News

Upaya Selamatkan Rupiah, Jokowi Minta PLN – Pertamina Tahan Impor

MATAINDONESIA.ID, JAKARTA – Dalam rapat terbatas di Istana siang ini, Presiden Joko Widodo memerintahkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) besar untuk meningkatkan komponen dalam negeri. Hal ini dimaksudkan untuk menyelematkan rupiah yang memang sedang berada dalam tekanan besar.

“Peningkatan TKDN terutama untuk BUMN besar yang menggunakan komponen impor ini agar diperhatikan, dan pengendalian impor saya kira harus betul-betul kita cermati sehingga impor barang yang sangat penting dan tidak penting,” ujar Jokowi pada rapat itu.

Kebetulan, BUMN yang hadir pada rapat itu adalah PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero). Kedua BUMN raksasa tersebut memang terkenal dengan reputasi impor bahan baku maupun barang modal secara besar-besaran.

Arahan untuk PLN bahkan bukan yang pertama kalinya disampaikan hari ini. Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani sempat menyampaikan pengendalian impor untuk proyek infrastruktur kelistrikan yang dipengan oleh PLN.

“Terutama infrastruktur kelistrikan [PLN], yang menggunakan cukup banyak barang modal yang di impor. PLN termasuk yang menggunakan banyak sekali barang modal,” kata Sri Mulyani kemarin.

Lantas, seberapa besar impor PLN dan Pertamina hingga pemerintah berupaya mengendalikannya demi penyelamatan rupiah? Berikut ulasan tim riset CNBC Indonesia.

Untuk kasus PLN, guna memenuhi kebutuhan barang modal untuk menyelesaikan proses pembangunan instalasi ketenagalistrikan, perusahaan mengadakan ikatan pengadaan peralatan dengan para pemasok utama yang umumnya melibatkan kreditor penyandang dana. Ikatan pengadaan untuk investasi barang modal tersebut dilakukan pada saat berlangsungnya pembangunan instalasi terkait, umumnya dilangsungkan sebelum atau sebagai bagian dari tahap engineering, procurement, and construction (EPC).

Dari penyajian ikatan material pada Laporan Tahunan PLN tahun 2017, terlihat bahwa transaksi tersebut ditujukan untuk  dua program, yakni Program Percepatan dan Kontrak Konstruksi Rutin. Untuk Program Percepatan, PLN mengadakan kontrak pembangkitan dalam mata uang dolar Amerika Serikat (AS) senilai US$194,22 juta (atau sekitar Rp2,83 triliun menggunakan kurs saat ini). Sedangkan, kontrak pembangkitan dengan mata uang rupiah sebesar Rp1,04 triliun.

Sementara, untuk Kontrak Konstruksi Rutin, PLN menggunakan kontrak dengan berbagai mata uang  asing, di antaranya dolar AS senilai US$198,53 juta (Rp2,89 triliun), Euro senilai €225,61 juta (Rp3,75 triliun), Yen Jepang senilai ¥30,34 miliar (Rp3,98 triliun), dan Won Korea senilai KRW106,61 miliar (Rp1,38 triliun). Sedangkan, kontrak dalam mata uang rupiah hanya senilai Rp37,61 triliun.

Apabila dijumlahkan, kontrak pengadaan barang modal PLN dengan mata uang dolar AS saja mencapai US$392,75 juta (Rp5,72 triliun), pada tahun lalu. Meskipun nilainya masih di bawah total kontrak dengan mata uang rupiah yang sebesar Rp38,65 triliun, namun dapat dilihat bahwa kebutuhan komponen luar negeri dari PLN masih cukup besar, khususnya untuk pembangunan pembangkitan.

Kemudian, untuk kasus Pertamina, beban impor terbesar memang pada impor minyak mentah dan produk minyak. Melansir laporan keuangan Pertamina tahun 2017, impor produk minyak lainnya meningkat 104% secara tahunan (year-on-year/YoY) menjadi US$7,52 miliar. Sementara itu, impor minyak solar juga naik 90% YoY menjadi US$853,53 juta.

Di sisi lain, pembelian domestik produk minyak lainnya hanya naik sebesar 14,71% YoY ke angka US$2,34 miliar, pada tahun lalu. Pertumbuhannya masih kalah signifikan dibandingkan peningkatan impor.Hal ini lantas mengindikasikan bahwa Pertamina juga masih mengandalkan komponen bahan baku yang didatangkan dari luar negeri.

Peningkatan nilai impor Pertamina tidak lepas dari melambungnya harga minyak dunia. Sebagai informasi, rata-rata harga minyak jenis Brent berada di kisaran US$45,17/barel di tahun 2016. Sedangkan, rata-rata harganya di tahun 2017 tercatat sebesar US$54,78/barel. Terjadi peningkatan sebesar 21,27% YoY.

Di sepanjang tahun berjalan ini, harga minyak Brent juga masih tercatat menanjak 8,58% hingga perdagangan kemarin. Bisa jadi beban impor Pertamina masih akan melambung pada tahun ini. Hal ini sudah mulai tercermin dari defisit neraca perdagagan migas kuartal II-2018 yang mencapai US$2,7 miliar atau tertinggi sejak tahun 2015. Lebih rinci, impor migas kuartal II-2018 US$7,2 miliar, sedangkan ekspor migas mencapai US$4,4 miliar.

Sebagai penutup, kebijakan menahan impor memang akan memberikan kontribusi bagi membaiknya defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) tanah air, yang pada akhirnya akan menstabilkan rupiah. Namun, perlu dicatat bahwa karena PLN dan Pertamina begitu tergantung pada komponen luar negeri, kebijakan ini tentunya akan menghambat target yang ingin dicapai oleh PLN dan Pertamina.

Jangan lupa PLN dihadapkan dengan rasio elektrifikasi hingga 97,4%, pada tahun 2019 mendatang. Untuk mencapai sasaran tersebut, PLN menargetkan penambahan daya listrik sebesar 7 GW per tahun (atau selama 2015-2019 mencapai total 35 GW). Kemudian, Pertamina juga dihadapkan pada kewajiban memasok kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam negeri yang jumlahnya terus bertambah.

Oleh karena itu, secara jangka panjang kebijakan menahan impor bukanlah langkah yang bijak. Penguatan industri dalam negeri menjadi kunci utama. Sudah saatnya industri dalam negeri mampu memasok kebutuhan barang modal yang menjadi kebutuhan PLN.

Lalu, janji Jokowi untuk membangun kilang minyak dalam negeri juga harus terealisasi. Pembangunan kilang baru Bontang dan Tuban (Grass Root Refinery/GRR) sudah dimasukkan ke dalam proyek strategis nasional di bawah payung hukum Perpres No. 58 tahun 2017 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.

Selain itu, di dalam daftar Proyek Strategi Nasional juga direncanakan proyek Revitalisasi 5 Minyak Kilang Eksisting (RDMP). Kilang minyak eksisting yang akan ditingkatkan kapasitasnya, di antaranya Cilacap, Balongan, Dumai, Balikpapan, dan Plaju. Apabila keseluruhan proyek ini berjalan signifikan, maka kapasitas produksi kilang minyak Indonesia pun akan melambung, dan akhirnya meringankan beban Pertamina.

Tags

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Close