Opini – Mata Indonesia http://mataindonesia.id Tajam & Terpercaya Wed, 21 Jun 2017 14:56:30 +0000 id-ID hourly 1 https://wordpress.org/?v=4.8 130233985 REGULASI PEMILU BUKAN DOMINASI DPR DAN PARPOL http://mataindonesia.id/opini/regulasi-pemilu-bukan-dominasi-dpr-dan-parpol/ Wed, 21 Jun 2017 14:42:42 +0000 http://mataindonesia.id/?p=2831 Continue Reading]]> Dead lock” (kebuntuan) debatable tentang diskursus formulasi Sistem Pemilu, dan opsi benturan kepentingan politik antar Fraksi Partai Politik (Parpol) di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), telah berdampak pada berlarutnya proses finalisasi Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) sejak 2016. Bahkan, target finalisasi regulasi Pemilu kembali tertunda hingga Sidang Paripurna DPR pada 15 Juni 2017. Pertanyaannya, bagaimana komitmen kinerja Pansus RUU Pemilu dan Fraksi Parpol di DPR, dalam menjawab urgensi finalisasi regulasi Pemilu tanpa “dead lock” sesuai tenggat waktu yang telah ditentukan Pemerintah? Akankah diskursus DPR dan Parpol tentang regulasi Pemilu meninggalkan visi kepentingan nasional?

   

“Dead Lock” Finalisasi Regulasi Pemilu Lemahkan KPU Dan Bawaslu 

Tulisan ini, tidak bermaksud membahas secara teoretik polemik benturan kepentingan politik Parpol dan DPR dalam diskursus RUU Pemilu. Namun, kembali menempatkan urgensi regulasi Pemilu dalam koridor kepentingan nasional, yang melingkupi semua komponen kebangsaan didalamnya secara etika politik, dan konstitusional. Sehingga, debatable beda opsi anatomi regulasi Pemilu antara Komisi-II DPR, Pansus RUU Pemilu, Parpol, Kemendagri, KPU dan Bawaslu tidak berdampak pada “dead lock” finalisasi RUU Pemilu hingga tenggat waktu yang telah ditentukan Pemerintah.

Tentunya, publik juga turut mencermati perkembangan isu media massa tentang polemik pembahasan RUU Pemilu yang memanaskan Gedung Parlemen di Senayan. Serta, mewanti-wanti agar integritas kinerja lembaga KPU dan Bawaslu tidak terdampak “dead lock” finalisasi RUU Pemilu, diitengah tuntutan persiapan tahapan awal penyelenggaraan Pilkada Serentak 2018, dan Pemilu Serentak 2019.

 

Pertama, jika finalisasi RUU Pemilu di tingkat DPR terancam “dead lock” hingga batas waktu pengesahannya yang diminta Pemerintah pada Juli 2017. Maka, Pemerintah akan dihadapkan pada opsi kebijakan regulatif alternatif: (1) Penerbitan Peraturan Pengganti Perundang-undangan tentang Penyelenggaraan Pemilu (Perppu); atau (2) Mereferensikan kembali Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden (UU Pemilu), sebagai dasar regulasi pelaksanaan Pemilu Serentak 2019.

Kedua, sesuai ketentuan klausul Pasal 3 UU Pemilu, KPU bertugas untuk menyiapkan agenda tahapan penyelenggaraan Pemilu yang meliputi: (1) Tahapan  penyusunan Daftar Pemilih (Dapil); (2) Tahapan pendaftaran bakal Pasangan Calon; (3) Tahapan penetapan Pasangan Calon; (4) Tahapan masa Kampanye; (5) Tahapan  masa tenang; (6) Tahapan pemungutan dan penghitungan suara; (7) Tahapan penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden; dan (8) Tahapan pengucapan sumpah/janji Presiden dan Wakil Presiden. Artinya, jika finalisasi RUU Pemilu terancam “dead lock”, maka integritas kinerja KPU dan Bawaslu sebagai lembaga penyelenggara Pemilu sangat dipertaruhkan, equivalent dipertaruhkannya integritas pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 secara konstitusional.

Ketiga, penundaan berulang dan “dead lock” finalisasi RUU Pemilu di DPR, akan dinilai publik sebagai pemborosan anggaran negara. Karena pembasan RUU Pemilu telah menjadi agenda prioritas sejak Prolegnas 2016 hingga Prolegnas 2017, serta menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Maka, semua Fraksi Parpol di Komisi-II DPR, dan Pansus RUU Pemilu, diharapkan segera memformulasikan RUU Pemilu menjadi undang-undang, tanpa benturan kepentingan politis antar Parpol jelang kontestasi Pemilu Serentak 2019. Hal ini, mengingat bahwa penyelesaian regulasi Pemilu yang berkualitas, juga mempertaruhkan kepercayaan masyarakat terhadap integritas kinerja lembaga legislatif dan eksekutif dalam membangun sistem demokrasi Indonesia yang lebih baik. Selain itu, Kemendagri, KPU, Bawaslu, dan Pemerintah Daerah (Pemda)  dihadapkan pada batas waktu persiapan tahap regulatif, dan administratif Pilkada Serentak 2018 yang akan dimulai pada Juli 2017.

