Kisah

Sokushinbutsu, Tradisi Pengawetan Mayat ala Jepang

MATA INDONESIA, JAKARTA – Jika kita berbicara pengawetan mayat manusia atau mummi, kita langsung tertuju ke Mesir. Tapi tahukah Anda jika di Asia, tepatnya di Jepang juga terdapat juga proses kuno pembuatan mumi juga lho.

Pengawetan mumi tersebut bernama Sokushinbutsu, yang dibuat khusus untuk para biksu yang tersebar di daerah utara Jepang, tepatnya di Yamagata. Sokushinbutsu merupakan salah satu budaya Jepang yang dapat dikatakan unik sekaligus mengandung misteri.

Pengembangan budaya ini khususnya tersebar di bagian utara Jepang, yang seluruhnya dipraktekkan oleh para biarawan/biarawati.

Pelaksanaan budaya Sokushinbutsu ini dilakukan berdasarkan salah satu bentuk ajaran Buddha Kuno di Jepang yang bernama Shugendo. Sebuah budaya yang dipelopori lebih dari 1000 tahun yang lalu, oleh seorang biarawan bernama Kuukai di Kompleks candi Gunung Koya, Prefektur Yamagata.

Kuukai adalah pendiri dari sekte ajaran Shingon Buddhisme atau Shugendo. Tujuan utama ajaran atau budaya ini adalah tercapainya mumifikasi yang sempurna. Para biarawan diharuskan menyiksa dirinya sendiri, mati, dan mengawetkan dirinya sendiri dalam usaha penyangkalan diri dengan tiga cara yaitu.

1. Perubahan pola makan/ diet. Para biarawan dalam jangka waktu 1000 hari/ 3 tahun diharuskan makan kacang-kacangan dan biji-bjian yang di temukan di sekitar kuil saja. Biarawan juga harus meningkatkan aktivitasnya sehari-hari guna agar lemak tubuh para biarawan terkuras habis, hingga tubuh akan terurai dengan mudah setelah kematian.

2. Langkah selanjutnya, biarawan hanya diizinkan untuk makan sejumlah kecil kulit dan akar pinus yang dikeraskan. Selain itu biarawan diharuskan meminum teh khusus yang di buat dari getah pohon Urushi yang sangat beracun dan menyebabkan muntah-muntah hingga menguras cairan tubuh. Tahap ini dipercaya dapat membuat tubuh lebih mudah untuk diawetkan.

3. Proses terakhir ini, para biarawan akan ditempatkan hidup-hidup diruang batu yang sangat sempit dalam keadaan posisi lotus (gaya sila teratai) dalam jangka waktu 1000 hari terakhir. Selama tahap ini para biarawan setiap harinya diharuskan membunyikan lonceng pertanda masih hidup. Dan ketika lonceng berhenti berbunyi, tabung saluran udara di keluarkan dan gua batu ditutup untuk membiarkan para biarawan menjalani proses menjadi mumi.

Budaya ini terbilang sangat sarkastis, meski begitu budaya ini masih terus bertahan hingga abad 20. (Rayyan Bahlamar)

Tags

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Close