“Tugas saya bersama-sama saudara menjaga NKRI, Pancasila, UUD, dan Bhineka Tunggal Ika. Bersama-sama saudara melawan ideologi lain selain Pancasila, memberantas komunisme dan warisan PKI agar lenyap dari negeri Indonesia selamanya,” kata Jokowi saat memberi sambutan sebagai inspektur upacara peringatan Hari Ulang Tahun ke-73 Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Plaza Mabes TNI Cilangkap, Jakarta Timur, Jumat 5 Oktober 2018.
Jokowi juga mengharapkan setiap anggota TNI semakin profesional dalam melaksanakan tugasnya. Terutama di kawasan perbatasan maupun dalam menjalankan misi perdamaian di dunia.
Dia juga mengharapkan kekuatan TNI semakin disegani negara-negara lain. Bukan hanya di kawasan Asia tetapi juga seluruh dunia.
Presiden juga mengingatkan agar TNI terus memperkuat diri dan menjalankan program strategis yang di rumuskan. Terutama modernisasi alat utama sistem persenjataan.(kris)
]]>“Saya akan menerapkan Nawacita jilid II. Saya ingin membantu hingga 2024 tidak disibukkan konflik-konflik ideologis. Oleh karena itu, kita harus memantapkan bangsa ini harus utuh, satu. Pancasila merupakan titik temu, kalimatun sawa. Negara ini dibangun berlandaskan Undang-Undang Dasar 1945, ittifaqoot wathaniyah,” ujar Maruf saat menghadiri pembekalan para calon anggota legislatif Partai Nasional Demokrat (NasDem), di Mercure Ancol, Jakarta Utara. Minggu (2/8).
Meski penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam, kata Ma’ruf, tidak otomatis sistem pemerintahan negara adalah khilafah. Sebab, para pendahulu dengan beragam latar agama, suku, sosial, sepakat landasan negara adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Sehingga sistem khilafah akan ditolak di Indonesia. Menurutnya, penolakan terhadap sistem khilafah dikarenakan telah menyalahi kesepakatan tentang landasan negara.
“Kenapa khilafah ditolak di Indonesia, apa (khilafah) tidak islami? Islami. Tetapi yang islami itu bukan hanya khilafah, kerajaan juga islami makanya ada Kerajaan Saudi. Bagi kita, umat islam memang bukan negara Islam tapi negara kesepakatan. Ada yang sebut daarul ahdi, ada yang sebut daarul miitsaq oleh karena itu Islam Indonesia Islam kaaffah maal miitsaq, tukasnya.
Dalam acara pembekalan para caleg NasDem, sejumlah tokoh agama dari berbagai organisasi masyarakat menyampaikan paparannya mengenai keberagaman di Indonesia.
Dalam acara itu turut hadir pula Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya dan Jaksa Agung M Prasetyo.
]]>“Sebaiknya kita melakukan di ranah pencegahan dari awal, bagaimana cara membentengi ya mencegah,” kata Arijani saat menjadi salah satu narasumber pada seminar nasional bertajuk ‘Membentengi Generasi Muda dari Paham Radikal’ yang diadakan oleh Institut Quantum Pancasila di Hotel Diradja, Tendean, Jakarta Selatan, Jumat (31/8).
Psikolog yang fokus di bidang anak dan remaja ini menjelaskan, pencegahan terhadap paham radikal yang paling utama ialah berangkat dari internal keluarga, terlebih pada pola pengasuhan dan cara mendidik dari orang tua kepada anak. Sebab, kata dia, pola asuh orang tua sangat memberi pengaruh penting terhadap pola hidup, cara berinteraksi dan bersosialisasi kepada lingkungan keluarga serta lingkungan sekitar maupun dunia pergaulan oleh sang anak itu sendiri.
Untuk itu ia menyarankan kepada para orang tua untuk mengutamakan pengasuhan yang terbaik kepada anak, untuk mencegah terpaparnya anak dari paham radikal.”Intinya sebetulnya ya ketahanan keluarga basic utama dari penanggulangan paham radikal itu, kalau menurut saya ya ketahanan keluarga menjadi nomor satu,” paparnya.
“Bahwa keluarga dan orang tua adalah orang-orang yang punya kepentingan dan kewajiban terhadap perkembangan anak-anaknya. maka harus benar-benar fokus dan tidak menganggap ini sebagai sebuah sesuatu yang bisa dijalankan secara sambilan, harus menjadi yang utama,” ujarnya.
