Kisah
Satukan Seluruh Etnis, Modal Utama Depati Amir Hadapi Belanda
Timah Pulau Bangka sejak awal menjadi daya tarik bagi kolonial Belanda.

MATA INDONESIA, JAKARTA – Timah Pulau Bangka sejak awal menjadi daya tarik bagi kolonial Belanda.
Meski begitu upaya mereka menguasai sumber daya alam tersebut mendapat perlawanan serius dari seorang Depati Amir yang baru saja mendapat penghargaan pahlawan nasional dari Presiden Jokowi.
Depati adalah gelar untuk pemimpin wilayah di Bangka. Amir sendiri memang putra seorang pemimpin setempat bernama Depati Barin.
Sejak 1819 Depati Bahrin menghadapi Belanda yang ingin menguasai timah Bangka. Namun perjuangannya berhenti pada 1830 dan menyerahkan diri kepada pemerintah kolonial.
Pemerintah Belanda pun berupaya mengambil hati anak Bahri, Amir dan menganugerahinya dengan jabatan Depati.
Namun Amir bertekad melanjutkan perjuangan ayahnya dan terbukti Pemerintah Belanda harus menunggu 20 tahun hingga berhasil menangkapnya.
Awalnya Amir ingin dihadiahi gelar Depati, namun ditolaknya sambil terus berjuang mengusir orang asing yang ingin memonopoli perdagangan timah di pulau itu.
Kunci sukses Amir bertahan melawan Belanda adalah kepiawaiannya menggalang dukungan dari berbagai etnis dan pemeluk agama di pulau itu.
Hampir seluruh elemen di pulau itu membantunya, mulai dari para demang maupun batin (penguasa salah satu wilayah di Bangka), para penambang timah hingga ulama seperti Haji Abubakar.
Salah satu pemasok senjata untuk pasukan Depati Amir berasal dari orang-orang Cina, seperti Bun A Tjong kepala parit Kampung Air Duren, Ho Tjing kepala parit Seruk, Tjin Sie kepala parit Singli Bawah, Kai Sam dan Ko Su Sui.
Bahkan bajak laut atau perompak laut juga membantu Amir. Mereka kebanyakan berasal dari Lanao Mindanao dan Lingga.
Mereka lah yang rajin memasok logistik dan amunisi dari luar Bangka. Untuk itu Pemerintah Belanda harus mengerahkan kapal-kapal uap yang disewa dari Batavia untuk memblokade jalur laut dan sungai.
Pertempuran besar terjadi sejak 19 Desember 1848 di daerah Lukok, Cepurak, Mendara, Mentadai, Ampang, Tadjaubelah, Ketiping, Titi Puwak, dan Titi Medang.
Tetapi pertempan terbesar antara Depati Amir beserta pasukannya dengan pasukan Belanda terjadi di daerah Tadjaubelah.
Belanda akhirnya berhasil menangkap Depati Amir 7 Januari 1851 dalam kondisi kurus, lemah, sakit serta pengkhianatan pengikutnya karena kejenuhan menghadapi perang yang panjang.
Kesuksesan Belanda meringkus Depati Amir karena persediaan logistik pasukannya pun menipis.
Dia kemudian dibuang ke Kupang Nusa Tenggara Timur dan meninggal dunia di sana.
Sebagai wujud kebanggaan atas perjuangannya, nama Depati Amir disematkan kepada Bandara di Pulau Bangka.(Nefan Kristiono)