
MATA INDONESIA, JAKARTA – Wakil Ketua Majelis Syuro PKS Hidayat Nur Wahid mencap Bakal Calon Wakil Presiden Sandiaga Uno sebagai ulama. Sontak pemberian cap tersebut memunculkan polemik di kalangan masyarakat, khususnya umat Muslim di Indonesia.
KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) menyatakan saat ini banyak yang mengaku ulama, akan tetapi tak pantas menyandangnya karena keilmuan dan perilakunya tidak tepat dengan peran dan tugasnya sebagai ulama.
Secara sanad keilmuan, kata dia, tak jelas menganut kepada siapa. Bahkan secara tegas ia menyebutkan bahwa keilmuan tak dapat secara instan. Kadang mereka hadir tanpa diketahui masyarakat rekam jejaknya seperti apa.
“Kiai memiliki pandangan yandzhuruna ilal ummah bi ainir rahmah (melihat umat dengan pandangan kasih sayang),” kata Gus Mus beberapa waktu lalu.
Kondisi inilah yang membedakan antara kiai dan ulama pada masa sekarang. Kata dia, kiai merupakan ciri khas (istilah) bagi masyarakat Jawa. Benda-benda yang dihormati dinamakan dengan kiai. Secara tak langsung kiai adalah orang yang dihormati.
Ia menerangkan bahwa pengertian ulama bisa diartikan dari bahasa Arab dan Indonesia. Kedua hal ini berbeda secara makna. Konteks yang melatarbelakangi kata ini pun akan lain. Kata ulama tak bisa diartikan secara langsung dengan kata kiai. Ulama itu bukan terjemahan dari kiai.
“Ulama adalah produk masyarakat, mengenali masyarakat dan masyarakat tahu persis track record ulama tersebut,” papar Pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibin Leteh, Rembang ini.
Sementara KH. Dr. Abd A‘la mengatakan bahwa fenomena sosial keulamaan di Indonesia sebenarnya ada dua kategori ulama Indonesia. Yakni organik dan karbitan.
Pembagian kategori ini sesuai dengan kehidupan sosial politik yang berkembang di Indonesia. Sejatinya, kata dia, ulama khas Indonesia yang merujuk pada para tokoh yang alim di bidang keagamaan Islam dan sekaligus memiliki akar kuat dalam tradisi dan budaya lokal Nusantara.
“Selain berwawasan luas mengenai ilmu-ilmu “agama” dan memiliki aura ilahiyah, mereka juga memiliki kearifan yang tecermin dalam pandangan dan sikapnya yang menyejukkan dalam merespons suatu atau beragam persoalan. Ulama memiliki kemampuan untuk mendialogkan prinsip-prinsip ajaran Islam dengan realitas temporal dan lokal,” kata Abd A’la.
Ulama pada umumnya lebih banyak mendengarkan dibanding mendominasi pembicaraan. Ulama semacam itu adalah yang organik, yang dibentuk, dibesarkan, serta bersikap dan bertindak atas nilai-nilai keulamaan dan keindonesiaan.
Pengasuh PP al-Nuqoyyah Guluk-guluk Madura Jatim menyebutkan bahwa karakteristik ulama organik ini menjadikan hubungan ulama dengan masyarakat begitu dekat, tapi sekaligus tidak lebur. Karena itu, ulama organik selalu mengedepankan langkah-langkah yang penuh kearifan.
Namun, akhir-akhir ini beberapa orang yang bergelar ulama tidak menampakkan jati diri mereka yang organik dan genuine. Bahkan nilai-nilai luhur yang dulunya nyaris menjadi bagian intrinsik kepribadian ulama, sekarang mulai memudar.
Dalam mengeluarkan pernyataan atau tindakan, mereka sering kehilangan kearifan yang dapat mencerminkan keluasan wawasan pandangan dan kesabaran. Mereka mulai senang membuat kriteria sendiri mengenai fenomena yang berkembang, dan pada gilirannya gampang menuduh negatif orang atau kelompok lain secara simplistis.
“Mereka jadi kurang mampu memilah antara aspek sosial dan aspek teologis, atau antara nilai-nilai universal agama dan nilai agama yang bersifat partikular.”
Dunia politik yang menjanjikan dan masih kuatnya politisasi agama – di mana ulama memiliki peran besar dalam dunia keagamaan, terutama pada masyarakat pedesaan – mengantarkan orang-orang tertentu menjadikan simbol ulama sebagai alat mengeruk keuntungan.
Ironisnya lagi, ulama model ini mulai memisahkan diri dari masyarakat kecuali jika punya kepentingan tertentu yang lebih banyak bersifat subjektif. (Tian)