
MATA INDONESIA, JAKARTA – Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2019 diprediksi meningkat dengan kisaran 5,0 persen-5,4 persen. Estimasi Bank Indonesia (BI) itu ditopang karena kuatnya permintaan domestik, baik konsumsi maupun investasi.
Bank Indonesia pun mengambil langkah untuk mempertahankan kebijakan preemptive dan ahead the curve. Keputusan ini diambil untuk menjaga stabilitas ekonomi pada 2019, karena berpotensi membuat suku bunga semakin meningkat.
Respons ini dilakukan mendahului kebijakan moneter negara lain, yang secara agresif menaikkan suku bunga lebih awal. Tercatat, selama beberapa bulan terakhir, bank sentral telah enam kali menaikkan suku bunga acuan BI-7 Day (Reverse) Repo Rate sebesar 175 basis poin, dari 4,25 persen menjadi 6 persen.
Namun arah langkah bank sentral yang cenderung hawkish (istilah yang mengacu pada kebijakan suku bunga tinggi) tersebut dinilai tidak akan menghambat momentum pertumbuhan ekonomi tahun depan.
Diberitakan sebelumnya, dalam RAPBN 2019, pemerintah mematok target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3 persen atau dalam kisaran tengah proyeksi BI. Tahun depan BI memastikan bauran kebijakan yang telah ditempuh pada 2018 akan semakin diperkuat.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan stance kebijakan moneter yang preemptive dan ahead the curve akan dipertahankan pada 2019. “Kebijakan suku bunga akan terus dikalibrasi sesuai perkembangan ekonomi domestik dan global untuk memastikan inflasi terkendali sesuai sasaran dan nilai tukar rupiah stabil sesuai fundamentalnya,” kata Perry di Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI), Selasa 27 November 2018.
Terkait dengan stabilisasi nilai tukar rupiah, BI akan terus mendorong mekanisme pasar semakin efisien. Selain itu, ketahanan ekonomi nasional perlu terus diperkuat dalam menghadapi risiko dampak rambatan ekonomi global.
“Karenanya, kebijakan moneter akan tetap difokuskan pada stabilitas, khususnya pengendalian inflasi sesuai sasaran 3,5 persen + 1 persen dan stabilitas nilai tukar rupiah sesuai fundamentalnya,” kata Perry.
Perry menjelaskan kenaikan suku bunga menjadi 6 persen untuk memperkuat daya tarik aset keuangan domestik. Selain itu, kenaikan suku bunga sebagai bagian dari upaya koordinatif untuk menurunkan defisit transaksi berjalan ke batas yang aman.
Sementara itu, Presiden Joko Widodo yang hadir di acara PTBI, memuji keberanian Rapat Dewan Gubernur BI yang pada 15 November mengerek bunga acuan 25 basis poin menjadi 6 persen untuk menjaga stabilitas ekonomi Indonesia.
“Yang saya anggap berani itu bukan besarnya kenaikan, tetapi kejutannya itu. Mengapa saya sampaikan seperti itu, karena saya membaca laporan bahwa 31 ekonom yang disurvei oleh Bloomberg, hanya 3 yang punya ekspektasi BI akan menaikkan bunga hari itu, dan saya lihat pasar benar-benar kaget oleh kenaikan bunga oleh BI, dan ini disambut sangat positif oleh pasar,” kata Presiden.
Presiden Jokowi menuturkan dalam 2-3 pekan terakhir, dampak kebijakan bank sentral terlihat dari menguatnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Kepala Negara berharap BI, Kementerian Keuangan, serta pelaku bisnis bahu membahu menjaga ekonomi Indonesia tetap tumbuh.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun mengapresiasi respons positif BI tersebut. Ia menilai, BI secara independen melakukan komunikasi kebijakannya dalam menjaga stabilisasi nilai tukar, cadangan devisa, dan inflasi.
Langkah yang dilakukan BI ini memengaruhi pandangan dunia internasional sehingga menjadi lebih rasional di tengah ketidakpastian global. “Semua ini, dilakukan dengan sangat baik di tengah transisi kepemimpinan Bank Indonesia dari Agus Martowardojo ke Perry Warjiyo,” kata Sri Mulyani.