]]>Berangkat dari hal tersebut Korps PMII Putri (Kopri) Pengurus Koordinator Cabang (PKC) Lampung bekerja sama dengan Generasi Muda Muslim Indonesia (GMMI) menghelat seminar kebangsaan bertajuk “Peran Pemuda Dalam Menangkal Radikalisme di Lampung”.
Ketua Kopri Lampung, Ana Yunita Pratiwi dalam sambutannya mengatakan, kegiatan seminar kebangsaan ini dilaksanakan berdasarkan keresahan para pemuda melihat aksi-aksi radikalisme yang sudah terang-terangan.
“Kami tidak menginginkan para pemuda penerus bangsa terjebak dalam situasi yang menjurus pada gerakan radikalisme. Pemuda perlu pengetahuan, pemahaman tentang bahaya radikalisme,” tegas Ana di Aula Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Senin (20/8).
Dia mengungkapkan, sasaran peserta kegiatan seminar ini adalah mahasiswa baru. Pasalnya mereka adalah pemuda yang baru akan menginjak usia matang. “Sehingga harus diarahkan dengan benar, agar tidak terjerumus dalam gerakan-gerakan radikalisme,” paparnya.
Sementara itu, Ketua Jurusan Prodi Pendidikan Agama Islam (PAI), Imam Syafii mengatakan, redikalisme bukan hanya mengancam Lampung, namun seluruh Indonesia merasakan ancaman bahaya tersebut. Karenanya dibutuhkan pengetahuan tentang bahaya dan ancaman itu sendiri.
“Pemateri yang dihadirkan adalah orang-orang yang kompeten. Saya yakin, adik-adik mahasiswa baru yang hadir pada seminar kali ini akan diberi pengetahuan dan pemahaman akan bahaya radikalisme, sehingga tidak terjebak didalamnya,” ucap Imam Syafii.
Sementara itu, Pengurus Gerakan Pemuda Ansor Provinsi Lampung, Tajudin Nur menjelaskan paham radikalisme tidak muncul dengan sendirinya, akan tetapi didorong oleh lingkungan yang bahkan tidak mengerti jika sedang menyebarkan paham radikalisme.
Dijelaskan Tajudin, ada begitu banyak cara oknum-oknum tidak bertanggung jawab dalam menyebarkan ajaran radikalisme. Saat ini mulai dari anak kecil hingga dewasa sudah dikenalkan dengan atribut atau lambang radikalisme.
“Sehingga secara tidak langsung tertanam dalam jiwa mereka, yang kemudian begitu mudah di konversi menjadi sebuah gerakan radikalisme,” paparnya.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Bidang Pendidikan Agama dan Dakwah Forum Koordinasi Penanggulangan Teroris (FKPT) Provinsi Lampung, Abdul Syukur mengatakan, radikalisme adalah paham yang membenarkan segala bentuk tindakan yang merusak demi tercapai tujuannya.
“Mereka itu mau dan tega merusak demi mencapai tujuannya, bukan hanya itu bahkan mereka rela melakukan bunuh diri saat melakukan aksinya,” jelas Abdul Syukur yang juga menjabat sebagai Wakil Dekan III Fakuktas Dakwah dan Komunikasi ini.
Dia mengajak peserta seminar untuk bersama-sama memerangin paham radikalisme. “Mari bersama memerangi paham radikalisme, baik yang berusaha merusak kita dari luar maupun dari dalam. Siapapun itu, ormas apapun itu, yang berniat merusak keutuhan NKRI maka harus kita perangi,” tukasnya.
]]>“Pancasila harus terus kita pertahankan sebagai ideologi negara. Pancasila harus jadi bintang penuntun bagi Indonesia Raya,” kata anggota Komisi I DPR ini, melalui keterangan tertulis, Minggu, 5 Agustus 2018.
Charles menuturkan Pancasila yang dicetuskan Bung Karno pada 1 Juni 1945 membuat Indonesia tidak terpecah belah. “Ideologi Pancasila telah menyatukan dan merekatkan rakyat Indonesia dari beragam latar belakang,” katanya.
Anggota DPR yang baru berusia 34 tahun ini mengatakan negara Pancasila juga memberikan kesempatan kepadanya dan anak bangsa lain untuk sama-sama bergotong-royong kerja bersama mewujudkan cita-cita Trisakti Bung Karno. Berdaulat secara politik, beridikari secara ekonomi dan berkepribadian di bidang budaya.