Sehingga, diregulasikannya UU Pemilu menjadi urgensitas seluruh komponen bangsa, dan demi mensukseskan visi kepentingan nasional. Dalam perspektif filosofis etika kekuasaan politik Jawa, dikenal istilah “Hambeg Paramartha”, yang berarti sikap para satria harus mengutamakan nilai keadilan, serta kepentingan bangsa dan negaranya. Para legislator yang diamanatkan menjadi wakil rakyat di lembaga DPR, setidaknya, layak diibaratkan sebagai para satria legislasi yang berintegritas, kompeten, dan kapabel dalam melaksanakan dharmanya sebagai suksesor visi kepentingan nasional. Hal ini, mengingat bahwa baik atau buruknya sistem penyelenggaraan Pemilu Serentak 2018, juga sangat ditentukan oleh regulasi Pemilu yang diformulasi DPR.

Sementara, KPU dan Bawaslu secara konstitusional dan fungsi kelembagaan, dituntut bertanggung-jawab secara manajerial dalam menghasilkan pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 yang terintegrasi, berintegritas, berkualitas, berkeadilan, akuntabel, aman, edukatif, informatif, dan demokratis. Selain itu, KPU dan Bawaslu dituntut mempersiapkan sistem manajerial penggabungan Pemilu Legislatif, dan Pemilu Eksekutif yang dilakukan secara serentak, dan bersifat nasional. Serta, perlu didukung penguatan sistem manajemen konflik secara konstitusional dan terintegrasi dengan sistem keamanan nasional, untuk mengantisipasi potensi terjadinya konflik horizontal yang dapat merusak integritas pelaksanaan Pemilu.

 

Isu Debatable Opsi DPR Jelang Finalisasi RUU Pemilu

 

Sebagaimana pemberitaan SKH. Media Indonesia terbitan 12 Juni 2017. Ketua Pansus RUU Pemilu, Lukman Edy menyatakan, bahwa polemik pembahasan lima isu krusial dalam RUU Pemilu harus segera diselesaikan pada Juli 2017, karena KPU dan Bawaslu harus melakukan persiapan tahapan Pemilu Serentak 2019. Lima isu krusial RUU Pemilu tersebut: (1) Opsi Parliamentary Threshold; (2) Opsi Presidential Threshold; (3) Opsi Dapil magnitude; (4) Opsi model Sistem Pemilu; dan (5) Opsi metode konversi suara. Jika, musyawarah untuk mufakat tidak bisa dilakukan, maka putusan terkait 5 isu krusial dalam RUU Pemilu harus dilakukan melalui sistem voting semua anggota Fraksi Parpol di Komisi-II DPR.

Sementara, Ketua Komisi-II DPR, Zainudin Amali, dalam pemberitaan SKH. Kompas pada 13 Juni 2017, mengemukakan 6 opsi ajuan DPR dalam pembahasan RUU Pemilu, terkait: (1) Opsi penambahan jumlah kursi anggota DPR; (2) Opsi pembiayaan pelatihan saksi menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN); (3) Opsi sistem Pemilu Tertutup; (4) Opsi sistem Pemilu Terbuka Terbatas; (5) Opsi Parliamentary Threshold; dan (6) Opsi Presidential Threshold.

Wacana DPR tentang penambahan jumlah kursi anggota DPR, dan pembiayaan pelatihan saksi menggunakan APBN akan membebani anggaran negara. Selain itu, blunder opsi sistem Pemilu secara Tertutup, Terbuka, atau Terbatas akan melemahkan sistem Pemilu Serentak yang jujur, adil dan demokratis. Sistem Parliamentary Threshold, atau Presidential Threshold akan memicu konflik kepentingan politik antar Parpol di DPR, dan memudahkan legislator menyalah-gunakan kewenangan konstitusional untuk melakukan impeachment terhadap Presiden.

