HeadlineKisah

Dilema Etnis Cina Tangerang, Memilih Rasa ‘Aman’ atau Berbaur di Indonesia

MATA INDONESIA, JAKARTA – Sejarah Indonesia mencatat dalam dua kali dalam kurun waktu 1920-1950, Tangerang diguncang kerusuhan anti-Cina. Pertama, Pemberontakan Petani Tangerang pimpinan Kaiin Bapa Kayah 1924. Kedua, Peristiwa Pao An Tui, Juni 1946.

Asal tahu saja, pemberotakan Kaiin Bapa Kayah tergolong kecil, hanya menyertakan petani di tanah-tanah para tuan di Pangkalan dan Kampung Melayu. Tapi mampu membuat takut hampir seluruh masyarakat Cina.

Berbeda dengan peristiwa Pao An Tui merebak di Rajeg, Gandu, Balaraja, Cikupa, dan Mauk, dengan pengaruh hampir ke seluruh Tangerang.

Akibatnya, laporan koran-koran tentang Peristiwa 1946 menggambarkan seolah tidak ada lagi wilayah aman bagi masyarakat Cina di Tangerang pada saat itu. Semua Cina Tangerang, atau Cina Benteng, berbondong-bondong mengungsi ke Jakarta dan berdesakan di gedung Sin Ming Hui.

Namun laporan itu tak melulu benar. Arie Novrie Purnama, pengamat Cina Benteng, menemukan bukti masih banyak desa masyarakat Cina saat itu terlindung dari pengaruh buruk kerusuhan. Empat diantaranya adalah Panongan, Cengklong, Kosambi, dan Neglasari.

“Tidak seluruh masyarakat Cina dari Cikupa, Balaraja, dan Rajeg, lari ke Jakarta,” ujar Arie Novrie. “Ratusan lari ke Panongan. Mereka yang berasal dari Mauk melarikan diri ke Cengkong, Neglasari, dan Kosambi,” kata Arie.

Ada dua alasan mengapa empat wilayah ini terlindung dari dampak buruk dua kerusuhan. Pertama; masyarakat Cina di Panongan, Cengklong, dan Kosambi, ‘memagari’ diri dengan para jawara. Mereka, selama sekian ratus tahun dan sampai saat ini, membeli rasa aman dari para jagoan.

Kedua, khusus Neglasari, rasa aman diperoleh masyarakat Cina berkat pengalaman berbaur dengan penduduk lokal. Penelitian Guntur Setyanto memperlihatkan Neglasari adalah satu-satunya permukiman campuran Cina dan pribumi, dengan komposisi 49 dan 51 persen.

Neglasari juga menjadi simbol kerukunan etnis Cina dan pribumi selama lebih seratus tahun. Kampung ini juga menjadi ikon perlawanan segregasi etnis yang diterapkan kolonialis Belanda selama bertahun-tahun.

Namun Neglasari seolah membenarkan asumi bahwa hanya Cina yang miskin, dan tidak memonopoli alat produksi, yang sudi berbaur dengan pribumi. Masyarakat pemukim awal Neglasari; Cina dan pribumi, adalah buruh tani, peternak, dan wiraswastawan.

Saat ini pun, Neglasari masih dihuni masyarakat dengan mata pencaharian pekerja pabrik, peternak, dan pedagang kecil. Kesetaraan nasib, dan tidak adanya kepemilikan alat produksi yang menonjol, membuat masyarakat Cina dan pribumi Neglasari mampu menjaga keharmonisan.

“Masyarakat pribumi yang menjadi pagar bagi pemukim Tionghoa di Neglasari, saat kerusuhan terjadi,” ujar Arie Novrie.

“Tidak ada transaksi. Masyarakat Tionghoa tidak membeli rasa aman kepada siapa pun.”

Di Panongan, kalangan tua masih menyimpan cerita kerusuhan 1946. Oen Ong Tjoan (76), misalnya, mengenangya sebagai zaman ‘ngeli’, atau era pengungsian. Ia masih bisa membayangkan bagaimana saudara mereka yang lari dari Rajeg dan Gandu memadati Panongan, dan meminta tempat perlindungan.

Yosep, generasi muda masyarakat Tionghoa di Kampung Cukanggalih, Panongan, mengatakan zaman ‘ngeli’ melahirkan tradisi pembuatan rumah kebaya sistem knock down. “Mereka yang mengungsi, dan bermukim cukup lama di Panongan — karena khawatir belum aman — membangun rumah di tanah pengungsian,” ujar Yosep.

“Rumah itu dibangun dengan sistem knock down, dengan harapan bisa dipindahkan ke tanah asal mereka jika keadaan telah aman.”