Charles menyampaikan itu saat meraih penghargaan ‘Ten Outstanding Young Persons (TOYP) 2018’ dari Junior Chamber International (JCI), suatu organisasi non-profit dan non-pemerintah yang terafilisasi dengan PBB dan memiliki jaringan di 124 negara, termasuk Indonesia.
Dia memenangi kategori ‘Political, Legal, and/or Governmental Affairs’. Tahun sebelumnya, pemenang untuk kategori ini adalah Agus Harimurti Yudhoyono.
Selain Charles, 9 anak muda Indonesia lain yang meraih penghargaan yakni Nadiem Makarim (Scientific and/or Technological Development), Inayah Wahid (Moral and/or Enviromental Leadership), Rina Sa’adah (Cultural Achievement), Michael Ginarto (Business, Economic and/or Entrepreneurial Accomplishment), Merry Riana (Academic Leadership and/or Accomplishment), Michelle Christina (Contribution to Children, World Peace and/or Human Rights), Abraham Sridjaja (Humanitarian and/or Voluntary Leadership), Kevin Raharjo (Personal improvement and/or Accomplishment) dan Gede Yuda Sugiarta (Medical Innovation)
]]>“Masalah terorisme kita sudah ditangkap, sudah lebih dari 260-an, tapi nggak perlu terlalu ekspose,” ujar Kapolri Jenderal Tito Karnavian di Silang Monas, Jakarta Pusat, Minggu (5/8)
Dari total tersebut, sebagian besar sudah ditetapkan sebagai tersangka. “170-an yang tersangka. Ada (ditahan) di polres-polres, polda-polda,” ucap dia.
Polri tengah gencar menangkap orang-orang yang diduga berafiliasi dengan kelompok teroris pasca-bom bunuh diri Surabaya. Apalagi operasi tersebut juga diperkuat dengan UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Terorisme.
Dengan undang-undang yang baru disahkan tersebut, Polri memiliki kewenangan lebih luas untuk menangkap mereka yang terindikasi dalam kelompok teroris tanpa harus menunggu ada tindak pidana yang dibuat.
]]>Penangkapan sejumlah pengelola Saracen, perusahaan jasa penyedia konten kebencian di internet setahun yang lalu berbuah manis. Meski belum ada penelitian resmi dan detail, setidaknya jumlah konten negatif di Internet sedikit berkurang. Apalagi, belakangan aparat hukum bertindak tegas, dengan menangkap siapapun yang menyebarkan berita bohong yang meresahkan dan ujaran kebencian di Internet.
Pengamat komunikasi dari Universitas Gadjah Mada, Wisnu Martha Adiputra menyampaikan itu sesudah berbicara dalam forum Saring Sebelum Sharing, yang diselenggarakan oleh Badan Nasional Penaggulangan Terorisme (BNPT) di Yogyakarta, Kamis, (2/8) siang.
“Tingkat darurat itu sudah turun sedikit, hoax masih ada, fake news masih ada. Ujaran kebencian yang turunnya lumayan, tidak seperti dulu. Pencegahannya dengan literasi digital. Literasi itu sebenarnya bagaimana kita memahami konten media. Jadi ini lebih ke individu. Sayang literasi media cetak kita kurang. Padahal, orang yang sudah bisa membaca media cetak, dia biasa melihat konten yang panjang dan berpikir, di media digital sekarang itu tulisanya singkat-singkat,” kata Wisnu Martha Adiputra.
Literasi media masyarakat Indonesia seakan melompat. Belum cukup matang memahami media cetak, kini mereka harus berhadapan dengan media digital. Proses itu membuat literasi digital masyarakat buruk.
Wisnu menambahkan, dalam beberapa waktu terakhir, isu agama masih sangat dominan sebagai bahan perdebatan warganet. Isunya kadang-kadang tidak terkait dengan ajaran agama, tetapi mengenai peristiwa-peristiwa tertentu yang dikaitkan dengan sentimen keagamaan. Selain itu, melihat polanya memang tidak ada organisasi besar yang memayungi penyebar konten negatif di Internet.
“Pelaku kini justru tersebar, dan beroperasi di dua ranah dominan, yaitu media sosial dan kolom komentar dalam berita-berita di media online,” kata Wisnu.