Keenam opsi Komisi-II DPR tersebut, kemudian ditanggapi dengan sikap penolakan Koalisi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), yang menamakan “Koalisi Masyarakat Sipil Kawal RUU Pemilu”, karena dinilai tidak relevan dengan sistem Pemilu Serentak, berpotensi memicu konflik kepentingan politik, membebani APBN, dan melemahkan sistem demokrasi Indonesia. Koalisi LSM tersebut, terdiri: (1) Constitutional and Electoral Reform Center (Correct); (2) Indonesia Corruption Watch (ICW); (3) Indonesia Budget Center (IBC); (4) Komite Pemantau Legislatif (Kopel); (5) Rumah Kebangsaan; (6) Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR); (7) Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem); (8) Konstitusi dan Demokrasi (KoDE) Inisiatif; (9) Yappika; (10) Tranparency International Indonesia (TII); (11) Koalisi Perempuan Indonesia; (12) Pusako Fakultas Hukum Universitas Andalas; dan (13) Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK).

Pada 14 Juni 2017, SKH. Koran Tempo menyoroti penegasan Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tjahjo Kumolo, bahwa Pemerintah menargetkan pembahasan RUU Pemilu selesai pada Juli 2017, karena lembaga KPU dan Bawaslu harus mempersiapkan tahapan Pilkada Serentak 2018 pada Juli 2017, dan persiapan tahapan Pemilu Serentak 2019 pada Agustus 2017. Jika hingga 19 Juni 2017, DPR belum memutuskan isu krusial dalam RUU Pemilu, maka penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019 akan mengacu UU Pemilu yang lama, sesuai Keputusan Mahkamah Agung (MA) tentang Penyelenggaraan Pemilu, dan Pasal 22E UUD 1945.

Pemberitaan media SKH. Republika terbitan 15 Juni 2017, memunculkan isu trending topic terkait wacana Pemerintah yang akan mundur dari pembahasan RUU Pemilu. Sebagaimana pernyataan Mendagri sebelumnya, bahwa jika hingga 19 Juni 2017, tidak ada kesepakatan antara Pemerintah dengan DPR, terkait opsi ambang batas pencalonan Presiden (Presidential Threshold) minimal 20% suara, dan opsi ambang batas Parlemen (Parliamentary Threshold) sebesar 3,5%. Opsi tersebut, untuk membuka peluang munculnya banyak kandidat Calon Pemimpin Bangsa dalam kontestasi Pemilu Serentak 2019, yang dapat dipilih oleh rakyat Indonesia secara demokratis.

Pemberitaan media SKH. Koran Sindo edisi 16 Juni 2017, kembali menyoroti isu tuntutan Koalisi Masyarakat Sipil Kawal RUU Pemilu agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) menolak formulasi RUU Pemilu versi DPR, melalui Kemendagri, Kemenkumham, dan Kemenkeu. RUU Pemilu versi DPR, dinilai rawan konflik kepentingan politik antar Fraksi DPR, melemahkan sistem konstitusional Pemilu, blunder sistem Pemilu, serta akan mempengaruhi kinerja KPU dan Bawaslu dalam persiapan tahapan Pemilu Serentak 2019.

Munculnya sikap pro-kontra formulasi RUU Pemilu dalam Fraksi Parpol di  DPR, semestinya, memperjelas kapasitas Regulasi Pemilu secara konstitusional tidak bisa dipaksakan memenuhi kepentingan politik seluruh Parpol. Kemudian, jika suara Fraksi tetap terbelah meskipun menggunakan sistem voting pada 16 Juni 2017. Maka, untuk mereduksi polemik perbedaan pandangan terkait 5 isu krusial dalam formulasi RUU Pemilu tersebut, sikap ego sentris kepentingan politik sesaat Parpol harus dihentikan, demi menyelamatkan kepentingan nasional. Sehingga, tercapainya kepentingan nasional disepakati di atas kepentingan Parpol.

Pertama, opsi ambang batas pencalonan Presiden (Presidential Threshold), menjadi penentu penyelesaian 4 isu opsi krusial lainnya dalam RUU Pemilu yang dapat berdampak secara sistematis, antara lain: (1) Isu metode konversi suara ke kursi Parlemen; (2) Isu alokasi kursi pada setiap Daerah Pemilihan (Dapil); (3) Isu sistem Pemilu Legislatif (Pileg); dan (4) Isu ambang batas Parlemen (Parliamentary Threshold). Hal ini, mengingat hanya Fraksi PDI-P, Fraksi Golkar, dan Fraksi Nasdem yang konsisten mendukung opsi Pemerintah, terkait penerapan ambang batas Presidential Threshold sebesar 20% perolehan kursi, dan perolehan suara nasional sebesar 25%. Sementara, dukungan Fraksi Parpol lainnya di Komisi-II DPR masih terpecah, karena masih banyak Fraksi yang menuntut penurunan ambang batas hingga penghapusan ambang batas 0%.

