HeadlineKisah

Jejak Yahudi di LP Wanita Tangerang

MATA INDONESIA, JAKARTA – Muncul pertanyaan di benak saya, apa benar Lembaga Pemasyarakatan (LP) Wanita di Tangerang, pernah menjadi kamp konsentrasi Yahudi. Pertanyaan itu hadir setelah saya membaca dua situs; anne-ruthwertheim.com dan robcassuto.com.

Dalam situs milik Anne-Ruth Wertheim itu terpampang beberapa lukisan gerbang kamp, menara bambu tempat penjaga meletakan senapan mesin, dan suasana di dalam penjara. Mirip LP Wanita tersebut.

Sedangkan di situs Keluarga Cassuto dan Van Zuiden terdapat kartu identitas tahanan yang dikeluarkan Jepang, atas nama B. Van Zuiden-van Praag. Ada pula foto-foto kenangan saat keduanya masih kecil. Anne-Ruth menampilkan foto saat dirinya berusia dua tahun dan sedang dimandikan seorang wanita pribumi yang bekerja di rumahnya. Cassuto menampilkan foto-foto keluarganya.

Lukisan tersebut jelas mirip seperti pintu masuk LP Wanita di Tangerang. Sempat ragu, namun saya memutuskan untuk membaca habis tulisan Ann-Ruth.

Benar saja, ternyata Anne-Ruth sempat mengunjungi kembali kamp konsentrasi itu tahun 2010, dan menulis; “Kini kamp itu menjadi penjara wanita. Di sel yang pernah saya tempati, saya berbicara dengan wanita pengedar narkoba yang menjalani masa hukuman.”

Dari penuturan Anne-Ruth, saya sampai pada kesimpulan kamp konsentrasi Yahudi di Tangerang kini menjadi LP Wanita.

Yahudi di Indonesia

Ada dua teori tentang kedatangan Yahudi di Hindia-Belanda. Teori pertama menyebutkan orang Yahudi kali pertama masuk ke Hindia-Belanda pada abad ke-18. Teori kedua mengatakan Yahudi datang ke Nusantara sejak abad ke-13.

Leendert Miero, menurut teori pertama, adalah salah satu orang Yahudi pertama yang tiba di Batavia. Satu sumber lain menyebutkan Miero datang ke Hindia-Belanda sebagai prajurit Kerajaan Belanda yang ditugaskan di Jawa. Setelah melewati masa pengabdian di ketentaraan, Miero berdagang dan menjadi kaya raya.

Sumber lain, seperti dikemukakan Profesor Rotem Kowner dari Universitas Haifa, menyebutkan Miero adalah Yahudi Belanda kelahiran Ukraina. Miero tiba di Batavia tahun 1775, dan dengan cepat menjadi kaya berkat usaha perkebunan di perbatasan Bekasi-Bavaia — saat ini sekitar Pondok Gede. Miero meninggal dan dimakamkan di Batavia.

Teori kedua, yang juga dikembangkan Profesor Kowner, mengatakan orang Yahudi pertama yang datang ke Nusantara adalah seorang pedagang dari Fustat, Mesir. Kowner tidak menyebut namanya, tapi yakin Yahudi pedagang itu meninggal di Barus, Sumatera Utara, tahun 1290.

Setelah Portugis menemukan jalan ke India dan Asia Tenggara, banyak orang Yahudi — lebih dulu menjadi Kristen — terlibat dalam ekspedisi pada awal abad ke-16. Kebanyakan dari mereka tidak kembali, tapi bermukim di sepanjang pantai utara Sumatera, dan Jawa.

Jumlah pemukim Yahudi di Nusantara berkembang seiring kemunduran Portugis, dan munculnya VOC — raksasa dagang Belanda — di Nusantara tahun 1602. Namun tidak ada dokumen yang menyebut jumlah pemukim Yahudi di awal pendirian Batavia. Setelah VOC bangkrut tahun 1799, pemerintah Hindia-Belanda juga tidak mencatat jumlah orang Yahudi di kota-kota di Jawa dan Sumatera.

