Gaya HidupKisah
Bikin Bangga, Karya Diaspora Indonesia Ini ‘Mejeng’ di Film Crazy Rich Asians
Teddy pernah ikut dalam penggarapan film Beirut, Beyond Skyline, Joker Game, 1965, dan serial Netflix, Marco Polo

MATA INDONESIA, JAKARTA – Gara-gara film Crazy Rich Asians beberapa hastags atau tanda pagar (tagar) plesetan versi Indonesia mulai bermunculan. Padahal, ada sisi positif lain yang tentu menjadi kebanggaan rakyat Indonesia.
Yakni ada orang Indonesia yang turut berperan penting dalam film yang skenarionya ditulis Adele Lim dan Peter Chiarelli. Dia adalah desainer, Teddy Setiawan. Lulusan Institut Teknologi Bandung ini bertanggungjawab untuk mengubah ide dan desain konsep dari desainer produksi menjadi desain yang lebih aktual dan rinci.
Desain karya diaspora Indonesia tersebut kemudian akan dibangun sebagai set yang digunakan dalam film produksi Warner Bross Pictures itu. Seperti dilansir VOA, Kamis 20 September 2018, Teddy menceritakan bahwa ajakan untuk mengangkat setting keglamoran bangunan yang diceritakan dalam novel tersebut ke layar lebar pada tahun 2017.
Teddy sendiri sebenarnya pembaca setia novel percintaan keluarga kaya raya di Singapura, karya penulis asal Singapura, Kevin Kwan tersebut. “Karena ketika saya baca bukunya, saya sudah membayangkan setnya ‘oh ini akan sangat cantik sekali apabila dijadikan sebuah film.’ Tapi dari situ pula mungkin ekspektasi pribadi ya, mungkin karena ekspektasi pribadi dan gambaran yang sudah saya punya saat membaca bukunya, di situ ada beban tersendiri saat saya dipanggil untuk mendesain set untuk filmnya,” ujar pria kelahiran tahun 1980 ini.
Selama kurang lebih tiga bulan, Teddy dan seorang desainer ruang lain yang berasal dari Kanada, Kyle White, bekerja langsung dengan production designer Nelson Coates. Mereka punya tugas untuk membangun setiap sudut ruangan yang sangat identik dengan kebudayaan Asia, secara detil.
Hampir seluruh proses syuting harus dilakukan di Malaysia. Semisal untuk semua rumahnya dari mulai Tyersall Park (rumah kediaman keluarga Young) sebenarnya guest house, semacam wisma kenegaraan Malaysia yang telah lama kosong dan tidak terawat.
“Rumah itu kita renovasi dan kita perbaiki sampai jadi seperti di film. Itu di handle oleh kami berdua, saya dan Kyle, set designer dari kanada. Lalu Kyle menangani set bachelor party, kebetulan saya kebagian untuk pesta pernikahannya yang di Singapura, di gereja maupun yang di Gardens by the Bay,” ujarnya.
Tantangan lain yang dihadapi oleh Teddy yakni beberapa adegan yang menceritakan dua tokoh utama dalam film ini, yaitu Nick Young dan Rachel Chu, yang ber-setting di kota New York pun juga harus ia pindah ke Malaysia.
“Jadi Rachel Chu ngajar di universitas di New York, lalu kafe di New York, bahkan JFK (John F. Kennedy International Airport), itu kita shoot semua di Malaysia. Kita juga mendesain dan membangun keseluruhan set pesawat yang ditumpangi oleh Nick dan Rachel dari New York ke Singapura,” kata Teddy.

Selesai di Malaysia, Teddy dan tim bergegas ke Singapura untuk membangun lokasi syuting untuk adegan pernikahan kawan Nick. Mereka pun berpacu dengan waktu untuk mempersiapkan semuanya.
Pilihan lokasi upacara pernikahan jatuh kepada CHIJMES, restoran dan bar dengan bangunan berbentuk seperti gereja yang sudah berdiri sejak tahun 1904 di Singapura. Tempat tersebut disulap menjadi taman kecil yang menjadi tema upacara pernikahannya, hanya dalam waktu 30 jam saja.

Sebenarnya, Teddy bukanlah nama asing di kalangan desainer ruang untuk film. Tercatat, ia pernah ikut dalam penggarapan film Beirut, Beyond Skyline, Joker Game, 1965, dan serial Netflix, Marco Polo. Keterlibatan Teddy bermula ketika ia ikut dalam penggarapan beberapa film asing yang melakukan syuting di Indonesia, salah satunya film Black Hat yang dibintangi oleh aktor Chris Hemsworth.
Kini, Teddy sedang berada di Maroko untuk menyelesaikan proyek terbarunya yakni, John Wick 3. “Saya sedang mengerjakan satu film Hollywood lagi, tepatnya di kota Marrakech dan ada beberapa kota lain nanti di Maroko. Judulnya John Wick 3,” kata Teddy.
Dukungan Pemerintah
Di era pemerintahan Presiden Joko Widodo, Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) terus memaksimalkan dukungannya pada desainer yang potensional.
Dari 16 subsektor ekonomi kreatif (ekraf), fashion menjadi penyumbang terbesar kedua setelah kuliner terhadap produk domestik bruto (PDB) ekraf. Berdasarkan data survei khusus ekraf, fashion memberikan kontribusi sebesar 18,5 persen untuk PDB ekraf 2015.
Sumbangsih sektor fashion terhadap ekspor ekraf menduduki peringkat teratas, dengan nilai 56 persen. “Data terkini saya harus crosscheck dulu. Tapi kontribusi fashion sepertinya meningkat secara signifikan dari tahun sebelumnya. Ini artinya, fashion memiliki kontribusi besar untuk ekonomi kreatif dan sangat penting untuk diunggulkan,” kata Deputi Hubungan Antar Lembaga dan Wilayah Bekraf Endah W. Sulistianti di Jakarta.
Endah menambahkan, besarnya nilai ekspor fashion tersebut membuktikan adanya peluang bagi desainer Indonesia yang ingin mengekspansi produknya hingga pasar internasional. Melihat peluang tersebut, Bekraf berupaya membuka jalan bagi desainer-desainer potensional ke pasar internasional. Salah satunya dengan memberi dukungan kepada desainer yang ingin tampil di berbagai ajang internasional. Di situ, diharapkan pula terjadi transaksi (B-to-B).