Kedua, dalam opsi isu ambang batas Parlemen (Parliamentary Threshold), Pemerintah mengusulkan di atas 3,5%, atau kesepakatan pada 4%. Namun, Fraksi Partai Nasdem dan Partai Golkar menuntut 7%, sehingga suara Fraksi menjadi blunder dan terpecah kembali. Demikian pula, terkait opsi metode konversi suara ke kursi, Fraksi Parpol di Komisi-II DPR masih saling debat diskursus teroretik antara metode Kuota Hare, Saint Lague Murni, atau Saint Lague Modifikasi yang sarat kepentingan masing-masing Parpol terkait isu kontestasi Pileg dan Pilpres 2019.

Isu trending topic pemberitaan media massa nasional pada 17 Juni 2017, menyorot pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam sesi kunjungan kerja ke Jawa Tengah, yang menegaskan bahwa pembahasan RUU Pemilu harus menciptakan sistem Pemilu yang lebih sederhana, dan Parpol diminta untuk lebih konsisten dengan tujuan kepentingan nasional. Lebih lanjut, Presiden Jokowi menegaskan, bahwa Pemerintah berharap agar lambannya proses finalisasi pembahasan beleid Pemilu di tingkat DPR, tidak berdampak pada kemunduran proses pembangunan politik negara di masa depan.

 

 Integritas Regulasi Pemilu, Equivalent Integritas DPR Dan Pemerintah

 

Polemik konflik kepentingan politik dalam pembahasan RUU Pemilu di DPR harus dihentikan, karena akan mempengaruhi kinerja Kemendagri, KPU, dan Bawaslu dalam persiapan administrasi tahapan Pilkada Serentak 2018, dan Pemilu Serentak 2019. Selain itu, polemik “dead lock” proses finalisasi regulasi Pemilu, akan melemahkan integritas DPR sebagai lembaga legislatif di mata publik. Dalam diskursus RUU Pemilu, kiranya Pemerintah, Pansus RUU Pemilu dan DPR, dinilai perlu memperkuat fungsi kewenangan lembaga, dukungan anggaran, dan jumlah anggota KPU dan Bawaslu.

Hal ini, berkorelasi dengan semakin bertambahnya beban tugas secara konstitusional, tingginya potensi pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu, kelengkapan logistik, akuntabilitas anggaran Pemilu, pengawasan pelanggaran UU Pemilu, stabilitas keamanan nasional, serta potensi konflik politik identitas dalam manajerial Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) secara serentak pada 2019 mendatang. Semoga, kerja final DPR untuk meregulasikan RUU Pemilu menjadi undang-undang, terintegrasi secara etik dengan misi kepentingan nasional, mengutamakan prinsip musyawarah untuk mufakat, berkeadilan, dan menjadi bagian dari proses edukasi politik bagi seluruh rakyat Indonesia.

Regulasi Pemilu menjadi urgensitas bagi seluruh komponen bangsa Indonesia, bukan hanya sebatas dominasi kepentingan politik DPR dan Parpol. Tentunya, ancaman “dead lock” regulasi Pemilu tidak perlu terjadi dengan solusi “Hambeg Paramartha”. Karena, komitmen DPR dan Parpol dalam menjawab urgensi pengesahan RUU Pemilu menjadi undang-undang, tanpa “dead lock”, dan sesuai target waktu yang disepakati bersama dengan Pemerintah. Pada akhirnya, kualitas formulasi regulasi Pemilu, akan berkelindang dengan sejarah masa depan bangsa Indonesia, yang ditentukan oleh rasa nasionalisme para wakil rakyat di Gedung Senayan, Jakarta. Kesuksesan Pemilu Serentak 2019, dimulai dari DPR.

 

Ismu Daly, M.Fil

Praktisi Budaya pada Komunitas Bentara Budaya Yogyakarta

 

gambar : buanaindonesia.co.id

]]>
2831
TRANSFORMASI PANCASILA DI TANAH KELAHIRANNYA http://mataindonesia.id/opini/transformasi-pancasila-di-tanah-kelahirannya/ Tue, 13 Jun 2017 02:44:33 +0000 http://mataindonesia.id/?p=2499 Continue Reading]]> LIBERALISME” merupakan satu-satunya ideologi yang tersisa di sebagian besar dunia yang telah beradab.  Demikian Fukuyama dalam bukunya “The End Of History And The Last Man (1992)”, lebih lanjut Fukuyama menjelaskan bahwa di Eropa Selatan, Amerika Latin, Eropa Timur dan Asia, ekonomi pasar bebas dan demokrasi parlementer dengan cepat menjadi norma, selain itu di sebagian besar wilayah dunia sekarang sudah tidak ada lagi ideologi dengan pretensi kepada konversalitas yang berada pada posisi menentang terhadap demokrasi liberal dan tidak ada lagi prinsip legitimasi universal kecuali kedaulatan rakyat.  (Fukuyama 1992 : 45) fenomena tersebut dilihat sebagai tanda-tanda dunia sedang bergerak ke dalam “Tatanan Baru” yang ia sebut sebagai “NEW LIBERALISME”.

