
MATA INDONESIA, JAKARTA – Kemegahan tata kota di masa kolonial begitu kental melekat di Kota Surabaya. Ciri khas landmark gedung dan bangunan tua bergaya Eropa klasik, Pecinan pun menjadi hal yang menarik untuk kita kunjungi.
Tak salah jika Gubernur van Oost Java pada masa itu menyebut kota berusia 700 tahun lebih ini dengan memberi julukan The Most Modern City in The Indies. Sebab kala itu wilayah Surabaya Utara oleh VOC merupakan pengembangan kedua lingkar kota Surabaya.
Untuk traveler yang ingin menuju kawasan tersebut, transportasi apa saja bisa digunakan. Mulai dari bis, angkutan umum, maupun taksi. Namun MataIndonesia.id menyarankan lebih baik kalian menggunakan sepeda motor. Karena akan lebih leluasa menikmati perjalanan wisata heritage di kota Pahlawan ini.
Start awal perjalanan napak tilas heritage kota Surabaya ini, dimulai dengan mengunjungi Tugu Pahlawan yang dulunya dikenal sebagai gedung Raad van Justitie. Tugu ini merupakan simbol perjuangan kota Surabaya.

Sekitar area monumen Tugu Pahlawan juga terdapat museum. Ketika berjalan sekitar 100 meter, kalian akan melihat kantor Bappeda yang dulu berfungsi sebagai bioskop Rialto.
Kemudian ada juga gedung Lindeteves Stokvis, yang dibangun pada tahun 1911 dengan arsitek Hulswit, Fermont & Ed. Cuypers dari Batavia. Sekarang beralih fungsi menjadi gedung Bank Mandiri (pada masa penjajahan Jepang, gedung bernama Kitahara Butai) dan ada pula Kantor Gubernur Provinsi Jawa Timur.

Lindeteves Stokvis
Setelah bernostalgia di sekitar Tugu Pahlawan, tak lengkap rasanya tidak mengunjungi daerah Jembatan Merah. Di lokasi inilah Brigjen Mallaby terbunuh saat pertempuran 1945. Jembatan ini dibangun atas dasar perjanjian Paku Buwono II dari Mataram dengan VOC pada 11 November tahun 1743.
Sejarah mencatat, buntut dikeluarkannya undang-undang Wijkenstelsel pada 1843, maka Jembatan Merah dibagi dalam dua wilayah. Dengan pembagian sebelah barat sungai adalah daerah permukiman orang Eropa, dan sebelah timur untuk orang Timur Asing.
Semasa zaman VOC dahulu, Jembatan Merah dinilai penting karena menjadi sarana perhubungan paling vital melewati Kalimas menuju Gedung Keresidenan Surabaya.

