
MATA INDONESIA, JAKARTA – Pemerintah Indonesia sebenarnya akan memasang peralatan sistem peringatan dini tsunami canggih yang dikembangkan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan pakar geofisika asal Amerika Serikat. Tetapi hantaman dolar AS terhadap rupiah tahun ini membuat upaya itu dihentikan sehingga korban tsunami di Palu dan Donggala seperti sekarang.
“Hal itu membuat biaya instalasi tidak mencukupi lagi,” ujar Professor Geofisika dan Direktur Pusat Manajemen Kebencanaan Universitas Pittsburgh Amerika Louis Comfort yang menjadi bagian dari tim itu.
Kepada CNBC yang dikutip 2 Oktober 2018 Louise mengungkapkan tim tersebut telah memperoleh dana untuk mengembangkan purwa rupa sistem pendeteksi tsunami. Pembuatan alat itu berhasil dan berhasil diuji pada 2016.
Tetapi penyandang dana percobaan itu menyatakan biaya pemasangan sejumlah alat tersebut di beberapa wilayah Indonesia tidak mencukupi lagi karena anggaran dibuat saat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tidak setinggi Juli 2018.
Menurut Comfort metode alat pendeteksi tsunami tersebut diyakini akan mampu memberi peringatan yang jauh lebih baik dari metode yang ada. Dia meyakini akan banyak menyelamatkan nyawa manusia.
Program itu menggunakan menggunakan sejumlah sensor, bunyi gelombang laut dan sejumlah kabel yang bisa mengenali perubahan di bawah air laut dan informasinya bisa dipancarkan ke Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika.
“Data itu sangat penting untuk memutuskan apakah pergerakan laut itu tsunami atau bukan,” kata Comfort.
Indonesia menjadi pusat riset pengembangan alat pendeteksi tsunami itu karena pernah dihantam bencana serupa pada 2004 yang mengakibatkan ratusan ribu orang meninggal dunia.
Hari ini menurut Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan Presiden Jokowi akan mengadakan rapat seputar rusak dan hilangnya peringatan dini tsunami itu.
Presiden Jokowi sepertinya geram dengan kondisi tersebut. Bahkan Luhut sempat berujar, “Pencuri buoy peringatan dini tsunami sama dengan pembunuh.”(kris)