Problem hakiki dalam konteks ke-Indonesiaan adalah betapa ruang kebangsaan sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat serta memiliki identitas Nasional ”Ideologi Pancasila” sedikit demi sedikit mulai kehilangan ruh dan mengundang dialektika dari berbagai kalangan baik yang bersifat optimis maupun pesimis.  Arus globalisasi yang sedemikian kuat dan dahsyat telah menjadikan dunia sebagai medan pertarungan dan pemasaran ideologi yang bersinggungan satu sama lain. Konsekuensinya adalah Pancasila yang selama ini didengungkan dan diagung-agungkan sebagai ideologi negara, sebagai kepribadian bangsa dan sebagai sumber dari segala sumber hukum (Ground Norm) saat ini terasa semakin kehilangan ruhnya.

Globalisasi yang identik dengan pasar terbuka (open market) dan semangat persaingan (competition) membuat Indonesia yang saat ini berada pada transisi demokrasi menjadi kehilangan jati diri, ideologi nasional Pancasila yang sebelumnya telah melembaga dan mengakar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara kian terkikis.  Demikian pula katup-katup pengamanan sosial rupanya tidak bisa bekerja dengan baik karena memang tidak mudah untuk mengelola perubahan yang sangat cepat, selain itu terjadi bias dan kegamangan yang makin kentara terhadap ideologi Pancasila,  Akibat dari itu semua berbagai anomali sosial seakan menbanjir ditengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Menghadapi penomena tersebut, maka solusi jalan terbaik bagi bangsa ini adalah “ Transformasikan Pancasila di Tanah Kelahiranya”. Transformasi  itu sendiri menurut kamus bahasa Indonesia ada dua makna yaitu 1 perubahan rupa (bentuk, sifat, fungsi, dsb): Asia Tenggara diliputi suasana transisi dan -- akibat kemenangan mereka; terjemahan puisi yg baik kerap kali menuntut -- secara besar-besaran; 2 Ling perubahan struktur gramatikal menjadi struktur gramatikal lain dng menambah, mengurangi, atau menata kembali unsur-unsurnya; men·trans·for·ma·si·kan v 1 mengubah rupa (bentuk, sifat, fungsi, dsb); mengalihkan: Pemerintah berhasil ~ benteng itu menjadi objek pariwisata; 2 Ling mengubah struktur dasar menjadi struktur lahir dng menerapkan kaidah transformasi

Dengan demikian transformasi adalah sebuah proses perubahan secara berangsur-angsur sehingga sampai pada tahap ultimate, perubahan yang dilakukan dengan cara memberi respon terhadap pengaruh unsur eksternal dan internal yang akan mengarahkan perubahan dari bentuk yang sudah dikenal sebelumnya melalui proses menggandakan secara berulang-ulang atau melipatgandakan.”.  Transformasi sejatinya bukan revolusi, bukan pula evolusi biasa tetapi harus dimaknai sebagai evolusi yang dipercepat (accelerated evolution)  atau root principles of democracy yang dilakukan secara gradual dan sistematis.  Konsekuensinya adalah bahwa hal-hal yang dimasa lalu tidak baik, tidak benar, tidak tepat, tidak cocok, tidak relevan dan seterusnya perlu disempurnakan dan diperbaiki khususnya yang berkaitan dengan aktualisasi proses demokrasi dan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tranformasi bukan bermakna penghancuran total dan emosional terhadap tata nilai, norma dan kaidah serta hasil-hasil dimasa lalu untuk kemudian dihancurkan secara membabi buta atau dengan cara sporadis mengganti nilai-nilai, norma, kaidah dan pranata yang baru untuk merubah seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara karena nilai-nilai baru pun disamping tidak menjamin kemapanan dan kesejahteraan sebagaimana yang didambakan juga belum tentu sesuai dengan nilai Pancasila sebagai ideologi negara, selain itu Pancasila telah teruji dan menjadi satu-satunya alat yang mampu menyatukan bangsa Indonesia dengan berbagai varian kebhinekaan. Sehingga diharapkan kepada semua anak bangsa untuk menghormati dan mengedepankan berbagai prasyarat untuk hidup bermartabat (living in dignity) sebagai segitiga yang bersifat universal yang meliputi demokrasi, rule of law serta perlindungan HAM. Transformasional tersebut harus dilaksanakan secara konsisten, dengan semangat kebangsaan yang terwadahi dalam nilai-nilai luhur Pancasila sebagai ideologi, falsafah dan dasar negaranya, disamping itu kesadaran masyarakat perlu terus di tumbuh kembangkan agar ideologi Pancasila sebagai ciri khas kepribadian dan jatidiri bangsa Indonesia dapat benar-benar menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pola pikir, pola sikap dan pola tindak dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.  Transformasi  Pancasila terwujud dalam :

