Jakarta (MI) - Rancangan Undang-undang Pemilu yang dijadwalkan selesai 20 Juli 2017, ditanggapi beragam oleh banyak pihak. Pasalnya Proses pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) antara DPR dan pemerintah belum sampai saat ini juga belum mencapai titik temu. Salah satu isu krusial yang membuat jalannya pembahasan alot adalah soal penetapan ambang batas perolehan suara untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold.
Pemerintah bersikeras partai atau gabungan partai yang ingin mengusung calon presiden dan calon wakil presiden (capres dan cawapres) mesti memiliki minimal 20 kursi di DPR atau meraih 25 persen suara sah nasional. Angka tersebut mengacu pada presidential threshold yang berlaku di Pemilu 2014. Sementara sejumlah fraksi di DPR menyuarakan hal sebaliknya, pemilu serentak tidak butuh presidential threshold atau kalau pun mesti ada angkanya diturunkan menjadi 10 kursi DPR atau 15 persen raihan suara sah nasional Pemilu 2014.
Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan berharap pemerintah maupun DPR bisa lebih luwes dalam hal presidential threshold. Hal ini menurutnya penting guna menghindari terjadinya kebuntuan dalam proses pembahasan RUU Pemilu, kata Zulkifli, dikompleks Parlemen Senayan, Selasa (5/7). Lebih lanjut Zulkifli mengatakan, PAN tidak mempersoalkan ada atau tidaknya presidential threshold di Pemilu 2019. Yang terpenting menurutnya keputusan diambil secara musyarakat mufakat oleh pemerintah dan DPR. Zulkifli juga menolak wacana pertemuan antara DPR dan pemerintah untuk menyelesaikan kebuntuan pembahasan RUU Pemilu.
Sementara itu, Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Agus Hermanto mengatakan proses pembasahan RUU Pemilu menjadi alot karena perbedaan pandangan tidak hanya terjadi antara fraksi-fraksi di DPR tapi juga dengan pemerintah. “Karena seperti yang kita ketahui RUU Pemilu ini yang lebih menyulitkan bagi kita ketidaksamaan perbedaan tidak hanya oleh fraksi-fraksi, tapi juga pemerintah,” kata Agus. Lebih lanjut Agus mengatakan menyelesaikan perbedaan antar fraksi lebih gampang ketimbang dengan pemerintah. Misalnya dengan mengambil keputusan melalui mekanisme voting.
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo yang menjadi perwakilan pemerintah dalam pembahasan RUU Pemilu mengatakan pemerintah masih bersikukuh dengan angka presidential threshold 20 persen. Jika angka ini tidak disepakati oleh mayoritas fraksi di DPR maka ada dua opsi yang bisa ditempuh yakni voting di paripurna atau pemerintah menolak melanjutkan pembahasan. Jika opsi kedua yang terjadi, maka pemerintah akan menggunakan UU Pemilu 2014 dengan meminta putusan dari Mahkamah Konstitusi.
Sedangkan menurut Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengatakan pembahasan RUU Pemilu terkendala oleh 5 isu krusial, yaitu ambang batas parlemen, ambang batas partai mengajukan calon presiden, kuota suara per-daerah pemilihan, sistem pemilu, dan metode konversi suara.
Menurut Fadli, DPR dalam beberapa rapat terdahulu sudah memberikan amanat kepada pimpinan untuk rapat konsultasi. Maka kami akan segera surati Presiden supaya rapat konsultasi. Lebih lanjut Fadli menjelaskan bahwa surat itu akan dikirim paling lambat dalam bulan ini karena RUU Pemilu harus selesai sebelum 20 Juli 2017, kata Fadli di Gedung Nusantara III, Jakarta, Senin (3/7/2017).
Selain perkara ambang batas pencalonan presiden, isu lain yang saat ini masih mengganjal pembahasan RUU Pemilu adalah parliamentary threshold (ambang batas parlemen), alokasi jatah kursi per daerah, sistem pemilu, dan metode konversi suara. Sejauh ini Pansus RUU Pemilu telah menyiapkan empat paket untuk pengambilan keputusan perihal lima isu tersebut, yakni:
Paket A
- Ambang batas parlemen (5 persen)
- Ambang batas presiden (10-15 persen)
- Alokasi kursi per daerah (3-8 kursi)
- Sistem pemilu (Terbuka)
- Metode konversi suara (Sainte Lague Murni).
Paket B
- Ambang batas parlemen (5 persen)
- Ambang batas presiden (20-25 persen)
- Alokasi kursi per daerah (3-8 kursi)
- Sistem pemilu (Terbuka terbatas)
- Metode konversi suara (Sainte Lague Murni).
Paket C
- Ambang batas parlemen (4 persen)
- Ambang batas presiden (0 persen)
- Alokasi kursi per daerah (3-10 kursi)
- Sistem pemilu (Terbuka)
- Metode konversi suara (Quota Hare).
Paket D
- Ambang batas parlemen (4 persen)
- Ambang batas presiden (10-15 persen)
- Alokasi kursi per daerah (3-10 kursi)
- Sistem pemilu (Terbuka terbatas)
- Metode konversi suara (Sainte Lague Murni).
(TGM)