HeadlineKisah

Lima Dokter Muda Ini Pahlawan Kemanusiaan

MATA INDONESIA, JAKARTA – Menjadi dokter identik dengan biaya mahal. Maka setelah mendapat izin praktik banyak yang berupaya mengembalikan biaya itu dengan bekerja untuk dua atau tiga rumah sakit maupun klinik padahal mereka bisa menjadi pahlawan kemanusiaan.

Tetapi tidak bagi lima dokter muda ini. Bagi mereka menjadi dokter justru identik dengan menolong manusia, berbuat untuk kemanusiaan tanpa memikirkan uang dalam rangka mengembalikan biaya sekolah kedokteran.

Kelima dokter muda nan heroik itu adalah;

 

  1. Dokter Rangi Wirantika Sudrajat
Dokter Rangi Wirantika Sudrajat. (msf-seasia.org)

Lulusan Fakultas Kedokteran Trisakti tahun 2011 itu memang sudah bercita-cita bekerja di bidang kemanusiaan sejak bangku sekolah dasar karena sering melihat berita perang Kosovo.

Semasa SMA dia mengetahui ada program Doctor Without Border atau Medecins Sans Frontieres yang memiliki memberi akses kesehatan di daerah-daerah konflik.

Maka perempuan kelahiran 1 November 1988 tersebut memilih melanjutkan kuliah di fakultas kedokteran agar bisa bergabung dengan organisasi nirlaba itu.

Tugas pertamanya setelah bergabung dengan organisasi itu adalah di Kota Chaman Pakistan untuk tugas selama 10 bulan. Setelah itu Taiz, Yaman, selama lima bulan.

Bertugas di Taiz dirasakan Rangi menjadi tugas terberat karena dia benar-benar hidup di tengah perang.

Awalnya tidak kuat setiap hari mendengar suara ledakan bom, meriam dan tembakan senjata. Hal itu membuatnya sulit tidur.

Dia pun memutuskan menyatakan kondisinya kepada penanggungjawab program.

Rangi pun diperintahkan melihat kondisi pasien. Hal itu pun membuat dia membatalkan niatnya karena dia melihat dengan mata kepala sendiri wilayah itu benar-benar membutuhkan dokter terutama untuk anak-anak.

 

  1. Dokter Vini Fardhdhiani
Dokter Vini Fardhdhiani di Mozambique. (laalfabeta.com)

Selain Dokter Rangi, di Program Doctor Without Border juga menarik hati dokter perempuan lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) ini.

Seperti halnya Rangi, Vini juga memiliki impian berkeliling dunia meringankan beban orang lain.

Selama bertugas di program itu dia sempat membantu masyarakat Aceh setelah dihantam tsunami besar.

Dia mengikuti mobile clinic mendatangi pasien di daerah terpencil yang membutuhkan pertolongan medis.

Tugas terberatnya adalah saat dia berada di Mozambique. Di tengah kondisi lingkungan yang buruk dia bersama pemerintah setempat harus menolong orang-orang yang terjangkit HIV/AIDS dan tuberkulosis (TBC).

 

  1. Dokter Amalia Usmaianti
Dokter Amalia Usmaianti bersama dua anak Papua. (Facebook:@ amalia usmaianti)

Namanya viral di media sosial saat harus masuk pedalaman Boven Digoel Papua yang jaraknya belasan kilometer dari pusat kota dan kondisi jalan serta transportasi yang buruk.

Dalam sebuah video singkat Amalia tampak membantu menggotong seorang yang ditandu melewati jalan tanah berlumpur coklat.

Dia pernah menempuh jarak 16 kilometer dari Kampung Tembutka ke puskesmas tempatnya bertugas.

Dokter lulusan Ilmu Kedokteran Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara itu telah bertugas sejak Mei 2017. Dia bertugas bersama enam orang lainnya.

 

  1. Ferihana Zaujatu Yoebal
Dokter Ferihana (bercadar) sedang memeriksa tekanan darah pasien. (benarnews.org)

Hana begitu panggilannya, memang tidak bertugas di tempat dengan sarana transportasi dan telekomunikasi yang sulit.

Perempuan 36 tahun itu membangun sebuah klinik yang diberinama rumah sehat sehingga orang-orang sakit harus sehat setelah dibantunya.

Klinik itu didirikannya di sebuah desa di Ngestiraharjo, Kabupaten Bantul, D.I. Yogyakarta sejak 2012.

Bentuknya seperti layaknya klinik sederhana lainnya. Tetapi yang membuat kita tercengang adalah Hana tidak pernah menetapkan tarif untuk jasanya itu. Bahkan orang-orang yang tidak mampu tidak perlu membayar termasuk biaya obatnya.

Jika pasien ingin memberi uang pun caranya tidak seperti biasa. Dia menyediakan kotak infak. Di situ lah setiap pasien bisa meletakkan uang setelah diobati Hana.

Keputusannya menggratiskan biaya berobat pasiennya karena terinsiprasi dari seorang dokter yang setiap hari menggunakan sepeda motor saat di kuliah di Universitas Islam Indonesia (UII).

Padahal dokter-dokter lainnya saat itu lebih banyak yang menggunakan mobil. Setelah dia telusuri dokter idolanya tersebut tidak pernah mau dibayar setelah mengobati pasien.

Pernyataan yang selalu diingatnya dari sang dokter adalah, “Orang sakit kok masih dibebani sama biaya pengobatan.”

Untuk menghidupi klinik dan dirinya, Hana berwirausaha mendirikan toko obat herbal dan klinik kecantikan muslimah.

Meskipun kliniknya bernuansa Islami tetapi Hana tidak membatasi orang yang membutuhkan pertolongannya.

Siapa saja, agama apa saja pasti akan dia tolong jika membutuhkan keahlian medisnya.

 

  1. Dokter Husni Mubarak
Dokter Husni Mubarak. (jokohendarto.blogspot.com)

Saat ikut dalam penanganan korban tsunami Aceh di tahun 2009, Husni berkenalan dengan Dokter Lintas Batas atau Medecins Sans Frontieres.

Selanjutnya dia memutuskan bergabung sebagai staf lapangan. Kini dokter dari Universitas Hasanuddin itu telah melanglang buana di berbagai daerah konflik yang mengalami krisis kemanusiaan.

Negara yang dia bantu antara lain Malawi, Sierra Leone, hingga Pakistan dan Sudan Selatan. Sedangkan di tanah air dia bertugas di Aceh, Makassar hingga Buton sebagai dokter pegawai tidak tetap pemerintah.

Di tempat seperti itu, senyuman hangat dan ucapan terima kasih bagi Husni adalah bayaran tertinggi dari pasiennya.

Kini dia lebih mampu menghargai hidup dan mensyukuri setiap kebahagiaan kecil yang diterimanya.

 

“Gemerlap kota bukanlah tempat bagi dokter muda. Ia tak menawarkan masa depan. Masa depan kami tertimbun di redup kota-kota kecil, desa-desa pelosok dan pulau-pulau terluar negeri ini.” – Husni Mubarak. (Nefan Kristiono)

 

 

j

Tags

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Close