Saat keadaan aman, penduduk Cikupa, Gandu, dan Rajeg yang mengungsi ke Panongan membongkar rumahnya dan memindahkannya ke tanah kampung asal. Sampai saat ini rumah kebaya sistem knock down bisa disaksikan di hampir setiap kampung di Panongan, Cikupa, Rajeg, dan desa-desa Cina Udik.

Penyuplai Jugun Ianfu

Kebutuhan akan rasa aman membuat etnis Cina bersedia melakukan apa saja. Mulai dari sekadar memberi ‘uang jago’ kepada para kriminal, jawara, dan jagoan kampung, sampai mendekat ke penguasa.

Ketika Jepang berkuasa, etnis Cina — yang seharusnya membenci bangsa yang menyerbu tanah leluhurnya — terpaksa menggantungkan harapan rasa aman kepada Dai Nippon. Jepang memberi rasa aman kepada etnis Cina , yang di bulan-bulan pertama sejak kepergian Belanda, menjadi sasaran perampokan.

Padahal, Jepang — menurut sejarawan Didi Kwartanada dalam Tionghoa dalam Dinamika Sejarah Indonesia Modern: Refleksi Seorang Sejarawan Peranakan — tidak bermaksud melindungi Cina. Jepang hanya ingin menjaga ketertiban agar roda pemerintahan berjalan.

Pada perkembangan berikutnya, Cina benar-benar ketergantungan kepada Jepang. Masyarakat Tionghoa bisa memberikan — atau melakukan — apa saja kepada Jepang. Sebagai bentuk terima kasih, atau ketakutan akan kehilangan rasa aman.

Termasuk menyediakan jugun ianfu, atau wanita penghibur. Adalah Hoa Chiau Tsung Hui (HCTH), yang dengan sukarela atau terpaksa, melakukan semua itu. Ketika rasa aman dari pihak tertentu telah diperoleh, etnis Cina melihat yang lainnya sebagai ancaman.

Di Tangerang, para tuan tanah yang merasa aman di dekat para jawara yang dibayar, memandang curiga kepada pribumi mana pun.

Di sisi lain mereka sadar tidak setiap saat orang yang bisa mereka bayar akan memberi rasa aman. Pada keadaan tertentu, ketika sentimen anti-Cina sedemikian tinggi, orang bayaran — para jawara, oknum, atau lembaga — tidak akan bisa melindungi mereka.

Saat Kerusuhan Mei 1998, sejumlah penghuni perumahan mewah di Jakarta Barat berhamburan keluar pada malam hari. Sebagian menuju bandara untuk pergi ke luar negeri, atau Bali.

Lainnya, mereka yang dari kalangan kelas menengah, mendatangi rumah penduduk pribumi untuk meminta perlindungan, tentu saja dengan iming-iming uang.

Mereka sama sekali tidak yakin para satpam, yang direkrut dari warga sekitar, akan bisa melindungi mereka dari kemungkinan amuk massa. Namun setelah semua berjalan normal, tidak seorang Cina pun — bahkan mereka yang pernah ditolong — sudi bertegur sapa dengan penduduk di luar tembok permukiman.

Tidak jauh dari permukiman itu, beberapa etnis Cina yang turun-temurun tinggal di Cengkareng Barat ikut serta dalam penjarahan toko-toko. Mereka menjarah beras, dan jenis sembako lainnya dari beberapa toko, membawanya ke permukiman dan membaginya kepada rekan senasib; pribumi atau bukan.

Ketika salah seorang bertanya kepada mereka; toko siapa yang kau jarah. Mereka menjawab; “Dari toko orang Cina.” Beberapa tetangga mereka yang pribumi hanya bisa tertawa. Ironis. Ketika etnis Tionghoa yang kaya sibuk mencari rasa aman. Saudara mereka, yang hidup miskin, sibuk memanfaatkan kerusuhan untuk mencari makan.

Pembentukan Pao An Tui di tahun-tahun awal kemerdekaan Indonesia adalah fenomena. Itulah kali pertama masyarakat Tionghoa berusaha mandiri dalam pemenuhan kebutuhan rasa aman terhadap dirinya.

Untuk memenuhi rasa aman itu, mereka harus lebih dulu meyakinkan pihak yang bertikai bahwa pembentukan milisi bersenjata tidak dimaksudkan melawan siapa pun. Mereka memohon restu pemerintah RI, tapi meminta bantuan Belanda untuk pengadaan senjata dan latihan militer.

Setelah 1949, ketika Pao An Tui dibubarkan, masyarakat Cina kembali harus mendekat ke militer, preman, dan organisasi-organisasi tertentu, untuk melindungi bisnisnya. Itu terjadi sampai saat ini.

Fakta untuk semua itu tak sedikit. Menjelang Imlek, Natal, dan Idul Fitri, para bos Tionghoa harus menyediakan banyak angpao untuk para oknum; militer, polisi, preman, sampai wartawan. Belum lagi ajakan partisipasi pada perayaan-perayaan tertentu.

Tags

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Close