
MATA INDONESIA, BOGOR – Sebagai lembaga statistik resmi negara, Badan Pusat Statistik (BPS) menjamin independensinya. Sebab jika tidak independen dan dibuat hanya untuk menyenangkan pihak tertentu, maka lebih baik dibubarkan karena tidak ada lagi gunanya.
“Itulah mengapa saya bilang independensi bagi BPS adalah harga mati. Kalau tidak independen, BPS tidak ada gunanya lagi,” kata Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Kecuk Suhariyanto di Bogor, Jawa Barat, Sabtu 24 November 2018.
Ia mengaku jika data yang dirilis oleh BPS didasarkan kepada metodologi yang harus dipatuhi oleh seluruh negara. Bahkan ada bentuk pengawasan investigasi oleh lembaga internasional yang datang ke BPS setiap dua kali setahun.
Suhariyanto mencontohkan kasus yang terjadi di Argentina pada sekitar tahun 2007. Pimpinan negara itu mencopot jajaran badan resmi statistika karena angka inflasi selalu dua digit.
Setelah diganti, ternyata mendadak angka inflasi yang dikeluarkan badan statistik resmi Argentina mendadak menjadi rendah. Padahal, kata dia, berbagai pihak yang membuat perhitungan secara independen menyatakan bahwa tingkat inflasi sebenarnya jauh lebih tinggi.
Bila angka inflasi tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya, akan berpengaruh terhadap beragam indikator lainnya. Seperti pertumbuhan ekonomi dan angka kemiskinan.
Akibatnya, kata Suhariyanto, lembaga multilateral seperti IMF mengancam akan memberikan angka merah. Hal ini akan merugikan negara itu karena bila satu angka dicurigai, semua data bisa dicurigai.
“Dampaknya juga bakal membuat semakin banyak investor yang enggan untuk menanamkan modalnya di sana,” kata dia.
Sama halnya yang terjadi di Yunani, yang perekonomiannya ambruk karena jumlah utang yang luar biasa pada 2017. Parahnya, ada dugaan bahwa utangnya ternyata bisa jauh lebih besar.
Untuk itu, pihaknya selalu mengikuti berbagai prinsip fundamental antara lain adalah imparsialitas dan akses yang setara. “Sehingga semua kalangan masyarakat bisa mengaksesnya pada saat yang sama,” kata dia. (Puji Christianto)