REGULASI PEMILU BUKAN DOMINASI DPR DAN PARPOL

Dead lock” (kebuntuan) debatable tentang diskursus formulasi Sistem Pemilu, dan opsi benturan kepentingan politik antar Fraksi Partai Politik (Parpol) di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), telah berdampak pada berlarutnya proses finalisasi Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) sejak 2016. Bahkan, target finalisasi regulasi Pemilu kembali tertunda hingga Sidang Paripurna DPR pada 15 Juni 2017. Pertanyaannya, bagaimana komitmen kinerja Pansus RUU Pemilu dan Fraksi Parpol di DPR, dalam menjawab urgensi finalisasi regulasi Pemilu tanpa “dead lock” sesuai tenggat waktu yang telah ditentukan Pemerintah? Akankah diskursus DPR dan Parpol tentang regulasi Pemilu meninggalkan visi kepentingan nasional?

   

“Dead Lock” Finalisasi Regulasi Pemilu Lemahkan KPU Dan Bawaslu 

Tulisan ini, tidak bermaksud membahas secara teoretik polemik benturan kepentingan politik Parpol dan DPR dalam diskursus RUU Pemilu. Namun, kembali menempatkan urgensi regulasi Pemilu dalam koridor kepentingan nasional, yang melingkupi semua komponen kebangsaan didalamnya secara etika politik, dan konstitusional. Sehingga, debatable beda opsi anatomi regulasi Pemilu antara Komisi-II DPR, Pansus RUU Pemilu, Parpol, Kemendagri, KPU dan Bawaslu tidak berdampak pada “dead lock” finalisasi RUU Pemilu hingga tenggat waktu yang telah ditentukan Pemerintah.

Tentunya, publik juga turut mencermati perkembangan isu media massa tentang polemik pembahasan RUU Pemilu yang memanaskan Gedung Parlemen di Senayan. Serta, mewanti-wanti agar integritas kinerja lembaga KPU dan Bawaslu tidak terdampak “dead lock” finalisasi RUU Pemilu, diitengah tuntutan persiapan tahapan awal penyelenggaraan Pilkada Serentak 2018, dan Pemilu Serentak 2019.

 

Pertama, jika finalisasi RUU Pemilu di tingkat DPR terancam “dead lock” hingga batas waktu pengesahannya yang diminta Pemerintah pada Juli 2017. Maka, Pemerintah akan dihadapkan pada opsi kebijakan regulatif alternatif: (1) Penerbitan Peraturan Pengganti Perundang-undangan tentang Penyelenggaraan Pemilu (Perppu); atau (2) Mereferensikan kembali Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden (UU Pemilu), sebagai dasar regulasi pelaksanaan Pemilu Serentak 2019.

Kedua, sesuai ketentuan klausul Pasal 3 UU Pemilu, KPU bertugas untuk menyiapkan agenda tahapan penyelenggaraan Pemilu yang meliputi: (1) Tahapan  penyusunan Daftar Pemilih (Dapil); (2) Tahapan pendaftaran bakal Pasangan Calon; (3) Tahapan penetapan Pasangan Calon; (4) Tahapan masa Kampanye; (5) Tahapan  masa tenang; (6) Tahapan pemungutan dan penghitungan suara; (7) Tahapan penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden; dan (8) Tahapan pengucapan sumpah/janji Presiden dan Wakil Presiden. Artinya, jika finalisasi RUU Pemilu terancam “dead lock”, maka integritas kinerja KPU dan Bawaslu sebagai lembaga penyelenggara Pemilu sangat dipertaruhkan, equivalent dipertaruhkannya integritas pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 secara konstitusional.

Ketiga, penundaan berulang dan “dead lock” finalisasi RUU Pemilu di DPR, akan dinilai publik sebagai pemborosan anggaran negara. Karena pembasan RUU Pemilu telah menjadi agenda prioritas sejak Prolegnas 2016 hingga Prolegnas 2017, serta menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Maka, semua Fraksi Parpol di Komisi-II DPR, dan Pansus RUU Pemilu, diharapkan segera memformulasikan RUU Pemilu menjadi undang-undang, tanpa benturan kepentingan politis antar Parpol jelang kontestasi Pemilu Serentak 2019. Hal ini, mengingat bahwa penyelesaian regulasi Pemilu yang berkualitas, juga mempertaruhkan kepercayaan masyarakat terhadap integritas kinerja lembaga legislatif dan eksekutif dalam membangun sistem demokrasi Indonesia yang lebih baik. Selain itu, Kemendagri, KPU, Bawaslu, dan Pemerintah Daerah (Pemda)  dihadapkan pada batas waktu persiapan tahap regulatif, dan administratif Pilkada Serentak 2018 yang akan dimulai pada Juli 2017.

