News
Resolusi Jihad, Bakar Semangat Santri Rebut Kemerdekaan Indonesia

MATA INDONESIA, JAKARTA – Tepat 73 tahun silam, yakni 22 Oktober 1945, kantor PB ANO (Ansor Nahdlatul Oelama) di Jl. Bubutan VI/2 Surabaya menjadi tempat bersejarah terjadinya peristiwa perjuangan Bangsa Indonesia melawan kolonialisme.
Saat itu, konsul-konsul NU di seluruh Jawa dan Madura berkumpul dalam rapat PBNU yang dipimpin Ketua Besar KH Abdul Wahab Hasbullah bersama Rais Akbar KH Hasyim Asy’ari. Mereka sepakat menetapkan satu keputusan dalam bentuk resolusi yang diberi nama “Resolusi Jihad Fii Sabilillah”.
Seruan jihad ini sontak disuarakan dari masjid ke masjid, musholla ke musholla untuk melawan sisa-sisa tentara Jepang yang menolak tunduk kepada arek-arek Surabaya. Resolusi Jihad membakar semangat seluruh lapisan rakyat hingga pemimpin di Jawa Timur, terutama di Surabaya.

“Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe Fardloe ‘ain (jang haroes dikerdjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata ataoe tidak) bagi jang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh. Bagi orang-orang jang berada di loear djarak lingkaran tadi, kewadjiban itu djadi fardloe kifajah (jang tjoekoep, kalaoe dikerdjakan sebagian sadja)…”

Begitulah isi Resolusi Jihad yang dikumandangkan oleh PBNU. Bahkan sehari sesudah Resolusi Jihad diserukan, Bung Tomo melalui pidatonya menyampaikan pesan kepada arek-arek Surabaya agar jangan gampang berkompromi dengan Sekutu. Sepanjang hari sejak pagi tanggal 24 hingga 25 Oktober 1945.
“Kita ekstrimis dan rakyat, sekarang tidak percaya lagi pada ucapan-ucapan manis. Kita tidak percaya setiap gerakan (yang mereka lakukan) selama kemerdekaan Republik tetap tidak diakui! Kita akan menembak, kita akan mengalirkan darah siapa pun yang merintangi jalan kita! Kalau kita tidak diberi Kemerdekaan sepenuhnya, kita akan menghancurkan gedung-gedung dan pabrik-pabrik imperialis dengan granat tangan dan dinamit yang kita miliki, dan kita akan memberikan tanda revolusi, merobek usus setiap makhluk hidup yang berusaha menjajah kita kembali!”
“Ribuan rakyat yang kelaparan, telanjang, dan dihina oleh kolonialis, akan menjalankan revolusi ini. Kita kaum ekstrimis, kita yang memberontak dengan penuh semangat revolusi, bersama dengan rakyat Indonesia, yang pernah ditindas oleh penjajahan, lebih senang melihat Indonesia banjir darah dan tenggelam ke dasar samudera daripada dijajah sekali lagi! Tuhan akan melindungi kita! Merdeka! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!,” kata Bung Tomo.
Suasana panas yang membakar semangat penduduk Kota Surabaya jelas sebagai akibat pengaruh Resolusi Jihad dan pidato yang disampaikan Bung Tomo, makin memuncak sewaktu kapal perang Inggris HMS Wavenley menurunkan pasukan di dermaga Modderlust Surabaya pada 25 Oktober 1945.
Pertempuran besar di Surabaya pada 10 November 1945, yang menurut William H. Frederick (1989) sebagai pertempuran paling nekat dan destruktif — yang tiga minggu di antaranya – sangat mengerikan jauh di luar yang dibayangkan pihak Sekutu maupun Indonesia.
Dugaan Mayor Jenderal E.C.Mansergh bahwa kota Surabaya bakal jatuh dalam tiga hari meleset, karena arek-arek Surabaya baru mundur ke luar kota setelah bertempur 100 hari. Sementara ditinjau dari kronologi kesejarahan, Pertempuran Surabaya pada dasarnya adalah kelanjutan dari peristiwa Perang Rakyat Empat Hari pada 26 – 27 – 28 – 29 Oktober 1945.
Yaitu sebuah Perang Kota antara Brigade ke-49 Mahratta di bawah komando Brigadir Jenderal Aulbertin Walter Sothern Mallaby dengan arek-arek Surabaya yang berlangsung sangat brutal dan ganas. Perang tersebut memakan korban sekitar 2300 orang.
2000 orang di antaranya pasukan Brigade ke-49 termasuk Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby yang terbunuh pada tanggal 30 Oktober 1945 – tewas dalam pertempuran man to man itu. Dan Perang Rakyat Empat hari pada 26-27-28-29 Oktober 1945 itu terjadi akibat adanya seruan Resolusi Jihad PBNU yang dikumandangkan pada tanggal 22 Oktober 1945.
Ya, Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama merupakan rangkaian panjang dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sebelum Resolusi Jihad, telah muncul Fatwa Jihad, setelahnya, muncul pertempuran 10 November yang kemudian ditetapkan menjadi hari Pahlawan.
Untuk memperingati Resolusi Jihad tersebut, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Keputusan itu dituangkan Jokowi dalam Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015 tentang Hari Santri. (Rayyan Bahlamar)