HeadlineKisah

Tragedi Pembantaian Rakyat Palembang yang Terlupakan

MATA INDONESIA, JAKARTA – Sebuah tragedi pernah terjadi di Indonesia pada bulan Januari 1947. Saat itu, Belanda melakukan serangan dahsyat dan pembunuhan di Kota Palembang.

Peristiwa yang terjadi di salah satu wilayah Sumatera Selatan tersebut, dikenal dengan pertempuran ‘Lima Hari Lima Malam’. Sebab pertempuran ini terjadi sejak tanggal 1 hingga 5 Januari 1947.

Sayangnya, banyak orang yang belum tahu sejarah pembantaian di Palembang ini. Karena tidak dipublikasikan secara utuh dalam historiografi Belanda. Belum lagi perhatian media dan parlemen Belanda tidak sepenuhnya tertuju pada kejadian tersebut.

Mengutip rekonstruksi informasi yang disampaikan Javapost.nl, pada tanggal 4 Januari 1947 HJ Wijnmalen, kepala Administrasi Sementara di Palembang, mengirim pesan kepada pemerintah Hindia Belanda di Batavia.

Dia melaporkan bahwa selama pertempuran, hanya dua orang Cina dan satu orang Indonesia terbunuh dan beberapa lagi. Apa yang disampaikan Wijnmalen tersebut secara brutal melanggar kebenaran. Mungkin ada ribuan kematian di kota Sumatra Selatan pada hari-hari pertama tahun 1947.

Yang mengejutkan adalah, berdasarkan catatan Palang Merah internasional ketika itu, sebanyak 2000 sampai 3.500 orang meninggal akibat pertempuran tersebut. Jumlah korban jiwa tersebut dinilai wajar karena Belanda menyerang seluruh wilayah kota Palembang baik dari darat, laut (sungai Musi) dan dari udara.

Perebutan Ladang Minyak

Kota Palembang dulu dikenal punya peran strategis dan sekaligus memiliki ladang minyak. Setelah penjajah Jepang dikalahkan pada Agustus 1945, pada bulan Oktober 1945 dengan kedatangan Resimen Burma 1 Inggris.

Mereka langsung menempati sejumlah kantong, termasuk distrik Belanda Talang Semoet. Tapi sebagian besar kota tetap berada di tangan Tentara Republik Indonesia (TRI, nanti TNI), tentara Republik. Setahun kemudian, setelah kesepakatan politik Linggadjati pada bulan Oktober 1946, Inggris dibebaskan oleh tentara Belanda dari Brigade Y.

Namun antara bulan Oktober dan Desember 1946, tensi antara orang Belanda dan orang Indonesia meningkat. Sejarawan Mestika Zed dari Universitas Padang, dalam disertasinya menuliskan bahwa Belanda melanggar kesepakatan status quo dengan Indonesia.

Seperti mengontrol jalur pengiriman logistik di sungai Musi. “TRI (Tentara Republik Indonesia) melihat ini sebagai provokasi, dan menuduh Belanda melanggar kesepakatan. Hal ini membuat Indonesia tidak dapat melakukan perdagangan internasional, dan menjadi kegiatan blokade ekonomi oleh Belanda,” tulis media nasionalis Obor Ra’jat pada masa itu.

Saat itu, kapal-kapal perang Belanda memblokade lalu lintas pelayaran antara Palembang – Lampung – Jambi – Singapura. Tujuannya agar hasil bumi, barang kebutuhan hidup dan senjata tidak dapat diimpor dan diseludupkan dari Singapura.

Gesekan pun terjadi pada tanggal 29 Desember, saat orang Indonesia melempar granat sebuah truk Belanda. Kejadian itu menyebabkan dua tentara tewas. Lalu berujung pada pembalasan Belanda yang mengakibatkan sekitar 90 orang Indonesia terbunuh.

Tiga hari kemudian, pada tanggal 1 Januari 1947, situasi makin memanas. Menurut relawan perang Charles Destree, semua itu dimulai dengan ‘beberapa orang Ambon yang ceroboh’ membalas tembakan tentara Angkatan Darat Kerajaan Hindia Belanda yang menembak ke udara sebagai perayaan malam hari tahun baru.

Ulrich van Kempen, tentara di Royal Dutch East Indies Army (KNIL) pun mengaku ketika itu langsung diperintahkan untuk menembakkan mortir ke sungai Moesi.”Dua puluh butir granat api ketika diserang oleh ‘laskar’, milisi Indonesia. Itu seperti ribuan!.”

Pertempuran pun semakin meluas, Destree melihat bagaimana angkatan udara Belanda dengan pembom Mitchell melakukan serangan ke kota berpenduduk padat, tanpa ada peringatan kepada warga sipil sebagaimana ditentukan oleh hukum perang internasional. Dan tepat pada tanggal 5 Januari TRI menyerah dan terdorong ke 20 kilometer di luar kota.

Usai pertempuran, harian komunis De Waarheid melaporkan pada tanggal 11 Januari 1947 bahwa ladang minyak American Standard Oil Company dan Royal Shell di Palembang telah menjadi tujuan strategis dari Belanda. Konsul China pun berbicara tentang 250 kematian warga sipilnya, sedangkan sejarawan Zed justru menyebutkan 2050 orang China terbunuh.

Rekonstruksi peristiwa di Palembang yang ditulis pada lama Javapost.nl berdasarkan surat kabar, dokumen arsip, tesis seorang sejarawan Indonesia dan dua saksi mata hidup, Charles Destree yang berusia 91 tahun dan Ulrich van Kempen yang berusia 96 tahun.

Mereka berdua ditempatkan sebagai militer di Palembang. Destree pergi ke Indonesia sebagai relawan perang setelah dia aktif dalam perlawanan melawan penjajah Jerman selama Perang Dunia Kedua, Van Kempen bertugas sebagai tentara di Royal Dutch East Indies Army (KNIL).

Tags

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Close