Langkah Pemerintah Tekan Subsidi Listrik Demi Pembangunan Merata

Jakarta (MI) – Pemerintah terus menekan subsidi untuk tarif listrik. Tarif listrik bersubsidi hanya diberikan untuk golongan pelanggan tidak mampu. Langkah ini dilakukan untuk keperluan belanja produktif.

Menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ignasius Jonan, subsidi energi dalam APBN harus turun. “Untuk pembangunan yang lebih adil dan merata,” kata Jonan dalam keterangan tertulis yang diterima, Selasa (12/9).

Pemerintah bersama DPR pada Juli 2017, sepakat menambah pelanggan bersubsidi sebesar 2,44 juta pelanggan. Dengan demikian, jumlah pelanggan rumah tangga daya 900 VA dalam RAPBN-P 2017 yang layak mendapat subsidi sebesar 6,54 juta pelanggan.
Terkait data 2,44 juta pelanggan, pemerintah menugaskan PT PLN (Persero) untuk mengembalikan tarif pelanggan rumah tangga menjadi tarif rumah tangga subsidi 900 VA mulai 1 Juli 2017. Selain itu juga mengembalikan kelebihan bayar (restitusi) pelanggan itu mulai Januari 2017.

Data pelanggan yang mendapatkan restitusi diperoleh dari pemadanan data pelanggan 450 VA. Dengan demikian dari pemadanan tersebut ditemukan 2,44 juta pelanggan 900 VA. Selain itu, pemerintah juga telah membentuk tim posko pusat penanganan pengaduan yang bertempat di Ditjen Ketenagalistrikan. Tim ini beranggotakan perwakilan Kementerian ESDM, Kementerian Sosial, Kementerian Dalam Negeri, TNP2K dan PT PLN (Persero). Disamping itu, untuk mempermudah pengaduan telah dibangun aplikasi/website pengaduan.

Hingga 31 Agustus 2017, total pengaduan yang diterima sebanyak 108.778 pengaduan masuk. Dengan rincian 48.181 pengaduan telah diselesaikan PLN, sedangkan 60.591 sisanya masih verifikasi oleh TNP2K/Kemensos.

Kebijakan penyesuaian subsidi listrik untuk kategori rumah tangga daya 900 VA telah ditetapkan secara bertahap oleh Pemerintah semenjak 1 Januari 2017. Kebijakan ini dibuat berdasarkan amanat Undang-Undang nomor 30 tahun 2007 tentang Energi dan Undang-Undang nomor 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, bahwa dana subsidi yang disediakan pemerintah hanya diperuntukkan bagi kelompok masyarakat tidak mampu.

Jonan mengingatkan, masalah ketenagalistrikan bukan hanya meningkatkan rasio elektrifikasi, namun yang terpenting adalah tarif listrik yang semakin terjangkau. Melalui pos subsidi dalam APBN, pemerintah melindungi daya beli masyarakat tidak mampu melalui tarif listrik yang disubsidi. Namun, selain jumlahnya yang terbatas, APBN yang notabene adalah uang rakyat, juga harus dimanfaatkan secara tepat sasaran.

Selain dalam upaya efisiensi penggunaan anggaran subsidi listrik, penekanan anggaran dilakukan untuk mengalokasikan biaya subsidi yang tidak tepat sasaran pada pembangunan pembangkit listrik lebih dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia di Pulau Terluar, Terdepan, dan Tertinggal (3T). “Karena APBN kita terbatas, pemberian subsidi listrik harus sebisa mungkin untuk rakyat tidak mampu dan dialihkan ke pos belanja yang lebih produktif, seperti infrastruktur, kesehatan dan pendidikan. Ke depan subsidi makin tepat sasaran,” jelas Menteri Jonan.

Data Direktur Jenderal Ketenagalistrikan, angka subsidi listrik pada 2012 mencapai Rp103,33 triliun, dan pada 2016 dapat turun menjadi Rp58,04 triliun. Sementara tahun 2017, anggaran subsidi listrik yang dialokasikan sebesar Rp51 triliun dengan pelaksanaan kebijakan subsidi listrik tepat sasaran untuk pelanggan rumah tangga daya 900 VA miskin dan tidak mampu. Selain efisiensi anggaran, kebijakan ini juga telah mendorong efisiensi terhadap bauran BBM pada pembangkit listrik. Pada 2012, bauran BBM mencapai 22,95 persen atau sebanyak 11,40 juta kiloliter, dan pada akhir 2017 ditargetkan turun menjadi 4,66 persen atau sebanyak 2,65 juta kiloliter. (FC)