VOC dan pemerintah Hindia-Belanda memang menjalankan politik segregasi etnis, tapi tidak memisahkan Yahudi dari masyarakat Belanda. Politik segregasi hanya mencakup orang-orang Cina, inlander (pribumi), Arab, Moor, dan kulit putih non-Belanda.

Yahudi asal Belanda masuk ke dalam kelompok pemukim Belanda. Sedangkan Yahudi yang datang dari Jerman, Prancis, Spanyol, Austria, Inggris, dan lainnya, masuk kelompok masyarakat kulit putih non-Belanda.

Namun Yahudi yang datang ke Hindia-Belanda tidak hanya berasal dari Eropa, tapi juga dari wilayah Kekaisaran Ottoman, yaitu Irak. Komunitas Yahudi Shepardic di Surabaya berasal dari Irak, dan menyebut diri Yahudi Baghdadi.

Terdapat indikasi pemerintah Hindia-Belanda mengintegrasikan mereka ke dalam masyarakat Arab. Rumah-rumah Yahudi Baghdadi di Surabaya, plus sinagogue mereka, terdapat di lingkungan permukiman Arab.

Catatan penting tentang eksistensi Yahudi di Nusantara ditulis Rabbi Yacob Saphir. Dalam perjalanan ke Australia untuk mengumpulkan dana bagi pembangunan permukiman Yahudi di Palestina, Rabbi Saphir tiba di Singapura — kota di Asia Tenggara dengan pemukim Yahudi Shepardic yang mapan; memiliki beberapa synagogue dan rabbi.

Sebelum bertolak ke Australia, Rabbi Saphir disarankan mengunjungi masyarakat Yahudi di Batavia, Semarang, dan Surabaya. Ia memenuhi saran itu dan mengunjungi tiga kota di Jawa pada 1861, untuk bertemu keluarga-keluarga Yahudi.

Di Batavia, Rabbi Saphir bertemu 20 keluarga Yahudi. Dalam catatan perjalanannya ia menulis; “Mereka tidak lagi menjalankan ritual Judaisme, mengadakan upacara brit milah (mengkhitan anak laki-laki), karena ketiadaan pemuka agama.”

Jika keluarga Yahudi di Batavia ingin mengkhitankan anak laki-lakinya, mereka harus mengumpulkan banyak uang untuk memanggil rabbi dari Singapura. Situasi serupa juga dijumpai Rabbi Saphir di Semarang, tapi tidak di Surabaya.

Di Surabaya, Rabbi Saphir menemukan sinagogue yang terpelihara, dengan masyarakat Yahudi Shepardic di sekelilingnya. Di sini, brit milah dijalankan dengan baik, karena ada rabbi yang siap memimpin upacara. Minyan, atau ritual umum yang harus diikuti minimal 10 laki-laki, terpelihara.

Rabbi Saphir juga mencatat Yahudi di Batavia dan Semarang berasal dari Jerman dan Belanda, dengan latar belakang Azhkenazim. Mereka tidak hanya murtad terhadap ajaran, tapi ikut-ikutan merayakan Natal meski tidak terdaftar sebagai anggota salah satu gereja.

“Di Semarang dan Batavia, tidak ada pemakaman khusus Yahudi. Di Surabaya, Yahudi Baghdadi memiliki tanah wakaf untuk pemakaman,” demikian Rabbi Saphir.

Khusus tentang Yahudi di Batavia dan Semarang, Saphir secara khusus menulis; “Beberapa memiliki istri Yahudi, lainnya menikah dengan wanita lokal. Mereka tidak memiliki guru agama, tempat penyembelihan hewan, mohel (pengkhitan), tapi mereka tidak mengingkari asal-usul mereka. Mereka mengaku Yahudi. Saya katakan kepada mereka bahwa saya akan mengkhitan semua Yahudi yang ingin kembali ke kepercayaan Ibrahim.”

Di Surabaya, Rabbi Saphir juga berbicara kepada orang-orang Yahudi, terutama Azhkenazim, yang sekian lama meninggalkan ajaran Ibrahim. “Tidakkah kalian malu kepada orang Arab dari Muskat dan Hadramaut. Mereka mampu menjaga keimanan mereka, membangun masjid, menjalankan ajaran dalam nama Allah.”

