidana karena kealpaan ringan (culpa levis) atau terpidana karena alasan politik yang tidak menjalani pidana dalam penjara, dan secara terbuka dan jujur mengumumkan kepada publik.

Ketua KPU Arief Budiman mengatakan bahwa pihaknya sudah merasa cukup mengkaji aturan tersebut. Sehingga kini aturan tersebut perlu dipublikasikan kepada publik.

Setelah ini, PKPU tersebut akan dikirimkan kepada Kementerian Hukum dan HAM untuk disahkan sebagai aturan yang berlaku.

Meskipun demikian, kata Arief, bukan berarti aturan tersebut tidak bisa diubah. Bagi pihak-pihak yang mempersoalkan peraturan ini bisa melakukan upaya-upaya hukum. Misalnya, mengajukan gugatan atau uji materi terhadap aturan tersebut ke Mahkamah Agung (MA).

“Jadi sebetulnya, apa yang dilakukan sekarang, bukan menjadi mati dan tidak bergerak, tidak. Ruang itu masih ada Melalui MA bisa, melalui KPU melakukan revisi bisa, jadi masih ada ruang. Tapi sampai hari ini, kami memandang PKPU itu sudah cukup,” kata Arief di KPU, Jakarta Pusat, Minggu (1/7).

Meskipun demikian aturan terkait boleh atau tidaknya mantan narapidana kasus korupsi menjadi caleg diwarnai polemik yang cukup panjang. Bahkan sebelumnya draf PKPU sudah dikirimkan ke Kemenkumham tapi justru dikembalikan karena aturan tersebut.

Kini KPU merasa cukup dengan berbagai pertimbangannya dan memilih tetap memasukan aturan tersebut.

Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi beberapa waktu lalu menjelaskan, larangan itu merupakan langkah yang baik dalam rangka menciptakan pemilu yang bersih.

KPU, kata dia, juga siap mengadapi gugatan di Mahkamah Agung (MA).

“Ya kita akan siapkan argumen dan penjelas dan lain-lain. Sebab kami senang jika aturan yang kami buat itu, nanti kami akan bisa beradu argumen di forum di MA,” katanya di gedung DPR, Jakarta, Rabu (23/5).

Sikap KPU ini didukung oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ketua KPK Agus Rahardjo berpendapat, masih banyak tokoh yang bersih dari kasus korupsi dan lebih patut menjadi calon anggota legislatif.

“Di dalam perjalanan (hidupnya), yang bersangkutan kan sudah tidak lulus. Ya masa kita dorong untuk terus masuk kan (jadi caleg),” kata Agus.

Di sisi lain, Pemerintah melalui Kemenkumham serta Kemendagri, dan DPR tidak setuju jika aturan tersebut dimasukkan ke dalam PKPU karena dianggap menabrak aturan di atasnya, yakni Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).

DPR dalam pembuatan UU Pemilu mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 42/PUU-XIII/2015 pada 9 Juli 2015 yang di dalamnya memberikan peluang bagi mantan koruptor menjadi calon anggota legislatif.

Dalam putusannya, MK menyebut seseorang yang telah menjalani hukuman dan keluar dari penjara atau lembaga pemasyarakatan pada dasarnya adalah orang yang telah menyesali perbuatannya, telah bertaubat, dan berjanji untuk tidak mengulangi lagi perbuatannya. Dengan demikian, seseorang mantan narapidana yang sudah bertaubat tersebut tidak tepat jika diberikan hukuman lagi seperti yang ditentukan dalam Pasal 7 huruf g UU No 8 tahun 2015 Tentang Pemilukada Gubernur, Bupati Dan Walikota, yakni tidak boleh mencalonkan diri dalam pemilihan.

Oleh karena keputusan MK dan UU Pemilu tidak melarang mantan narapidana kasus korupsi menjadi caleg, maka PKPU yang notabene berada di bawah UU Pemilu sedianya tidak bertentangan.

Penolakan atas sikap KPU juga ditunjukkan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Fritz Edward Siregar menilai KPU melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat jika tetap membuat aturan larangan bagi mantan koruptor mendaftar sebagai calon legislatif.

Menurut Fritz, KPU tidak punya dasar untuk menghapus hak para eks koruptor untuk memilih dan dipilih.

“Bagi kami itu tidak sekadar melanggar undang-undang, tapi melanggar HAM berat. Kenapa? Karena hak orang untuk dipilih telah dihilangkan oleh peraturan KPU,” kata Fritz saat ditemui di kawasan Cikini, Jakarta, Kamis (24/5).

Tags

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Close