Di dekat Jembatan Merah ada jalan bernama Karet. Pada tahun 1900, Jalan Karet (dulu bernama Chinesevoor-Straat), terkenal sebagai daerah perdagangan dan banyak perusahaan Belanda membangun gedung di sana. Salah satunya, gedung Nederland Handels Maatschppij.
Ketika kalian melihat sekeliling bangunan yang ada di sekitar Jembatan Merah, tepatnya di sebelah barat, tampak ada Gedung mirip cerutu. Gedung tersebut menggunakan pakem arsitektur neo klasik yang ketika 1916 itu digunakan sebagai kantor perusahaan gula. Ada juga penampakan sebuah halte trem yang sudah usang.
Pada tahun 1890, kolonial membuat jalur trem uap sepanjang 20 kilometer yang menghubungkan kota lama di utara dengan permukiman dan industri baru di selatan. Hal ini dikarenakan pada tahun 1890 volume kegiatan ekonomi di kawasan utara sudah padat, maka dibangunlah jalur trem sampai selatan, yakni di daerah Ngagel.
Setelah asik menikmati kawasan bekas pemukiman orang Eropa, perjalanan selanjutnya ke sebelah timur Jembatan Merah. Yakni wilayah Vreemde Oosterlingen, sebuah sebutan orang asing Asia. Pintu masuk daerah tersebut terdapat gapura yang bertuliskan Kya-Kya, yang beberapa tahun lalu oleh Pemerintah Kota Surabaya dijadikan Kawasan Pecinan dan wisata kuliner. Namun sayang, sekarang sudah dinonaktifkan.
Tak hanya itu, di wilayah tersebut terdapat juga Arabische Kamp atau kawasan Arab,, dimana ada tempat wisata religi makam Sunan Ampel, salah satu Wali Songo.
Demografi kawasan Arab ini, menjadikan ciri khas tersendiri bagi kita yang mengunjunginya. Disini Gardanesia berkesempatan untuk mencicipi makanan khas timur tengah. Tak hanya itu, kita juga bisa membeli parfum dan kerajinan timur tengah.
Hal ini dikarenakan masyarakat keturunan Arab di kawasan tersebut masih menjaga tradisi ekonomi mereka.
Selesai menyantap makanan khas Timur Tengah, perjalanan pun dilanjutkan dengan mengunjungi Stasiun Surabaya Kota alias Stasiun Semut yang terletak di Pabean Cantikan. Stasiun ini dibangun ketika jalur kereta api Surabaya-Malang dan Pasuruan mulai dirintis sekitar tahun 1870.
Tujuannya untuk mengangkut hasil bumi dan perkebunan dari daerah pedalaman Jatim, khususnya dari Malang, ke Pelabuhan Tanjung Perak yang juga mulai dibangun sekitar tahun itu. Gedung ini diresmikan pada tanggal 16 Mei 1878.Dan sejak tahun 1996, Pemerintah Kota Surabaya menetapkan stasiun ini sebagai cagar budaya.
Selain itu, di kawasan Utara juga terdapat bekas penjara pada masa kolonial yang bernama Kalisosok. Oh iya, di penjara itu pula Bung Tomo pernah ditahan. Untuk menghilangkan kesan angker, oleh Pemkot Surabaya dinding penjara dibuat seni grafiti.
Selanjutnya kalian wajib mengunjungi Bank Mandiri di Jalan Kembang Jepun. Dulunya, gedung itu bernama Bank Escompto. Oleh Bank Mandiri, lantai satu digunakan sebagai museum foto pertempuran pejuang Surabaya, bebas untuk umum lho.
Dan ternyata, pada masa kolonial, pembentukan struktur kota modern ditandai dengan keputusan meruntuhkan tembok kota pada tahun 1871. Bekas jalur tembok itu sekarang menjadi Jl Indrapura dan Jl Sidotopo.
Berjalan 150 meter, ada House of Sampoerna yang dulunya rumah tinggal pendiri pabrik rokok Sampoerna, Liem Siong Te. Masih ada juga bangunan neo klasik yang digunakan Polwiltabes Surabaya dan Gedung PTPN XI(Handelsvereeniging Amsterdam) yang menggunakan tiang-tiang klasik bergaya Yunani yang dibangun pada 1925.
Puas mengelilingi kawasan Utara Surabaya, kalian bisa mengunjungi obyek heritage lainnya yakni Hotel Yamato atau Oranje. Hotel ini didirikan pada bulan Juli 1911 oleh Lucas Martin Sarkies dengan nama Oranje Hotel. Sempat berganti nama empat kali, yaitu dari nama Oranje Hotel lalu berganti menjadi Hotel Yamato di tahun 1945 dan tak lama kemudian berganti lagi menjadi Hotel Merdeka di tahun yang sama.
Pasca penjajahan Jepang Lucas Martin kembali merebut kepemilikan hotel dan Hotel Merdeka berganti menjadi L.M.S Hotel hingga akhirnya pada tahun 1969 menjadi Hotel Majapahit sampai sekarang.
Hotel ini juga menjadi saksi heroisme para pejuang Surabaya merobek bendera Belanda dalam merebut kembali kemerdekaan.

Belum puas jalan-jalannya? Tak perlu khawatir, kalian dapat mengunjungi Gerbong Maut yang ada di area Gedung 45 Jalan Mayjend Sungkono, lalu Gedung Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga yang bergaya arsitektural khas Eropa, dan melihat reruntuhan Benteng Kedung Cowek yang dibangun pada masa 1942-1945.

Jangan lupa untuk menyempatkan melirik kemegahan taman makam Peneleh atau De Begraafplaats Peneleh Soerabaja. Dibangun pada tahun 1814, makam yang memiliki luas 5,4 hektar ini konon merupakan makam modern tertua di Indonesia dan beberapa negara tetangga. Makam Peneleh hanya kalah tua dengan Pere La Chaise Cemetery Paris yang lahir lebih dahulu yakni tahun 1804.
Dengan menelusuri semua jalur tersebut, pantas jika menyebut Surabaya sebagai Amsterdam of the East, dengan jejalur utama dari aliran Kalimas.
Sebenarnya masih banyak yang ingin dibagi dalam tulisan perjalanan ini gaes. Sebab masih banyak daya tarik eksotisme wisata sejarah masa lampau Surabaya, sekaligus untuk mengingatkan kembali atas perjuangan para pahlawan. Semoga bermanfaat yaa!!