
MATA INDONESIA, JAKARTA – Dua gempa besar yang mengguncang Palu dan Donggala pada Jumat 28 September lalu, menjadi pelajaran berharga sekaligus pengingat, bahwa bagian bumi nusantara bisa berguncang. Termasuk wilayah Jakarta, yang menjadi pusat segala hal di Indonesia, baik itu kekuasaan, pemerintahan, bisnis, juga keuangan.
Setidaknya ada 12 sumber gempa yang mengepung Jakarta berupa sesar dan subduksi. Letaknya di darat maupun di lautan, hanya soal waktu.
Dalam catatan buku Sir Thomas Stamford Raffles dan Williard A Hanna, gempa tahun 1699 dengan kekuatan 8,7 skala richter telah memuntahkan lumpur dari perut bumi. Dan saat itu juga lumpur tersebut telah menutup aliran sungai, menyebabkan kondisi lingkungan tak sehat, kian parah dan memicu banjir dan memampatkan kanal-kanal Oud Batavia, Jakarta Lama.
Sedangkan makalah “Historical Evidence for Major Tsunamis in the Java Subduction Zone” dari Asia Research Institute juga menggambarkan kejadian gempa itu. Pada 5 Januari 1699, Batavia mengalami gempa yang tak pernah terjadi sebelumnya, yang tak pernah dibayangkan. Sekitar 200 tahun pascagempa 1699, Jakarta kembali diguncang gempa serupa, yakni pada 27 Februari 1903.
Kejadian lindu 1903 adalah sesar geser, mirip dengan apa yang terjadi di Aceh, 11 April 2012. Saat itu dua gempa besar, 8,5 dan 8,1 skala Richter terjadi hanya selang hitungan jam. Artinya, gempa Patahan yang terjadi di tahun 1699 kemungkinan bisa terjadi kembali. Bahkan para ahli menyebut jika gempa bisa menghasilkan efek dengan radius 300 km.
Tak cukup sampai disitu saja, zona tumbukan lempeng bumi di bawah laut Selat Sunda berpotensi gempa bumi hingga Mw 9 dan bisa memicu tsunami hingga lebih dari 20 meter di pesisir Banten dan Lampung. Potensi gempa raksasa di zona subduksi (tumbukan lempeng) Selat Sunda itu berada di ruang kosong gempa (seismic gap) sepanjang 350-550 kilometer (km).
Zona kosong gempa itu sangat mungkin menyimpan potensi gempa raksasa karena energi dari gesekan dua lempeng bumi masih tersimpan. Di Indonesia, potensi gempa besar sebenarnya bisa di zona subduksi Mentawai, Selat Sunda, selatan Bali, Flores, hingga sekitar Ambon dan Papua. Bahkan ada penelitian yang menyebutkan bahwa ada jejak tsunami besar 400 tahun lalu, berdasarkan endapan tanah di sekitar Sungai Cikembulan, Pangandaran, Jawa Barat.
Namun belum ada data yang menyebut kapan periodisasi gempa di Selat Sunda. Sebab berdasarkan model dampak gempa dan tsunami berkekuatan Mw 9 yang berpusat di Selat Sunda, wilayah Jakarta yang hanya berjarak 200-250 km dari pusat gempa berpotensi berguncang keras beberapa menit, dan bisa menimbulkan kerusakan bangunan.
Apalagi Jakarta berada di atas tanah endapan atau aluvial yang karakteristiknya menambah amplifikasi guncangan terkeras yang akan dirasakan di sekitar Banten dan Lampung, dan berpotensi tsunami.
Jika gempa sebesar ini terjadi di daerah dangkal dekat palung, tsunami di daerah sumber, puncaknya bisa 10-15 meter. Tsunami itu bisa tiba di pantai utara Jakarta dengan ketinggian 5 meter.
Peta Mikrozonasi Gempa
Indonesia menempati zona tektonik yang sangat aktif karena tiga lempeng besar dunia dan sembilan lempeng kecil lainnya saling bertemu di wilayah Indonesia dan membentuk jalur-jalur pertemuan lempeng yang kompleks. Keberadaan interaksi antar lempeng-lempeng ini menempatkan wilayah Indonesia sebagai wilayah yang sangat rawan terhadap gempa bumi.
