Jakarta (MI) – Kementerian Komunikasi dan Informatika telah memblokir 11 situs yang melayani jasa aplikasi telegram pada 14 Juli 2017 lalu.
Pemblokiran tersebut dilakukan karena telegram mengandung konten radikalisme yang kerap ‘dimanfaatkan’ oleh kelompok radikal untuk berkonsolidasi sekaligus ‘belajar’ menjadi seorang teroris.
Berdasarkan keterangan Kemenkominfo, penutupan telegram merupakan hasil dari investigasi tiga institusi yang bertanggung jawab atas pemberantasan teroris yakni kepolisian, BNPT dan BIN.
Dari hasil pantauan, diketahui memang masif terjadi melalui aplikasi pesan singkat berbasis internet tersebut.
Kisaran jumlah orang yang tergabung dalam sebuah grup yang menyebarkan konten radikal mulai dari 20 sampai 170.
Dari percakapan yang ditelusuri, diduga grup tersebut merupakan grup eksklusif dengan mendahulukan keamanan mereka dari ‘intaian’ intelijen.
Seluruh anggota yang ingin masuk harus mendeklarasikan kesungguhannya untuk menjadi ‘prajurit’ pembela Daulah Islamiyah.
Hal itu dapat terlihat dari pernyataan yang dibuat oleh salah seorang akun berinisial MM yang dalam percakapannya bersumpah bahwa ia bukanlah bagian dari Republik Indonesia.
“Jika ana berdusta atas ucapan ini, maka ana segera mendapat Azab dan Laknat pada Ana dan Keluarga Ana dari ALLAH TA’ALA sesegera mungkin jika ikut memat matai Anshar Daulah Islamiyah,” demikian isi dari screencapture tersebut.
Sementara isi percakapan dari grup tersebut beragam, mulai dari propaganda jihad, sampai berbagi konten digital yang berisi pelatihan menjadi prajurit.
Dalam sejumlah grup tersebut juga diserukan sejumlah cara para prajurit untuk melakukan teror.
Keberadaan aplikasi telegram sebagai salah satu 'sarang' terorisme ini lah yang akhirnya membuat diperlukannya tindakan tegas untuk memblokirnya. Langkah antisipasi itu dilakukan guna membatasi ruang gerak pelaku teror, hingga nantinya dapat mencegah aksi-aksi mereka. (FC)