Sehingga, diregulasikannya UU Pemilu menjadi urgensitas seluruh komponen bangsa, dan demi mensukseskan visi kepentingan nasional. Dalam perspektif filosofis etika kekuasaan politik Jawa, dikenal istilah “Hambeg Paramartha”, yang berarti sikap para satria harus mengutamakan nilai keadilan, serta kepentingan bangsa dan negaranya. Para legislator yang diamanatkan menjadi wakil rakyat di lembaga DPR, setidaknya, layak diibaratkan sebagai para satria legislasi yang berintegritas, kompeten, dan kapabel dalam melaksanakan dharmanya sebagai suksesor visi kepentingan nasional. Hal ini, mengingat bahwa baik atau buruknya sistem penyelenggaraan Pemilu Serentak 2018, juga sangat ditentukan oleh regulasi Pemilu yang diformulasi DPR.

Sementara, KPU dan Bawaslu secara konstitusional dan fungsi kelembagaan, dituntut bertanggung-jawab secara manajerial dalam menghasilkan pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 yang terintegrasi, berintegritas, berkualitas, berkeadilan, akuntabel, aman, edukatif, informatif, dan demokratis. Selain itu, KPU dan Bawaslu dituntut mempersiapkan sistem manajerial penggabungan Pemilu Legislatif, dan Pemilu Eksekutif yang dilakukan secara serentak, dan bersifat nasional. Serta, perlu didukung penguatan sistem manajemen konflik secara konstitusional dan terintegrasi dengan sistem keamanan nasional, untuk mengantisipasi potensi terjadinya konflik horizontal yang dapat merusak integritas pelaksanaan Pemilu.

 

Isu Debatable Opsi DPR Jelang Finalisasi RUU Pemilu

 

Sebagaimana pemberitaan SKH. Media Indonesia terbitan 12 Juni 2017. Ketua Pansus RUU Pemilu, Lukman Edy menyatakan, bahwa polemik pembahasan lima isu krusial dalam RUU Pemilu harus segera diselesaikan pada Juli 2017, karena KPU dan Bawaslu harus melakukan persiapan tahapan Pemilu Serentak 2019. Lima isu krusial RUU Pemilu tersebut: (1) Opsi Parliamentary Threshold; (2) Opsi Presidential Threshold; (3) Opsi Dapil magnitude; (4) Opsi model Sistem Pemilu; dan (5) Opsi metode konversi suara. Jika, musyawarah untuk mufakat tidak bisa dilakukan, maka putusan terkait 5 isu krusial dalam RUU Pemilu harus dilakukan melalui sistem voting semua anggota Fraksi Parpol di Komisi-II DPR.

Sementara, Ketua Komisi-II DPR, Zainudin Amali, dalam pemberitaan SKH. Kompas pada 13 Juni 2017, mengemukakan 6 opsi ajuan DPR dalam pembahasan RUU Pemilu, terkait: (1) Opsi penambahan jumlah kursi anggota DPR; (2) Opsi pembiayaan pelatihan saksi menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN); (3) Opsi sistem Pemilu Tertutup; (4) Opsi sistem Pemilu Terbuka Terbatas; (5) Opsi Parliamentary Threshold; dan (6) Opsi Presidential Threshold.

Wacana DPR tentang penambahan jumlah kursi anggota DPR, dan pembiayaan pelatihan saksi menggunakan APBN akan membebani anggaran negara. Selain itu, blunder opsi sistem Pemilu secara Tertutup, Terbuka, atau Terbatas akan melemahkan sistem Pemilu Serentak yang jujur, adil dan demokratis. Sistem Parliamentary Threshold, atau Presidential Threshold akan memicu konflik kepentingan politik antar Parpol di DPR, dan memudahkan legislator menyalah-gunakan kewenangan konstitusional untuk melakukan impeachment terhadap Presiden.

