Kisah

Rebut Papua, Pasukan Khusus Indonesia Dibekali Kondom

MATA INDONESIA, JAKARTA – Saat Operasi Trikora (Tri Komando Rakyat) adalah masa militer Indonesia paling kuat di antara negara-negara bagian selatan bumi, sehingga membuat Belanda gentar menghadapi operasi militer di Papua. Tapi ada kisah unik di balik kegarangan militer kita saat itu.

Salah satu yang disiapkan Presiden Soekarno saat itu adalah operasi amfibi yang diberi nama sandi Djadjawidjaja.

Operasi dipusatkan di Pantai Biak dengan mengerahkan 100 kapal perang dan sekitar 15.000 personel TNI sehingga menjadi operasi militer terbesar sepanjang sejarah yang dilakukan Indonesia.

Pasukan katak yang dilibatkan tugasnya tentu saja berat karena melakukan operasi komando, mulai dari pengintaian, menghancurkan ranjau hingga menyiapkan pijakan pantai di Biak sebagai tempat masuk pasukan Indonesia. Jika selesai melakukan operasi komando, mereka juga bisa menyusup ke garis belakang lawan.

Namun saat pasukan itu diberangkatkan persenjataan yang tersedia tidak banyak lagi, karena sudah digunakan untuk pasukan lainnya. Itu karena pasukan katak adalah yang rakhir diberangkatkan dari Surabaya.

Saat itu, seperti ditulis buku “Kopaska, Spesialis Pertempuran Laut Khusus,” yang diterbitkan dalam rangka 50 tahun Kopaska, senjata yang tersisa di gudang tinggal Sub-machine Gun (SmG) M50 Madsen kaliber 9 mm buatan Denmark dan beberapa pucuk senjata laras panjang saja.

Tetapi bukan senjata itu yang membuat mereka risau, sebab sebagai pasukan khusus mereka memang dipersiapkan untuk perkelahian jarak dekat, jadi berbekal M50 Madsen sudah lebih dari cukup.

Padahal untuk membebaskan provinsi paling timur Indonesia itu, Pemerintah Soekarno membeli senapan serbu AK-47 dalam jumlah besar untuk mendukung Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI). Senapan buatan Rusia tersebut memang paling canggih di masa itu.

Meski begitu, pasukan katak tidak merisaukan senjata yang harus mereka gunakan. Mereka justru risau karena pada saat yang sama kekurangan kondom. Eits jangan terburu berpikiran porno dulu.

Kondom itu sangat penting bagi pasukan katak untuk membungkus bahan peledak atau detonator guna melancarkan operasi bawah air sehingga mereka sudah membayangkan misi peledakan bawah air akan sangat berat akibat kekurangan itu.

Tetapi semua itu mengalahkan semangat mereka mengusir Belanda dari Bumi Cendrawasih. Nyatanya awal Agustus 1962 pasukan itu tiba di Teluk Peleng, Maluku. Mereka siap melakukan pertempuran habis-habisan di tanah Papua.

Misi tempur mereka bahkan bersifat “one way ticket” atau tidak ada tiket pulang jika gugur dalam tugas.

Apalagi salah satu tugas mereka adalah meledakkan kapal-kapal perang Belanda yang menggunakan torpedo dikendalikan manusia dan merupakan misi beresiko sangat tinggi.

Semangat juang menyala-nyala ditambah alat utama sistem persenjataan (alutsista) Indonesia yang canggih saat itu membuat pasukan Belanda pun gentar dan akhirnya memilih jalan diplomasi.

Kekuatan militer Indonesia saat itu antara lain 41 Helikopter MI-4 (angkutan ringan), sembilan Helikopter MI-6 (angkutan berat), 30 pesawat jet MiG-15, 49 pesawat buru sergap MiG-17, 10 pesawat buru sergap MiG-19, dan 20 pesawat pemburu supersonik MiG-21. Itu semua kekuatan matra udara kita.

Di laut ada 12 kapal selam kelas Whiskey, puluhan korvet, dan sebuah kapal penjelajah kelas Sverdlov (yang diberi nama KRI Irian).

Bukan itu saja, di masa itu kita memiliki armada pesawat pembom yang terdiri dari 22 pesawat pembom ringan Ilyushin Il-28, 14 pesawat pembom jarak jauh TU-16, dan 12 pesawat TU-16 versi maritim yang dilengkapi dengan persenjataan peluru kendali anti kapal (rudal) air to surface jenis AS-1 Kennel.

Sedangkan jenis pesawat angkut terdapat 26 pesawat angkut ringan jenis IL-14 dan AQvia-14, 6 pesawat angkut berat jenis Antonov An-12B buatan Uni Soviet dan 10 pesawat angkut berat jenis C-130 Hercules buatan Amerika Serikat.(Nefan Kristiono)

Tags

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Close