News

Respon Korban Penyiksaan dan Salah Tangkap Novel Baswedan Terhadap Kasus Penyiraman Air Keras

Jakarta (MI) – Pelaku pencurian sarang burung walet yang mengaku dianiaya oleh Novel Baswedan tidak menunjukkan rasa empati atas kasus penyiraman air keras ke penyidik KPK itu.

Sebab, menurut mereka, itu adalah karma atas perbuatan Novel pada masa lalu saat menjabat Kasat Reskrim Polres Bengkulu.

“Makanya saya bersyukur, alhamdulillah, terkabul doa saya bahwa dia disiram air keras. Novel tuh jahat sebenarnya, bukan baik dia. Contoh salah tangkap, tidak mengakui kejahatannya, berarti dia jahat, makanya disiram (air keras), jahat dia itu. Karma itu,” ujar Irwan Siregar kepada wartawan di Restoran Batik Kuring, kawasan SCBD, Jakarta Selatan, Selasa (22/8).

Irawan yang merupakan salah satu terduga pencurian sarang burung walet di Bengkulu, mengaku pernah dianiaya oleh anggota reserse di bawah kepemimpinan Kasat Reskrim Polres Bengkulu yang saat itu dijabat oleh Novel Baswedan.

Dia menegaskan bahwa penganiayaan dan penembakan terhadapnya bukan rekayasa.

Selain itu, Irawan juga tidak bermaksud mengkriminalisasi Novel dengan membuka kembali kasus lama itu.

Dirinya mengakui memang mencuri sarang burung walet, tetapi dia hanya meminta keadilan atas perlakuan penyidik yang tidak manusiawi pada 2004 itu.

“Ini fakta dan nggak ada rekayasa dan nggak ada kriminalisasi, dan satu orang ada salah tangkap. Tanggal 18 Februari 2004 kami tertangkap tangan mencuri sarang burung walet. Kami digelandang ke mobil, lalu diinjak-injak. Sampai polres kami dicampakkan di belakang dan disuruh buka baju pakai celana dalam saja, lalu dikumpulkan dan dipukuli lagi, digilas pakai motor, disetrum kemaluan kami,” katanya.

“Apa hubungan maling sama menyetrum kemaluan? Itu kebiadaban Novel Baswedan, Novel itu iblis, biadab, lebih-lebih dari PKI. Bukan malaikat dia, kemaluan disetrum, lidah disetrum dan disundut rokok. Sampai kami di atas, dibawa ke Pantai Panjang, Novel sudah di tempat akan mengeksekusi penembakan, langsung beliau nembak saya, nembak Dedi Nuryadi,” lanjutnya.

Upaya untuk membuka lagi perkara tersebut dilakukan Irwan dan yang lainnya, termasuk korban salah tembak Dedi Nuryadi, dengan harapan agar Novel diadili atas kasus itu.

“Saya masih bujang waktu itu, di rantau pula, makan susah, ke mana saya mau ngadu. Dedi ini asli Bengkulu, saya orang rantau, sama siapa saya mau ngadu?” kata Irwan.

Karena itulah, dirinya pada saat itu tidak berani mengadukan hal ini kepada keluarganya di Medan, Sumatera Utara. Padahal ayahnya adalah polisi.

“Saya dulu bukan siapa-siapa, masih bujang, makan susah, untuk lapor ke kantor polisi takut, lebih baik saya cari makan, tapi dalam hati saya awas. Saya ini anak polisi juga, tapi saya merantau, jauh. Keluarga saya di Medan, nggak mungkin saya lapor ke keluarga (bahwa) maling saya, saya malu sebenarnya buka ini,” paparnya.

Mereka baru mempersoalkan kembali kasus itu pada 2008, setelah menikah dengan pujaan hatinya, Yunita, wanita asal Lampung. Sedangkan Yunita sendiri merupakan anak Yuli, kakak Yudiswan, yang saat ini menjadi kuasa hukumnya. Sejak itulah, baru dia meminta bantuan kepada Yudiswan.

“2008 itu dulu katanya mau ada tsunami di Bengkulu, lalu saya ke Lampung. Di Lampung saya nikah sama Yunita. 2010 saya balik ke Bengkulu lagi, setelah setahun di Bengkulu, baru saya ikut paguyuban dan ketemu beliau (Yudiswan). Itu kronologinya,” lanjutnya.

Senada dengan Irawan, Dedi Nuryadi meminta keadilan. Dia mengaku korban salah tangkap. Nasib Dedi juga sama dengan Irwan, ditembak dan dianiaya saat itu.

Pada saat itu, Dedi menjelaskan bahwa dia diminta ayahnya menjemput (alm) Era di Simpang Sekip. Dedi dan ayahnya adalah tukang ojek. Kemudian dia menyelingi ayahnya menjemput Era.

Singkat cerita, setelah bertemu Era, Dedi diminta Era menjemput pacar Era di tempat fitness di Simpang Lima. Saat itulah, sejumlah polisi berpakaian preman menyergapnya.

“Saya digebukin, saya ditarik lalu dipukuli di mobil. Saya bilang, ‘Apa salah saya, Pak?’ Lalu saya sama rombongan itu (Irwan cs) dibawa ke polres. Di polres dilucuti pakaian saya, digebuk, disetrum. Saya minta Pak Presiden, saya butuh keadilan. Novel itu bersalah, kok dapat keadilan? Apa karena saya rakyat kecil saya nggak dapat keadilan? Kemaluan saya melepuh gara-gara disetrum, Pak. Saya mohon pada Pak Presiden, tolong beri keadilan buat saya, Pak,” ungkap Dedi.

Sementara itu, Yudiswan selaku kuasa hukum mereka mengatakan pihaknya terus berjuang untuk mendapatkan keadilan. Ia juga sudah bersurat ke Komisi III DPR dan sudah bertemu dengan Pansus Hak Angket KPK, Senin (21/8) kemarin.

“Alhamdulillah kemarin ketemu Pansus dan mereka menerima kami. Insyaallah Komisi III akan melakukan pemanggilan minggu depan kepada Kejagung untuk melakukan penuntutan, register perkara dengan terdakwa Novel Baswedan belum dicabut di PN Bengkulu,” ujar Yudiswan.

Rencananya Yudiswan dan para korban berencana menemui Presiden Joko Widodo di Istana Negara, pada Rabu (23/8), agar aspirasinya tersebut didengarkan.

“Saya sudah empat kali ke Komisi III DPR, karena dia (Irwan) keluarga saya. Kita rencana besok mau menghadap Presiden, semoga keadilan jangan tajam ke bawah, tumpul ke atas. Saya tidak ajari mereka bikin surat kecil untuk wakil Tuhan. Tolong Pak Presiden dengarkan aspirasi kami,” tandas Yudiswan.

Sebelumnya, Pansus Hak Angket KPK sempat menggelar rapat dengar pendapat (RDP) dengan para korban kasus penembakan pencuri sarang burung walet yang dituduhkan kepada penyidik senior KPK, Novel Baswedan, pada Senin (21/8). Kasus tersebut terjadi saat Novel masih bertugas di Polres Bengkulu tahun 2004.

Turut hadir dalam RDP yakni tersangka kasus pencurian burung walet Irwansyah Siregar, bersama Dedi Nuryadi, Ali, dan Doni. Mereka ditemani oleh kuasa hukumnya, Yuliswan. (FC)

Related Articles

Close