Keenam opsi Komisi-II DPR tersebut, kemudian ditanggapi dengan sikap penolakan Koalisi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), yang menamakan “Koalisi Masyarakat Sipil Kawal RUU Pemilu”, karena dinilai tidak relevan dengan sistem Pemilu Serentak, berpotensi memicu konflik kepentingan politik, membebani APBN, dan melemahkan sistem demokrasi Indonesia. Koalisi LSM tersebut, terdiri: (1) Constitutional and Electoral Reform Center (Correct); (2) Indonesia Corruption Watch (ICW); (3) Indonesia Budget Center (IBC); (4) Komite Pemantau Legislatif (Kopel); (5) Rumah Kebangsaan; (6) Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR); (7) Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem); (8) Konstitusi dan Demokrasi (KoDE) Inisiatif; (9) Yappika; (10) Tranparency International Indonesia (TII); (11) Koalisi Perempuan Indonesia; (12) Pusako Fakultas Hukum Universitas Andalas; dan (13) Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK).

Pada 14 Juni 2017, SKH. Koran Tempo menyoroti penegasan Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tjahjo Kumolo, bahwa Pemerintah menargetkan pembahasan RUU Pemilu selesai pada Juli 2017, karena lembaga KPU dan Bawaslu harus mempersiapkan tahapan Pilkada Serentak 2018 pada Juli 2017, dan persiapan tahapan Pemilu Serentak 2019 pada Agustus 2017. Jika hingga 19 Juni 2017, DPR belum memutuskan isu krusial dalam RUU Pemilu, maka penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019 akan mengacu UU Pemilu yang lama, sesuai Keputusan Mahkamah Agung (MA) tentang Penyelenggaraan Pemilu, dan Pasal 22E UUD 1945.

Pemberitaan media SKH. Republika terbitan 15 Juni 2017, memunculkan isu trending topic terkait wacana Pemerintah yang akan mundur dari pembahasan RUU Pemilu. Sebagaimana pernyataan Mendagri sebelumnya, bahwa jika hingga 19 Juni 2017, tidak ada kesepakatan antara Pemerintah dengan DPR, terkait opsi ambang batas pencalonan Presiden (Presidential Threshold) minimal 20% suara, dan opsi ambang batas Parlemen (Parliamentary Threshold) sebesar 3,5%. Opsi tersebut, untuk membuka peluang munculnya banyak kandidat Calon Pemimpin Bangsa dalam kontestasi Pemilu Serentak 2019, yang dapat dipilih oleh rakyat Indonesia secara demokratis.

Pemberitaan media SKH. Koran Sindo edisi 16 Juni 2017, kembali menyoroti isu tuntutan Koalisi Masyarakat Sipil Kawal RUU Pemilu agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) menolak formulasi RUU Pemilu versi DPR, melalui Kemendagri, Kemenkumham, dan Kemenkeu. RUU Pemilu versi DPR, dinilai rawan konflik kepentingan politik antar Fraksi DPR, melemahkan sistem konstitusional Pemilu, blunder sistem Pemilu, serta akan mempengaruhi kinerja KPU dan Bawaslu dalam persiapan tahapan Pemilu Serentak 2019.

Munculnya sikap pro-kontra formulasi RUU Pemilu dalam Fraksi Parpol di  DPR, semestinya, memperjelas kapasitas Regulasi Pemilu secara konstitusional tidak bisa dipaksakan memenuhi kepentingan politik seluruh Parpol. Kemudian, jika suara Fraksi tetap terbelah meskipun menggunakan sistem voting pada 16 Juni 2017. Maka, untuk mereduksi polemik perbedaan pandangan terkait 5 isu krusial dalam formulasi RUU Pemilu tersebut, sikap ego sentris kepentingan politik sesaat Parpol harus dihentikan, demi menyelamatkan kepentingan nasional. Sehingga, tercapainya kepentingan nasional disepakati di atas kepentingan Parpol.

Pertama, opsi ambang batas pencalonan Presiden (Presidential Threshold), menjadi penentu penyelesaian 4 isu opsi krusial lainnya dalam RUU Pemilu yang dapat berdampak secara sistematis, antara lain: (1) Isu metode konversi suara ke kursi Parlemen; (2) Isu alokasi kursi pada setiap Daerah Pemilihan (Dapil); (3) Isu sistem Pemilu Legislatif (Pileg); dan (4) Isu ambang batas Parlemen (Parliamentary Threshold). Hal ini, mengingat hanya Fraksi PDI-P, Fraksi Golkar, dan Fraksi Nasdem yang konsisten mendukung opsi Pemerintah, terkait penerapan ambang batas Presidential Threshold sebesar 20% perolehan kursi, dan perolehan suara nasional sebesar 25%. Sementara, dukungan Fraksi Parpol lainnya di Komisi-II DPR masih terpecah, karena masih banyak Fraksi yang menuntut penurunan ambang batas hingga penghapusan ambang batas 0%.

