
MATA INDONESIA, JAKARTA – Kisah menyeramkan ini terjadi pada masa revolusi fisik 1945-1949. Saat asukan Indonesia berjuang gagah berani melawan tentara Belanda yang ingin menguasai kembali bumi pertiwi.
Namun mereka dikejutkan dengan kehadiran pasukan gaib. Mereka pun langsun lari terbirit-birit mengambil langkah seribu. Kejadian misterius ini pernah terjadi pada pasukan yang dipimpin oleh Opsir Muda Udara III, HAS Hanandjoeddin, yang sekarang diabadikan sebagai nama bandara di Kabupaten Belitung.
Dalam buku “Sang Elang: Serangkai Kisah Perjuangan HAS Hanandjoeddin di Kancah Revolusi Kemerdekaan RI” karya Haril M. Andersen diceritakan bahwa pasukan Detasemen Udara Parigi pimpinan Hanandjoeddin awalnya hendak meledakkan sebuah jembatan di Lembah Watulimo, Jawa Timur.
Operasi itu dilakukan untuk menghambat pergerakan pasukan Belanda. Peristiwa ini terjadi pada Januari 1949 atau beberapa minggu setelah Belanda melancarkan Agresi Militer II (19 Desember 1948). Dalam beberapa percobaan awal peledakan yang dilakukan oleh para anak buahnya, peledak yang ditanam tak kunjung meledak, sehingga mereka harus kembali melapor kepada Hanandjoeddin di markas.

Hanandjoeddin pun mencari alternatif lain dengan mendatangi seorang tokoh desa setempat. Ketika itu dirinya bertanya, apakah memang jembatan itu ada yang “melindungi”?
Ternyata tokoh desa itu membenarkannya. Hanandjoeddin pun diminta untuk puasa dan bermunajat kepada Allah SWT jika ingin kerajaan gaib yang melindungi jembatan itu bisa dipindah.
Merasa hal itu tak masuk akal, Hanandjoeddin ingin membuktikan sendiri kebenaran cerita soal jembatan itu bersama beberapa anak buahnya. Perasaan ngeri mulai menghinggapi anak buahnya lantaran hari juga sudah beranjak gelap.
Suasana kian mencekam dan horor saat melewati hutan Watulimo yang dianggap oleh warga lokal sebagai tempat yang angker. “Maaf, Ndan (komandan) sebaiknya kita urungkan rencana malam ini,” ucap M. Yahya, salah seorang anak buah Hanandjoeddin.
Menyadari bahwa anak buahnya ketakutan, Hanandjoeddin berseru, “Kalau kalian takut, kembali saja ke markas! Biar saya sendiri yang pergi ke jembatan!”
Mendengar komandannya berang, anak buahnya tetap mencoba mengikuti Hanandjoeddin dari belakang. Tapi baru saja mau mengikuti, mereka sudah kabur pontang-panting karena melihat pasukan ‘gaib’ besar berbaris menjuruskan bedil kunonya pada mereka.
Hanandjoeddin sendiri tak sadar sudah ditinggal kabur anak buahnya. Mereka yang begitu gagah pantang mundur sejengkal pun saat meladeni tentara Belanda, anehnya langsung lari terbirit-birit saat dihadang tentara gaib berseragam militer Jawa kuno.
Sementara Hanandjoeddin yang meneruskan langkahnya, baru sadar dia ditinggal sendiri saat dikepung pasukan misterius itu. Kendati sempat merinding, Hanandjoeddin memberanikan diri berseru kepada pasukan gaib itu setelah sejenak beristighfar.
“Assalamualaikum! Saya Hanandjoeddin, Komandan Pertahanan di wilayah Watulimo. Kami bermaksud baik menyelamatkan rakyat dan alam daerah ini dari penjajah Belanda. Bantulah perjuangan kami menegakkan kemerdekaan Indonesia. Saya yakin kalian di pihak kami karena perjuangan sudah dilakukan sejak zaman nenek moyang, sejak zaman Sultan Agung Raja Mataram. Kami hanya melanjutkan cita-cita beliau. Saya meminta kalian memaklumi kami memutus jembatan penghubung desa ini demi keselamatan rakyat Watulimo. Terima kasih atas pengertiannya, Assalamualaikum!”
Alhasil, pasukan gaib tersebut langsung hilang. Esoknya, anak buah Hanandjoeddin melanjutkan upaya peledakan jembatan. Dalam percobaan pertama, bom yang dirakit dan ditanam meledak dan langsung merobohkan jembatan tua tersebut.
Percaya ga gaes dengan cerita ini?