Rob Cassuto, salah satu anggota Keluarga Cassuto yang lahir di Batavia, memperkirakan migrasi besar-besaran Yahudi dari Eropa — terutama Belanda dan Jerman — terjadi di penghujung abad ke-19. Migrasi mencapai puncaknya jelang pergantian abad, ketika pemerintah Belanda mencoba membentuk koloni kulit putih yang mapan di Hindia-Belanda.

Lewat iklan di surat kabar, Kerajaan Belanda mengajak warganya mengisi posisi-posisi penting di tanah jajahan. Orang Yahudi yang paling pertama merespon ajakan ini. Bersama orang Belanda lainnya, mereka datang ke Batavia dan mengisi posisi penting di pemerintahan Hindia-Belanda, menjadi guru di sekolah-sekolah untuk anak-anak Eropa dan Cina, atau berkarier di ketentaraan.

Mereka yang tidak kebagian posisi di pemerintahan, berkarier sebagai pengacara, dokter, pedagang, atau pengusaha perkebunan di wilayah-wilayah yang terkena liberalisasi tanah. Mereka dengan cepat menjadi sangat kaya dibanding pemukim kulit putih lainnya.

Ketika Israel Cohen — penyandang dana gerakan Zionist — tiba di Batavia tahun 1921, orang-orang Yahudi di Hindia-Belanda bergelimang kemewahan, dengan koleksi jongos, babu, dan tukang kebun (semuanya inlander) sekian banyak. Shoshana Lehrer, yang meninggalkan Indonesia setengah abad lalu, menulis pendapatan per kapita orang Yahudi di Hindia-Belanda 4.017 gulden. Pendapatan per kapita inlander 78 gulden per tahun.

Dr Eli Dwek, Yahudi Azhkenazim asal Surabaya, mengenang kemewahan hidup di Hindia-Belanda dengan satu kalimat; “Saat masih kanak-akanak, ayah memberikan saya mobil sport.”

Cohen datang ke Hindia-Belanda untuk mencari dana bagi gerakan Zionist, sekaligus menularkan gagasan kembali ke tanah yang dijanjikan kepada orang-orang Yahudi. Di Batavia, ia bertemu masyarakat Yahudi di Theosopical Hall. Di Semarang dan Surabaya, Cohen berbicara di loji Freemason.

Saat bertemu Yahudi yang beristri penduduk lokal, Cohen secara terbuka mengutarakan kekhawatirannya kelak seluruh Yahudi di Hindia-Belanda melebur total dengan masyarakat besar, dan kehilangan keyahudiaannya. Namun ia bisa berlega hati ketika menemukan cabang Keren Hayesod, organisasi Yahudi internasional yang bergerak mengumpulkan dana bagi orang-orang Yahudi di Palestina.

Keren Heyesod hadir di Hindia-Belanda tahun 1920, dan memiliki cabang di Batavia, Semarang, Surabaya, Malang, Bandung, Medan, Padang, dan Yogyakarta.

Di Surabaya pula Cohen melihat keragaman asal-usul Yahudi, tidak hanya dari Belanda dan Irak, tapi banyak yang berasal dari Rusia, Rumania, Austria. Mereka menembangkan identitas Yahudi Hindia-Belanda, atau Indies Jews, dengan segala atribut yang membedakan dari Yahudi lainnya.

Di akhir kunjungan lima hari ke Hindia-Belanda, Cohen memperkirakan hanya ada sekitar 2.000 Yahudi di Nusantara. Rob Cassuto membantah klaim ini. Menurutnya, jumlah riil Yahudi di Hindia-Belanda jauh lebih tinggi, tapi tidak teridentifikasi.

Argumentasi Cassuto diperkuat oleh pengakuan beberapa anggota keluarganya yang secara sadar menyembunyikan identias keyahudian, karena tidak ingin berbeda dari pemukim kulit putih lainnya. Jeffrey Hadler punya pendapat lain. Menurutnya, ada diskriminasi tak kentara terhadap Yahudi yang diterapkan pemerintah Hindia-Belanda.