Kedua, dalam opsi isu ambang batas Parlemen (Parliamentary Threshold), Pemerintah mengusulkan di atas 3,5%, atau kesepakatan pada 4%. Namun, Fraksi Partai Nasdem dan Partai Golkar menuntut 7%, sehingga suara Fraksi menjadi blunder dan terpecah kembali. Demikian pula, terkait opsi metode konversi suara ke kursi, Fraksi Parpol di Komisi-II DPR masih saling debat diskursus teroretik antara metode Kuota Hare, Saint Lague Murni, atau Saint Lague Modifikasi yang sarat kepentingan masing-masing Parpol terkait isu kontestasi Pileg dan Pilpres 2019.

Isu trending topic pemberitaan media massa nasional pada 17 Juni 2017, menyorot pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam sesi kunjungan kerja ke Jawa Tengah, yang menegaskan bahwa pembahasan RUU Pemilu harus menciptakan sistem Pemilu yang lebih sederhana, dan Parpol diminta untuk lebih konsisten dengan tujuan kepentingan nasional. Lebih lanjut, Presiden Jokowi menegaskan, bahwa Pemerintah berharap agar lambannya proses finalisasi pembahasan beleid Pemilu di tingkat DPR, tidak berdampak pada kemunduran proses pembangunan politik negara di masa depan.

 

 Integritas Regulasi Pemilu, Equivalent Integritas DPR Dan Pemerintah

 

Polemik konflik kepentingan politik dalam pembahasan RUU Pemilu di DPR harus dihentikan, karena akan mempengaruhi kinerja Kemendagri, KPU, dan Bawaslu dalam persiapan administrasi tahapan Pilkada Serentak 2018, dan Pemilu Serentak 2019. Selain itu, polemik “dead lock” proses finalisasi regulasi Pemilu, akan melemahkan integritas DPR sebagai lembaga legislatif di mata publik. Dalam diskursus RUU Pemilu, kiranya Pemerintah, Pansus RUU Pemilu dan DPR, dinilai perlu memperkuat fungsi kewenangan lembaga, dukungan anggaran, dan jumlah anggota KPU dan Bawaslu.

Hal ini, berkorelasi dengan semakin bertambahnya beban tugas secara konstitusional, tingginya potensi pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu, kelengkapan logistik, akuntabilitas anggaran Pemilu, pengawasan pelanggaran UU Pemilu, stabilitas keamanan nasional, serta potensi konflik politik identitas dalam manajerial Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) secara serentak pada 2019 mendatang. Semoga, kerja final DPR untuk meregulasikan RUU Pemilu menjadi undang-undang, terintegrasi secara etik dengan misi kepentingan nasional, mengutamakan prinsip musyawarah untuk mufakat, berkeadilan, dan menjadi bagian dari proses edukasi politik bagi seluruh rakyat Indonesia.

Regulasi Pemilu menjadi urgensitas bagi seluruh komponen bangsa Indonesia, bukan hanya sebatas dominasi kepentingan politik DPR dan Parpol. Tentunya, ancaman “dead lock” regulasi Pemilu tidak perlu terjadi dengan solusi “Hambeg Paramartha”. Karena, komitmen DPR dan Parpol dalam menjawab urgensi pengesahan RUU Pemilu menjadi undang-undang, tanpa “dead lock”, dan sesuai target waktu yang disepakati bersama dengan Pemerintah. Pada akhirnya, kualitas formulasi regulasi Pemilu, akan berkelindang dengan sejarah masa depan bangsa Indonesia, yang ditentukan oleh rasa nasionalisme para wakil rakyat di Gedung Senayan, Jakarta. Kesuksesan Pemilu Serentak 2019, dimulai dari DPR.

 

Ismu Daly, M.Fil

Praktisi Budaya pada Komunitas Bentara Budaya Yogyakarta

 

gambar : buanaindonesia.co.id