News
Picu Tsunami, Badan Geologi Kesulitan Deteksi Longsoran Anak Krakatau

MATA INDONESIA, JAKARTA-Badan Geologi mengakui sulitnya mendeteksi longsaran yang terjadi dari Gunung Anak Krakatau. Hal itu terlihat dari peristiwa Tsunami yang melanda wilayah Selat Sunda secara tiba-tiba karena sulit diprediksi.
“Mengenai longsoran. Longsoran itu misal di Jawa Barat, di Purworejo, longsoran itu secara ilmu pengetahuan sangat dipahami, tapi secara realitas sulit dideteksi,” ujar Sekretaris Badan Geologi Kementerian ESDM Antonius Ratdomopurbo dalam konferensi pers di Kementerian ESDM, Jl Medan Merdeka Barat, Kamis 27 Desember 2018.
Antonius mengatakan, longsoran itu terjadi begitu saja. Sangat sulit untuk memprediksi atau memantau bagian Anak Krakatau sebelah mana dan kapan akan terjadi longsoran. “Sebenarnya longsor itu mudah dipahami, tapi sulit dipantau,” katanya.
Menurutnya, ada dua jenis longsoran di Gunung Anak Krakatau. Jenis pertama merupakan longsoran cepat dan seketika, yaitu guguran langsung masuk ke dalam air. “Longsoran yang ini yang memicu tsunami seperti pada tanggal 22 kemarin itu,” katanya.
Longsoran yang kedua, adalah longsoran yang sifatnya pelan. Antonius menggambarkan longsoran jenis ini seperti kaki-kaki gunung yang luntur ke bawah secara perlahan-lahan.
BMKG mengatakan munculnya gelombang tsunami akibat longsoran kawah Gunung Anak Krakatau seluas 64 hektare. Setelah peristiwa longsor, 24 menit kemudian gelombang tsunami menerjang pesisir Selat Sunda. Tak ada peringatan dini dari gelombang tsunami ini karena BMKG hanya bisa mendeteksi tsunami yang dipicu gempa tektonik.
“Bukti yang mendukung telah terjadi runtuhan lereng Gunung Anak Krakatau antara lain adalah dari citra satelit yang menunjukkan luas 64 hektare, terutama pada arah barat daya. Terus sehari sebelumnya ada cuaca ekstrem gelombang tinggi sehingga memperparah gelombang tersebut,” kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati.