Politik
Menanti Sikap Ksatria PAN

Jakarta, MI – Ketika memutuskan bergabung ke koalisi pemerintahan, setiap partai politik semestinya paham betul akan hak dan kewajiban mereka. Namun, tidak bagi Partai Amanat Nasional atau PAN yang lagi-lagi menunjukkan pengingkaran akan pemahaman elementer itu. Sangatlah wajar tatkala partai politik mendapatkan hak atas kursi di kabinet atau jabatan lainnya tatkala mereka berpadu di koalisi pemerintahan.
Amat wajar pula jika mereka juga dituntut untuk mendukung dan menyukseskan setiap kebijakan pemerintah, selama kebijakan itu bermaslahat bagi bangsa dan negara. Sebaliknya, amat tidak wajar jika sebuah partai dengan senang hati menikmati manisnya hak atas jabatan, tetapi melalaikan kewajiban sebagai anggota koalisi. Ibarat mau makan nangka, tapi ogah terkena getahnya, itulah yang dipertontonkan PAN.
PAN kembali terang-terangan berseberangan dengan pemerintah Jokowi-JK terkait dengan kebijakan krusial. Sebagai anggota koalisi, mereka malah berposisi sebagai oposisi dalam menyikapi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 2/2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perppu Ormas).
Sebagai anggota koalisi pemerintahan, PAN semestinya menyetujui perppu yang diterbitkan untuk menjaga Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI itu menjadi UU. Akan tetapi, yang terjadi mereka malah konsisten menolaknya, termasuk di Rapat Paripurna DPR, kemarin.
Bukan kali ini saja PAN bersikap mendua. Sebelumnya, pada Juli silam, mereka juga berbeda sikap dengan menolak pengesahan RUU Pemilu dengan memilih walk out dalam voting. Padahal, saat itu, anggota koalisi lainnya seia sekata mendukung RUU Pemilu menjadi UU.
Politik terkadang memang liar, tetapi bukan berarti tidak ada fatsun di sana. Sebagai bagian dari instrumen terpenting dalam politik, sudah sewajibnya partai politik memberikan teladan dengan mengedepankan etika dan moral dalam bersikap dan berperilaku. Politik memang kental dengan siasat untuk meraih atau mempertahankan kekuasaan, tetapi bukan berarti sikap kesatria lantas dinafikan begitu saja.
Namun, harus kita katakan bahwa PAN telah mengingkari etika, moral, dan jiwa kesatria dalam berpolitik. Sikap mereka terkait dengan RUU Pemilu dan Perppu Ormas jelas bukanlah tontonan yang layak menjadi tuntunan bagi publik. Meski bergabung dengan koalisi pemerintah di tengah jalan, PAN tetap mendapatkan jatah setidaknya satu kursi di Kabinet Kerja.
Dengan begitu, mereka semestinya seiring sejalan pemerintah. Politik dua kaki bukanlah cara yang baik sehingga harus diakhiri. Melalui forum ini kita ingin bertanya kepada para petinggi PAN, masihkah ada rasa malu dalam diri Anda dengan berpolitik seperti itu? Tidak risihkah Anda ketika di satu sisi mencecap kue kekuasaan, tetapi di sisi lain menjadi duri dalam pemerintahan?
Akan lebih elok jika PAN tegas bersikap untuk tetap menjadi bagian koalisi atau menjadi oposisi. Kalau memang masih ingin di koalisi, jadilah anggota yang loyal, bukan anggota yang suka mendua. Lain halnya kalau ingin menjadi oposisi, mundurlah segera dari koalisi, tanggalkan jabatan di pemerintahan, dan jangan menunggu untuk dikeluarkan. Itulah sikap kesatria.
Kepada Presiden Jokowi sebagai pemimpin koalisi pemerintah, sudah waktunya pula bagi Anda unjuk ketegasan. Saatnya Presiden bersikap terhadap anggota koalisi yang miskin loyalitas. Negeri ini butuh pelaku-pelaku politik yang berpolitik berpandukan moral, bukan mereka yang berpolitik secara asal.
(MN)