News
Gay sebagai Masalah Psikologis, Bisakah Sembuh?

MATA INDONESIA, JAKARTA – Semakin banyak saja kelompok gay yang terbongkar keberadaannya di Indonesia.
Baru-baru ini, ditemukan sekelompok gay di Garut yang berkumpul dalam grup Facebook bernama ‘Gay Garut-Indonesia’ dengan jumlah anggota lebih 2.600. Sebagian anggota grupnya bahkan diketahui berstatus pelajar.
Fenomena homoseksual ini sering dikaitkan dengan masalah-masalah psikologis yang menghantui seseorang sehingga ia mengambil jalan lain dalam memenuhi kebutuhan seksualnya.
Dalam beberapa penelitan tentang gay, mengutip dari berbagai sumber, ditemukan beberapa alasan kenapa seseorang memilih menjadi homoseksual. Di antaranya sebagai berikut:
1. Trauma Masa Kecil
Beberapa kasus pelecehan seksual sodomi pada anak-anak di AS dan Eropa ternyata berdampak panjang pada psikologi korban. Mereka yang menjadi korban sebagiannya justru menjadi gay ketika beranjak dewasa karena trauma masa kecil.
2. Pelarian dari Masalah
Ada beberapa gay yang ternyata sebelumnya adalah seorang pria normal penyuka wanita. Namun, saat ia menggantungakan perasaannya, ia dikhianati oleh sang kekasih. Akhirnya, pengalaman itu membuatnya membenci wanita dan mencari kepuasan dari sesama jenis.
3. Dampak Peran Orang Tua
Anak-anak yang jauh dari ayahnya atau kurang mengenal ayahnya didapati punya kecenderungan menjadi gay. Hal ini dikarenakan sang anak lebih dekat dengan ibunya, lalu jiwa lelakinya tidak terbentuk, yang ada malah jiwa perempuan. Akhirnya, ia merasa seperti perempuan dan memilih pria untuk menjadi pasangan.
4. Ketidakpuasan dalam Hubungan Seks
Seseorang ternyata bisa menjadi gay jika ia merasa tak puas dalam hubungan seksual dengan lawan jenis. Karena ketidakpuasan itu, akhirnya seseorang memilih homoseksual dan menghindari heteroseksual.
Bisakah Gay Disembuhkan?
Sejak tahun 1973, di AS, gay sudah dimaklumi sebagai satu kebiasaan seksual yang normal. Bahkan, gay dihapus dari daftar penyakit mental dalam buku pedoman Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM).
Sehingga, para psikolog di AS sudah hampir enggan menemukan solusi-solusi baru untuk mengatasi masalah homoseksual.
Meskipun, di negara-negara Timur seperti Asia, gay adalah sesuatu yang dianggap menjijikkan dan menyimpang sehingga harus ditangani secara serius.
Jika gay adalah masalah psikologis atau masalah mental, maka pengobatannya bisa dilakukan dengan cara terapi psikis dan bimbingan konseling secara berkala.
Namun, terapi dan konseling akan sulit dilakukan jika seseorang menjadi gay karena dorongan hormon ataupun masalah biologis.
Ada juga cara lainnya, yakni pendekatan yang lebih ideologis, seperti agama.
Dalam Islam, homoseksual adalah perbuatan yang sangat terlarang dengan konsekuensi yang tinggi. Namun, Islam juga memberi kesempatan bagi siapapun yang merasa berdosa untuk kembali ke jalan yang benar menurut agama.
Biasanya, gay diobati dengan konseling keagamaan yang menyodorkan ayat-ayat suci, kisah teladan atau bahkan langsung dinikahkan dengan perempuan agar perlahan hidupnya menjadi normal.
Tak hanya itu, ada juga pengobatan gay ala zaman dulu yang dikenal sangat kejam.
Pada awal 1900-an, banyak yang percaya gay bisa disembuhkan dengan terapi pembalikkan kuno yang dilakukan oleh endokrinolog Wina Eugen Steinach
Dia mentransplantasi testis dari lelaki ‘normal’ ke buah zakar pria gay sebagai upaya untuk membebaskan mereka dari hasrat ketertarikan seksual sesama jenis. Sayangnya, cara ini dianggap gagal.
Metode yang sama kejamnya juga terjadi pada 1960 hingga 1970-an. Saat itu, gay disembuhkan dengan kekerasan fisik seperti penyiksaan dengan kejutan listrik yang berefek samping hilang ingatan.
Ada juga yang menggabungkan dua metode, yaitu penyiksaan fisik dan mental. Pelaku gay dipaksa menelan obat mual sambil dipaksa menyaksikan gambar porno homoseksual agar ia bisa mengaitkan antara perilaku homo dengan pengalaman mental yang tidak menyenangkan. (Awan)