Jakarta (MI) – Gerakan anti vaksin adalah gerakan penolakan pemberian vaksin terhadap anak yang dilakukan oleh para orang tua karena berbagai alasan. (1) adanya kecurigaan berlebih kepada pemerintah, sistem kesehatan, dan bisnis farmasi. Berpijak pada teori konspirasi yang beranggapan imunisasi adalah kebohongan, penyebab ketergantungan pada obat modern, bahkan menyatakan vaksinasi merupakan sumber masalah kesehatan. (2) alasan teologis, yaitu berseberangan dengan keimanan dan dilarang dalam kepercayaannya.
Di negara barat, para orang tua menolak vaksin karena takut menyebabkan autisme. Sementara di Indonesia, argumen yang beredar adalah vaksin disebut mengandung babi atau hasil produk konspirasi yahudi. Pada kenyataannya, vaksinasi adalah metode pencegahan penyakit yang terbukti keamanan dan keefektifannya.
Apa yang membuat gerakan anti vaksin ini berbahaya adalah bila cakupan vaksinasi suatu populasi turun hingga kurang dari 60 persen. Bila hal ini terjadi, maka penyakit yang seharusnya sudah langka atau bahkan punah bisa kembali mengancam kesehatan nasional. Vaksin akan memberikan efek perlindungan yang efektif, maka cakupannya dalam suatu populasi perlu mencapai titik 80 persen ke atas. Alasannya adalah, ketika banyak individu yang divaksin, mereka akan saling menguatkan dengan mempersempit ruang penyebaran bibit penyakit.
Indonesia memiliki target nasional yaitu pada tahun 2016 agar tiap provinsi bisa mencapai cakupan vaksin hingga 90 persen. Namun demikian data Kementerian Kesehatan menunjukkan, baru 14 provinsi mencapai target 90 persen pada 2016. Artinya masih ada 20 provinsi lagi yang cakupan di daerahnya masih di bawah angka tersebut.
Provinsi dengan cakupan vaksinasi paling rendah adalah Papua dengan angka cakupan 62 persen populasi. Setelah itu disusul provinsi Aceh dengan angka cakupan yang hanya mencapai 69 persen karena adanya gerakan penolakan. Vaksin ditolak karena dianggap mengandung babi sehingga haram bagi muslim atau dianggap konspirasi yahudi.
Gerakan anti vaksin ini bahkan disampaikan melalui ceramah-ceramah di tempat ibadah di Aceh. Akibat dari hal ini di antaranya pada tahun 2014, muncul wabah difteri yang sulit dibendung, selain itu data dari Dinas Kesehatan Aceh, sepanjang tahun 2017, terdapat 53 warga dari beberapa kabupaten yang dilaporkan terkena difteri dan tiga di antaranya meninggal. Jumlah tersebut meningkat tajam dibandingkan tahun 2016 yaitu 11 pasien dengan rincian 4 di antaranya meninggal dunia. (AVR)