HeadlineViral

Erupsi dan Tsunami di Hari Ibu, Cara Anak Krakatau Mengenang ‘Sang Ibu’

MATA INDONESIA, JAKARTA – Belum sembuh duka akibat tsunami Palu dan Donggala yang terjadi beberapa bulan lalu, Indonesia kembali diterpa bencana serupa yakni tsunami. Bencana gelombang tinggi air laut itu kembali terjadi di Anyer, Banten dan Kalianda, Lampung pada Sabtu 22 Desember 2019, pukul 21.15 WIB.

Akibatnya,  20 orang meninggal dunia, 165 orang luka-luka, 2 orang hilang dan puluhan bangunan rusak . Sontak kejadian itu dikaitkan dengan erupsi Gunung Anak Krakatau yang terjadi pada hari yang sama. Bencana ini seakan kembali mengingatkan kita akan peristiwa tahun 1883.

Bahkan penulis menilai bencana kemarin adalah momen gunung yang lahir pada 1927 itu untuk merayakan ‘Hari Ibu’. Sebuah momen untuk mengingatkan masyarakat sekitar dengan peristiwa erupsi yang pernah terjadi pada ‘Sang Ibu’, Gunung Krakatau.

Bisa jadi Gunung Anak Krakatau ingin sekali ‘diperhatikan’ eksistensinya seperti Gunung Krakatau yang meletus dan mengakibatkan tsunami yang memusnahkan 50 persen peradaban atau 36.417 orang pada 135 tahun silam. Peneliti memperkirakan kemungkinan besar tingginya tsunami saat itu bisa mencapai 100 kaki atau hampir 30 meter.

Lebih gilanya lagi, empat letusan Gunung Krakatau yang terjadi pada 27 Agustus 1883 pukul 10.02 pagi, gelegarnya terdengar hingga Perth, Australia yang jaraknya 4.500 kilometer, bahkan langsung membikin tuli orang-orang yang berada di sekitar Gunung Krakatau.

Sebab selama ini Anak Krakatau hanya menjadi tontonan wisata. Erupsi dan batu pijar yang kerap dilontarkannya dianggap seperti kembang api tahun baru yang sama sekali tidak berbahaya.

Kondisi ini secara tidak langsung mengubur sejarah kehancuran wilayah Banten dan Lampung dalam ingatan masyarakat. Lalu apakah Gunung Anak Krakatau bisa mengalami erupsi purba seperti yang terjadi 135 tahun silam? Jawabannya belum ada yang bisa menjawab, meski kecil kemungkinan.

Namun, kewaspadaan memang tak boleh kendur. Pasalnya, erupsi yang menghancurkan dua per tiga tubuh Pulau Krakatau pada 1883 itu juga diawali dengan kejadian serupa kemarin.

Apalagi Gunung Anak Krakatau menjadi satu dari 19 Gunung yang berstatus Waspada dari Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) selaku koordinator posko nasional ESDM. Yang perlu kita sadari, gunung ini rata-rata tambah tinggi 4-6 meter per tahun, dan tinggi gunung pada 2018 mencapai kurang lebih 300 mdpl di atas permukaan laut.

Jika bernasib sama seperti Gunung Krakatau, maka gunung yang menjulang di zona subduksi antara lempeng Indo-Australia dan Eurasia itu melahirkan letusan berkekuatan setara 21.574 bom atom yang meledak di Hiroshima dan Nagasaki.

Bahkan tsunami yang ditimbulkan Anak Krakatau di masa depan bisa menghancurkan lebih dari ribuan desa dan menewaskan ratusan penduduk di pesisir Lampung dan Banten.

Yang perlu masyarakat Banten dan Lampung ketahui, Anak Krakatau terus meletus secara sporadis. Ia sedang bertumbuh, terus mendekati ukuran induknya yang hancur berkeping.

Tak ayal, Anak Krakatau adalah satu dari 100 gunung berapi yang terus dipantau NASA melalui satelit Earth Observing-1 atau EO-1. Ada dua alasan yang membuat NASA terus mengamati Anak Krakatau. Selain karena terus-menerus bererupsi, ini juga dilatarbelakangi faktor historis.

Tags

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Close