Pertama. Indonesia  adalah Negara hukum dan karenanya seluruh produk hukum yang berlaku harus mengacu kepada Ground Norm yang dikenal dengan nama Pancasila, pengaturan seluruh aspek kenegaraan seharusnya tersusun atas dasar nilai-nilai yang terkandung didalam Pancasila.  Formulasi hukum sebagai refresentasi nilai-nilai Pancasila tersebut, mengadopsi “Teory Stufenbaw Dest Richt” Hans Kalsen bahwa piramida hukum tersusun secara berjenjang dimana piramida yang dibawah tidak boleh bertentangan dengan piramida diatasnya demikian seterusnya dimana sebagai puncak piramida itu adalah Ground Norm yaitu Pancasila.  Politik hukum di Indonesia harus bertitik tolak dan konsisten terhadap hirarki peraturan perundang undangan baik pada substansi maupun materi muatannya agar nilai-nilai Pancasila benar-benar dapat terejawantahkan dalam segenap aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang tereduksi dalam hukum positif sesuai dengan hirarki peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam pasal 7 ayat (1) UU No 10 tahun 2004, dengan tata urutan mulai UUD 1945, undang-undang/peraturan pemerintah pengganti undang-undang, peraturan pemerintah,  peraturan Presiden  dan peraturan daerah.  Disisi lain penyelenggaraan negara harus mengacu kepada aturan hukum dan setiap warga negara juga wajib tunduk dan taat pada hukum yang berlaku di negara ini, cita-cita hukum Pancasila harus direfresentasikan dalam kenyataan di masyarakat sehingga terjadi keseimbangan antara cita-cita hukum (das sallen) dengan kenyataan faktual (das sein).

Kedua. Bahwa negara Pancasila adalah negara demokrasi yang dalam keseluruhan kegiatan membuka peluang yang cukup besar bagi munculnya partisipasi masyarakat.  Hakikat demokrasi Pancasila adalah musyawarah untuk mufakat sehingga aktualisasi demokrasi harus mengedepankan nilai-nilai Pancasila, membuka kran kebebasan yang bertanggung jawab dan tidak melepaskan diri dari nilai-nilai ketuhanan, kemanusian, persatuan, musyawarah dan keadilan.  Hak-hak politik sebagai bagian dari demokrasi dikembangkan berdasarkan keseimbangan antara hak dan kewajiban. sehingga tidak muncul pemaksaan kehendak secara individu, kelompok maupun organisasi yang bergerak melampaui norma dan kepatutan rambu-rambu demokrasi Pancasila yang mengedepankan semangat musyawarah dan mufakat.  Kebebasan bukan bermakna tanpa batas karena kebebasan sejatinya dibatasi oleh hak dan kewajiban azasi orang lain yang bersumber dari nilai-nilai Pancasila itu sendiri.

Ketiga. Negara Pancasila adalah perwujudan organisasi rakyat Indonesia yang menata diri dalam satu cita-cita dan tujuan terwujudnya kesejahteraan masyarakat Indonesia secara lahir maupun bathin (negara hukum dan kesejahteraan yang demokratis) sebagai organisasi negara wajib menjamin keamanan, ketertiban dan kesejahtreraan masyarakat sehingga seluruh sistem kenegaraan harus ditata sedemikian rupa sebagai refresentasi perwujudan nilai-nilai Pancasila pada tatanan operasional.

Keempat. Negara Pancasila adalah persekutuan masyarakat/manusia dengan kepribadian religius, humanistik, antalogis manistik (cinta persatuan dan kesatuan) demokratis dan adil (Manusia Pancasila, Sujana : 2006).  Kepribadian masyarakat dan bangsa Indonesia serta filosofis Pancasila sebenarnya lengkap dengan berbagai nilai yang agung dan luhur dan sekaligus sebagai ciri khas entitas bangsa yang disebut Indonesia.  Namun demikian Pancasila dalam perkembangannya belum sepenuhnya terjabarkan dalam tata nilai, tata laku dan tata sikap di segenap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara bahkan dalam perkembangannya nilai-nilai Pancasila semakin mengawang-awang dan belum sepenuhnya dijadikan rujukan atau pedoman dalam mengatur tata kehidupan berbangsa dan bernegara.  Refleksi nyata dari sinyalemen tersebut adalah permaknaan Bhineka Tunggal Ika yang sampai hari ini masih menghadapi problem mendasar.