Misal, tidak ada Yahudi menempati posisi penting di Nederlandse Handelmaatschappij sampai 1936. Javasche Bank, Nederlandse Indische Handelsbank, dan perusahaan-perusahaan pelayaran (scheepvaartmatschappijen) baru membuka diri terhadap Yahudi tahun 1925.

Setelah Cohen pulang, dua organisasi Yahudi; Association for Jewish Interest in Dutch East Indies dan World Zionist Conference (WZC) terbentuk di Bandung, Yogyakarta, Batavia, Surabaya, Semarang, Padang, Medan, dan Malang. Kemunculan kedua organisasi itu membawa sedikit pengaruh bagi penemuan kembali jati diri keyahudian dengan sistem kepercayaannya.

Di Bandung, misalnya, muncul perayaan Hanukkah. Di Batavia dan Semarang, orang-orang Yahudi lebih suka terlibat dalam pertemuan Freemason dan kelompok-kelompok Theosofi. Menariknya, justru di loji Masonic hari besar Hanukkah dan Yop Kippur dirayakan. Sedikit Yahudi lainnya terlibat dalam klub drama yang disebut Soos.

Cassuto memperkirakan orang-orang Yahudi menjadikan loji Freemason untuk membangun jaringan, dan arena diskusi teologis yang tidak mempertentangkan agama. Mereka tidak pernah benar-benar menjadi Masonic, tapi merindukan suasana relijius.

Di Padang, pengaruh kedatangan Cohen mulai muncul enam tahun kemudian. Sebuah majalah bulanan bernama Erets Israel, ditulis dalam bahasa Ibrani, muncul tahun 1926 dan terbit secara teratur. Majalah dikonsumsi keluarga Yahudi di Padang, dan didistribusikan ke Semarang, Bandung, dan Batavia, namun diberangus Jepang tahun 1942.

Sepuluh tahun setelah kedatangan Cohen, pemerintah Hindia-Belanda menggelar sensus. Berbeda dengan sebelumnya, sensus kali ini mencantumkan kata Yahudi dan asal dalam kolom ‘white’ (kulit putih) non-Belanda. Hasilnya, 1.095 secara sadar mengaku sebagai Yahudi, dengan berbagai asal negara; Belanda, Jerman, Polandia, Irak, Austria, dan Cina

Dari jumlah itu, 85 persen bermukim di kota-kota di Jawa; Batavia, Bandung, Semarang, Surabaya, dan Malang. Sebelas persen bermukim di Sumatera; Medan dan Padang, dan sisanya — kurang dari empat persen — mendiami pulau-pulau lain di Hindia-Belanda.

Cassuto memperkirakan jumlah Yahudi di Indonesia meningkat hampir tiga kali lipat beberapa tahun sebelum Adolf Hitler menginvasi Eropa. Sentimen antisemit yang merebak di Jerman, Polandia, Belanda, dan negara-negara Eropa Timur lainnya, memaksa orang-orang Yahudi kaya melarikan diri. Hindia-Belanda menjadi salah satu destinasinya.

Contoh paling menarik dari pelarian Yahudi Belanda ke Hindia-Belanda dituturkan Helen Benninga-Frank dalam buku My Story and Other Writings. Bersama keluarga besarnya, Helen meninggalkan Groningen, Belanda, menuju London. Dari London, mereka melanjutkan perjalanan ke Hindia-Belanda, dan tiba di Batavia 31 Agustus 1940.

Kisah lebih menarik dituturkan Lydia Chagoll, gadis Yahudi Belgia yang tiba di Hindia-Belanda beberapa hari sebelum invasi Jepang ke Jawa. Lydia tiba di Tanjung Priok bersama saudara perempuan dan kedua orang tuanya, setelah melakukan perjalanan panjang melewati Prancis, Portugal, Mozambique, dan Afrika Selatan. Ia tak sempat menikmati hidup enak di tanah pelarian, karena serdadu Jepang segera menggiringnya ke kamp.

Tags

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Close