Jakarta (MI) - Setelah melalui proses yang cukup panjang dan perdebatan yang sangat alot, Rapat Paripurna DPR pada Jumat (21/7/2017) dini hari mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu menjadi Undang-Undang secara aklamasi meskipun dalam prosesnya diwarnai aksi "walk out" Fraksi Partai Gerindra, Fraksi PKS, Fraksi PAN, Fraksi Demokrat.
Aksi walk out empat fraksi itu terjadi karena keempat partai tersebut ingin memperpanjang waktu pembahasan terkait angka presidential threshold yang dirasa masih kurang cocok pada opsi yang ditawarkan oleh pansus RUU Pemilu.
Ketua DPR Setyo Novanto menjelaskan putusan diambil dari total 539 yang pro opsi A 322 dan opsi B 217 karena mempunyai pemikiran berbeda maka kita putuskan bahwa opsi A secara aklamasi kita putuskan kita setuju. Ujar Novanto dalam Rapat Paripurna DPR, Jakarta, Jumat (21/7/2017).
Opsi Paket A dan Paket B yang tersisa dirasa tidak mampu mengakomodir kebutuhan seluruh partai politik. Pada 4 isu krusial seperti parliamentary threshold, sistem pemilu, sistem konversi suara, dan penambahan jumlah kursi di daerah pemilihan, PAN, Demokrat, Gerindra, dan PKS mengaku tidak keberatan dan bisa mengambil keputusan dalam musyawarah untuk mufakat. Namun, untuk isu presidential threshold, keempat partai tersebut tidak bisa berkompromi. Untuk diketahui, opsi Paket A menetapkan presidential threshold sebesar 20-25 persen, sedangkan opsi Paket B yang dipilih oleh Gerindra, Demokrat, dan PKS adalah sebesar 0 persen.
Paket A tersebut adalah ambang batas presiden 20/25 persen, ambang batas parlemen empat persen, sistem pemilu terbuka, besaran kursi: 3-10, konversi suara saint lague murni.
Menanggapi hal tersebut, Mendagri Tjahyo Kumolo menyatakan bahwa RUU Pemilu disahkan menjadi UU, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo maka tahapan Pemilu serentak 2019 sudah bisa berlangsung dengan payung hukum yang sah, Ujarnya.
Lebih lanjut Tjahyo mengatakan setelah RUU Pemilu disahkan maka pelaksanaan pemilu serentak 2019 memiliki landasan hukum dan menunjukkan kepatuhan pemerintah atas Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan prinsip UUD 1945.
Sementara menurut Benny K. Harman, Demokrat tidak ingin menjadi partai politik yang secara jelas dan nyata-nyata melanggar konstitusi. Atas dasar pertimbangan tersebut kami fraksi Partai Demorat memutuskan untuk tidak ikut ambil bagian dan tidak bertanggung jawab atas keputusan yang diambil melalui voting,” tegasnya
Sedangkan Gerindra juga menilai bahwa ambang batas 20-25 persen yang digunakan adalah pada tahun 2014. Ambang batas tersebut dinilai sudah tidak relevan karena telah dipakai pada pemilu tahun 2014. Oleh sebab itu, Ahmad Muzani selaku ketua fraksi Gerindra juga memutuskan untuk melalukan walkout dan tidak bertanggung jawab pada pengambilan keputusan di rapat paripurna yang terus berlangsung. Dengan tidak mengurangi rasa hormat kepada pihak-pihak yang melakukan voting, fraksi Partai Gerindra menyatakan tidak ikut dalam pengambilan keputusan,” ujarnya. (TGM)