Kelima. Negara Pancasila berpilarkan Bhineka Tunggal Ika yang didalamnya terdapat berbagai varian perbedaan, perbedaan tersebut harus dapat menjadi  perekat persatuan dan kesatuan bangsa, nilai-nilai sosial kemasyarakatan sebagai implementasi dari nilai Pancasila dalam suasana keberagaman/fluralistik yang saat ini sedang teruji keberadaannya, konflik vertical dan horizontal,berkembangnya faham Radikalisme dan terorisme, sampai  gagasan memisahkan diri dari NKRI, terorisme, munculnya semangat primordialisme sampai dengan upaya pembentukan Negara Islam Indonesia (NII) oleh kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat menunjukan bahwa kebhinekaan kita belum tuntas dalam menyemangati dan memaknai bingkai persatuan dan kesatuan bangsa sehingga makna kebhinekaan perlu terus ditanamkan dan digaongkan kembali dari lintasan generasi bangsa.

Pancasila, saat ini berhadapan dengan tantangan global yang identik dengan liberalisme,  sebagai bangsa yang cerdas sudah sepatutnya kita tidak boleh terus mengeluh, menyerah dan marah tetapi bangsa yang mampu mengalirkan sumber daya dan potensi yang tersedia di arena global untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.  Prinsip dasar yang perlu dibangun adalah menjadikan Indonesia sebagai ladang yang teduh bagi bertemunya anak bangsa yang penuh dengan Kebhinekaan, proses reformasi, demokratisasi dan rekonstruksi harus berjalan secara damai tanpa kekerasan, menghentikan saling kecurigaan, polemik saling menyalahkan, memperkecil ruang konflik, menghargai keberagaman dan membangun kebersamaan perlu dikedepankan dan diberdayakan kembali dalam segenap aspek kehidupan, dengan cara tersebut bangsa ini akan mampu menata kembali kerangka kehidupan berbangsa dan bernegara yang sesuai dengan ideologi Pancasila yang dicita-citakan.

Dr. Tugiman

Pengamat Sosial dan Dosen Universitas Pasundan Bandung

]]>
2499
MEWASPADAI PEREDARAN UANG PALSU MENJELANG DAN PASCA IDUL FITRI http://mataindonesia.id/opini/mewaspadai-peredaran-uang-palsu-menjelang-dan-pasca-idul-fitri/ Tue, 06 Jun 2017 12:17:06 +0000 http://mataindonesia.id/?p=2323 Continue Reading]]> Peredaran uang rupiah palsu merupakan tindak kejahatan yang memanfaatkan momen-momen tertentu terutama momen hari raya Idul Fitri yang menyedot dan sekaligus mentransformasikan  berbagai aktivitas perekonomian masyarakat. Selama kurun waktu 2017 Secara kuantitas, terjadi fluktuasi peredaran uang palsu, dimana pada bulan Mei 2017 sebanyak 10 kasus, April 5 kasus, Maret 4 Kasus dan Pebruari 6 Kasus serta Januari sebanyak 3 kasus. kecenderungan peningkatan peredaran uang palsu terjadi pada bulan Januari dan Pebruari 2017 (9 kasus) serta Mei 2017 (10 kasus), hal tersebut dimungkinkan karena pada bulan Januari s.d Februari bersamaan waktunya dengan proses pelaksanaan Pemilukada serentak beberapa daerah di Indonesia sehingga peredaran uang palsu diduga ada korelesi dengan kepentingan politik. Sedangkan meningkatnya peredaran uang palsu yang terjadi pada bulan Mei 2017 diprediksi karena pelaku memanfaatkan momentum bulan puasa dan Idul Fitri yang akan datang untuk tujuan atau kepentingan ekonomi.

            Selama Januari s.d Mei 2017, jumlah total uang palsu yang beredar di masyarakat dan berhasil diamankan petugas sebesar Rp1.362.745.000,- dengan rincian bulan Mei sebesar Rp220.360.000,-, April sebesar Rp109.685.000,- Maret sebesar Rp22.600.000, Februari sebesar 189.450.000 dan Januari sebesar Rp820.650.000,-. Meningkatnya Peredaran uang palsu dalam jumlah yang cukup signifikan terjadi pada  bulan Januari, Pebruari dan Mei 2017. Pada bulan Januari dan Pebruari 2017 uang palsu yang beredar jumlahnya mencapai Rp1.230.460.000,- . Hal ini mengindikasikan bahwa ada korelasi antara peredaran uang palsu dengan proses Pilkada serentak 2017, dengan bukti menjelang momentum proses Pilkada serentak 2017 terjadi lonjakan peredaran uang palsu dengan jumlah mencapai miliaran rupiah. Demikian pula pada bulan Mei 2017, ketika menjelang bulan Ramadhan dan Idul Fitri peredaran uang palsu kembali mengalami kenaikan (10 kasus) dengan total nilai sebesar Rp220.360.000,-. Meskipun dari sisi jumlah peredaran uang palsu pada bulan Mei 2017 lebih kecil dibandingkan peredaran uang palsu pada bulan Januari dan Pebruari 2017, namun dilihat dari sebaran uang palsu pada bulan Mei lebih luas dan terjadi di beberapa daerah, hal ini mengindikasikan kepentingan ekonomi lebih dominan seiring meningkatnya kebutuhan pokok masyarakat menghadapi bulan Ramadhan dan hari raya Idul Fitri 2017.

            Ditinjau dari kuantitas jumlah uang palsu yang beredar, Prov. Bali menempati rangking pertama dengan jumlah Rp502.430.000,- disusul Palembang, Sumsel sebesar Rp295.750,000, kemudian Palangka Raya Kalteng Rp166.000.000,- dan Indramayu, Jabar sebesar Rp.100.000.000,-. Sedangkan daerah sebaran uang palsu secara berturut-turut adalah Jabar (Kab. Indramayu dan Kota Depok), Jateng (Kab. Banyumas dan Kab. Rembang), Jatim (Kab. Bondowoso dan Jember), Sulteng (Kab. Banggai dan Kab. Marowali) masing-maing 2 kasus, disusul Palembang (Sumsel), Imogiri, Bantul (Yogyakarta), Kab. Kupang (NTT), Kab. Pohuwato (Gorontalo), Kota Babussalam (NAD), Kab. Tangerang (Banten), Kab. Sintang (Kalbar), Kab. Kaloka (Sultra), Kota Samarinda (Kaltim) dan Kab. Sambas (Kalteng) masing masing 1 kasus. Sedangkan ditinjau dari besaran nominal uang yang dipalsukan, uang palsu dengan jumlah paling banyak adalah pecahan Rp100.000,- disusul urutan berikutnya pecahan Rp50.000,- hal ini diprediksi bahwa nilai nominal lebih besar disamping menjanjikan keuntungan yang lebih beras juga meminimalisir kemungkinan resiko/keamanan dalam pendistribusian uang palsu tersebut.

            Modus. Perkembangan teknologi disalahgunakan oleh sekelompok orang orang untuk melakukan tindakan kriminal pemalsuan uang rupiah, apalagi peralatan pendukung kegiatan tersebut sangat mudah didapatkan dengan harga yang terjangkau. Dalam beberapa kasus yang terungkap ada kecenderungan jaringan pencetak dan pengedar uang palsu, mencetak uang tersebut dengan bahan baku kertas HVS dan di cetak menggunakan mesin printer berwarna jenis canon pixma G2000 dan E410 serta mesin penghalus kertas. Tehnik Pengedaran. Para pelaku jaringan uang palsu mengedarkan uang dengan cara penukaran, dengan perbandingan (1: 2) s.d (1: 6) atau dibelanjakan barang kebutuhan pokok di pasar tradisional, toko-toko kecil daerah pinggiran dan tempat tempat hiburan guna mendapatkan bahan kebutuhan dan kembalian uang asli.

            Pemalsuan uang rupiah merupakan tindak kejahatan serius karena akan berdampak pada menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap rupiah, dampak lainya terutama bagi kalangan bawah yang kurang memiliki pemahaman akan ciri dan karakteristik uang rupiah palsu yang  merupakan pengguna terbesar uang tunai akan menderita kerugian  akibat tertipu oleh uang palsu. Pada sisi lainya, kesadaran masyarakat untuk melaporkan adanya uang palsu sangat kurang, bahkan kerena ketidaktauanya bila mereka mendapatkan uang palsu, mereka cenderung membelanjakannya kembali sehingga sulit untuk dapat memotong mata rantai peredaran uang palsu.  Kejahatan uang palsu juga merupakan kejahatan yang sangat kompleks karena kejahatan ini terjadi antartempat dan antarwaktu, memiliki mobilitas tinggi, serta didukung oleh alat dan teknologi yang cukup canggih sehingga berpeluang mengganggu stabilitas ekonomi maupun stabilitas nasional.

                        Seiring dengan meningkatnya peredaran uang rupiah palsu, pada bulan Mei 2017, diharapkan masyarakat meningkatkan kewaspadaan dalam melakukan transaksi tunai terutama sebelum dan sesudah Idul Fitri, mengingat besar kemungkinan adanya oknum yang memanfaatkan momen tersebut untuk menarik keuntungan dengan cara mengedarkan dan membelanjakan uang rupiah palsu. Oleh karenanya masyarakat diharapkan dapat mengenali ciri-riri uang rupiah palsu dan bila masyarakat mengetahui dan menemukan indikasi adanya uang palsu diharapkan segera melaporkan kepada aparat keamanan setempat untuk mendapatkan tindak lanjut.

 Dr. Tugiman

Pengamat Sosial dan Dosen Universitas Pasundan Bandung

]]>
2323