Dia menekankan, perlu ada penanganan terhadap kecenderungan ini, terutama karena Indonesia akan menghadapi Pilpres dan Pileg tahun depan. Wisnu menghargai media online yang memoderasi komentar dalam berita-berita mereka. Namun, tetap ada celah yang bisa dimanfaatkan warganet, yang ingin menyebar konten negatif.
Andi Intang Dulung dari BNPT dalam kesempatan ini menekankan fokus BNPT kepada generasi muda, karena data menunjukkan kelompok umur ini yang selalu direkrut dalam tindak terorisme. Di sisi lain, anak muda pula yang paling akrab dengan dunia digital. BNPT telah menyelenggarakan sejumlah kegiatan kreatif bagi generasi muda, termasuk di dalamnya pengawasan terhadap sektor pendidikan, mulai taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi.
“Konsep kita ke depan, bagaimana kita mengikutsertakan guru-guru di tingkat bawah, di tingkat pendidikan usia dini, karena ternyata banyak pelaku yang sebetulnya ada di guru-guru. Kenapa kalau sudah ada di guru paham radikalisme itu kemudian diajarkan ke anak didik itu sangat berbahaya, karena idola anak-anak adalah guru-guru mereka itu,” jelasnya.
Kondisi itu tidak berbeda jauh dengan lingkungan perguruan tinggi, di mana mahasiswa yang cenderung radikal banyak ditemukan di perguruan tinggi di mana ada banyak dosen radikal di sana. Faktornya, kata Andi Intang, adalah karena dosen leluasa memberikan pemahaman radikal itu melalui berbagai cara dalam proses pendidikan.
“Kami akan petakan pada 2019 potensi semacam itu. Tetapi data tahun 2015 di Jabodetabek banyak sekolah yang tidak mau menaikkan bendera dan anak-anak tidak menghafal Pancasila. Bukan anak sekolah yang melakukan itu, tetapi karena guru-gurunya,” imbuhnya.
Andi Intang juga menggarisbawahi pentingnya peran media dalam upaya menekan tindak terorisme dengan menyebar konten positif. Dalam kasus terakhir, Andi Intang mengkritisi sejumlah media yang menyebarkan video yang disebut sebagai jenazah teroris yang utuh setelah sekian lama dimakamkan. Tanpa klarifikasi yang memadai, penyebaran berita semacam itu sangat berbahaya karena akan dianggap sebagai kebenaran oleh masyarakat.
Ahmad Djauhar dari Dewan Pers secara khusus meminta media, terutama media onlinedi Indonesia untuk tidak mengutamakan bisnis. Media massa juga harus memahami, bahwa konten negatif yang mendorong pada radikalisme atau terorisme sangat berbahaya.
“Media itu lahir untuk memperjuangkan rasa kemanusiaan. Terorisme menghancurkan rasa kemanusiaan yang sudah dibangun bangsa sejak lama, karena itu pers dan Dewan Pers tidak bisa membiarkan itu terjadi,” kata Djauhar.
Di sisi yang lain, dia menilai penting upaya membangun kesadaran dan literasi media bagi masyarakat. Pada akhirnya, masyarakat sendiri yang bisa memilih, dan menolak untuk membaca media-media yang cenderung menyebarkan konten negatif, terutama hanya karena mengejar uang. Media partisan, kata Djauhar, bahkan tidak layak disebut sebagai media.
]]>“Yang diperhatikan adalah kurikulum pelajaran agama di sekolah. Saya melihat pelajaran agama di sekolah yang disampaikan sejarah perang, misalnya perang badar, perang uhud, pantesan radikal,” katanya dalam acara konferensi wilayah PW NU Jatim di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, Minggu, 29 Juli 2018.
Menurut Said, ayat-ayat perang oleh beberapa pihak disalahartikan. Dia berharap semua masyarakat bisa memahami ayat-ayat Alquran dan bisa mengamalkannya.
Jika hal itu bisa dilakukan, kata Said, akan muncul akhlak yang baik, sebab mereka bisa memahami ayat tersebut, yang ke depannya bisa muncul toleransi beragama.
Said mencontohkan, saat resepsi pernikahan ayat perang juga dibaca, padahal dalam acara seperti itu bisa dengan membaca ayat-ayat yang lebih menyejukkan.
“Toleransi ini muncul karena akhlakul karimah. Ruang toleransi itu berakhlak, kalau tidak berakhlak tidak mungkin akan toleransi,” ujarnya.
Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PW NU) Jawa Timur, KH Mutawakkil Alallah mengatakan konferensi wilayah PW NU Jatim di Pondok Pesantren Lirboyo digelar, sebab masa jabatan pengurus juga sudah hendak habis.
“Saya sudah meminta Sekretaris PW NU melihat SK PBNU untuk kepengurusan PW NU Jatim yang ternyata berakhir masa jabatan pada 30 Juli 2018. Akhirnya saya menanyakan sana sini, termasuk konsultasi ke Rais Syuriah. Hasilnya, semua siap menggelar Konferwil,” ujar KH Mutawakkil.
Ia mengemukakan, pesantren Lirboyo ini dipilih karena merupakan pesantren tua yang telah melahirkan ulama-ulama besar di Indonesia.
Dalam acara itu, dihadiri ribuan warga nahdliyin dari seluruh Jatim. Hadir sejumlah kiai dari berbagai pondok pesantren di Jatim. Namun, dalam acara tersebut tidak nampak Gubernur Jatim.
Kegiatan Konferwil PWNU Jatim itu berlangsung pada 28-29 Juli 2018. Setelah pembukaan yang berlangsung di aula muktamar, dilanjutkan dengan sidang-sidang yang terdiri dari pembahasan tata tertib, laporan pertanggungjawaban, serta sidang komisi. (WO)
]]>“Kami ingin mahasiswa memiliki daya tahan terhadap segala informasi yang berkembang. Kalau dulu mungkin hitungan waktu sekian lama, tetapi sekarang hitungan detik sudah bisa terekspose segala sesuatu yang terjadi di dunia ini,” ujar Kepala BNPT, Komjen Pol Suhardi Alius saat memberikan kuliah umum di Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Jawa Timur, Selasa (24/7).
Suhardi meminta mahasiswa untuk melapor kepada para dosen atau langsung ke BNPT jika menemui temannya yang lama tidak masuk kuliah.
Suhardi mengaku pesan ini didasari pengalamannya yang menemukan seorang mahasiswa yang lama tak masuk kuliah tiba-tiba terdengar kabar jika yang bersangkutan dan suaminya sudah pergi ke Suriah untuk didoktrin paham radikal.
“Tolong ingatkan, tolong lapor jika ada teman kalian yang seminggu ndak ikut nongkrong, yang ndak masuk kelas. Teman-teman yang kayak gini harus diidentifikasi.
Tak hanya itu, menurutnya usia mahasiswa yang masih remaja rentan menjadi target para pelaku teror untuk didoktrin atau dicuci otaknya menjadi radikal. Terlebih, anak muda memiliki rasa ingin tahu yang cukup tinggi namun emosionalnya masih labil.
“Kemampuan anak muda ini, khususnya, menjadi target dari brainwashing karena mereka memiliki keingintahuan yang tinggi, tapi emosional masih labil itu mudah disusupi,” terangnya.
Dari pengalaman tersebut, pihaknya mengaku telah menyiapkan beberapa upaya agar anak muda bisa mengidentifikasi penyebaran paham radikal, termasuk bersinergi dengan dosen untuk itu.
“Kita kasih mereka treatment-treatment bagaimana mengidentifikasi penyebaran paham-paham itu di sekeliling mereka, sehingga mereka bisa tahu persis dan bahkan bisa mencegah upaya yang bisa dilaksanakan oleh mahasiswa sendiri, dosen dan dengan bersama-sama bersinergi,” ungkapnya.
Suhardi menambahkan, pihaknya juga telah bekerjasama dengan Mendikbud untuk mencegah upaya pencucian otak yang bisa saja menghampiri anak-anak yang duduk di bangku SMA atau tingkatan di bawahnya.
“Salah satunya dalam bentuk kurikulum. Kalau di Mendikbud mengatakan ada pendidikan penguatan karakter. Di sini ada konten-konten bagaimana kita mencegah paham itu masuk kemudian kebangsaan dan implementasi,” paparnya.
Namun untuk mencegah penyebaran doktrin radikal melalui media sosial, Suhardi mengatakan sedang menyusun terapi yang pas. Sebab ia juga ingin anak muda memiliki kemampuan memilih dan memilah informasi yang masuk lewat media ini.
“Bagaimana terapi yang pas, anak muda kita kenali memiliki kemampuan memilah dan memilih informasi yang masuk, karena itulah yang dengan kemajuan teknologi, kemajuan informasi digital itu yang membuat kita carut-marut,” tutupnya. (WO)
]]>