Tingginya aktivitas kegempaan ini terlihat dari hasil pencatatan dalam rentang waktu 1900-2009 terdapat lebih dari 8.000 kejadian gempa utama dengan magnitudo M > 5.0. Dalam enam tahun terakhir telah tercatat berbagai aktifitas gempa besar di Indonesia, yaitu Gempa Aceh disertai tsunami tahun 2004 (Mw = 9,2), Gempa Nias tahun 2005 (Mw = 8,7), Gempa Jogya tahun 2006 (Mw = 6,3), Gempa Tasik tahun 2009 (Mw = 7,4) dan terakhir Gempa Padang tahun 2009 (Mw = 7,6).

Gempa-gempa tersebut telah menyebabkan ribuan korban jiwa, keruntuhan dan kerusakan ribuan infrastruktur dan bangunan, serta dana triliunan rupiah untuk rehabilitasi dan rekonstruksi. Sebagai bentuk antisipasi bencana itu terjadi lagi, pakar peta mikrozonasi gempa, Masyhur Irsyam mengaku dirinya terus mengembangkan studi tersebut untuk mengetahui sumber gempa wilayah Jakarta. “Kita sedang intens lakukan studi untuk optimalisasi peta mikrozonasi gempa untuk wilayah Jakarta,” ujar Mashyur beberapa waktu lalu di Jakarta.
Ia menyebutkan, jika percepatan spektral di permukaan dan amplifikasi faktor gempa juga telah dikembangkan. Dari hasil survei di lapangan, serta analisis kerentanan eskposur yang sudah dilakukan, pihaknya telah memberikan beberapa revisi dan rekomendasi.
Rekomendasi tersebut adalah dengan melakukan update berkala peta bahaya seismik dan kode bangunan dari Indonesia setiap 3-5 tahun, melakukan penyelidikan mikroseismik sesar aktif yang belum teridentifikasi dengan baik / baik diukur, mempercepat instalasi-motion accelerometer kuat jaringan di Indonesia untuk mengembangkan database sejarah waktu dan fungsi atenuasi Indonesia, dan melakukan studi mikrozonasi untuk kota-kota besar di Indonesia.
Untuk mengetahui aktivitas untuk resiko bahaya gempa, pada peta mikrozonasi kota Jakarta, Masyhur mengatakan informasi yang dibutuhkan seperti sumber Seismik mempengaruhi Jakarta dengan karakteristik mereka. “Selain itu gerakan tanah di batuan dasar dari masing-masing sumber dan setiap skenario juga perlu diketahui. Disamping itu dstribusi elevasi batuan dasar profil tanah Dinamis dan distribusi di seluruh kota dan perlu memperhatikan juga kondisi bangunan,” ucapnya.
Salin itu, untuk mencapai struktur perkotaan yang sustainable, Masyhur berpendapat perlu mengindentifikasi daerah-daerah dengan potensi behaya gempa yang berbeda. “Diharapkan, dari pembuatan peta mikrozonasi gempa adalah untuk menentukan distribusi site response untuk terhadap Intensitas gerakan tanah, liquefaction dan kelongsoran. Sehingga memberikan masukan untuk perencanaan kota dan prioritas mitigasi gempa pada sala kota,” kata dia.
Sementara pakar gempa dari LIPI, Danny Hilman Natawijaya menyatakan berdasarkan peta mikrozonasi gempa 2010, Jakarta rentan gempa bumi. Probabilitasnya juga sudah naik. “Tahun 2002 tercatat pada angka 0,15 gravitasi dan tahun 2010 sekitar 0,2 gravitasi,” ujar Danny.
Potensi gempa di wilayah lain juga tercatat lengkap dalam peta ini. Sebab metode dan data yang tersimpan sudah lebih baik dibanding peta serupa di tahun 2002. “Tak hanya Jakarta. Padang, Banda Aceh, Surabaya, Malang, Semarang juga rentan. Kalimantan yang aman dari gempa,” kata dia. (Rayyan Bahlamar)