KisahNews

Jenderal Oerip Soemohardjo, Dulu Mengalah, Kini Terlupakan

MATA INDONESIA, JAKARTA – Mungkin tak banyak yang mengenal sosok Oerip Soemohardjo. Padahal ia punya peranan besar dalam sejarah kemiliteran pra dan pasca kemerdekaan RI.

Ia adalah seorang jenderal dan Kepala Staf Umum TNI, dulu bernama Tentara Keamanan Rakyat (TKR), pertama di Indonesia pada masa-masa awal kemerdekaan. Sosoknya dikenal sebagai perekat kekuatan militer yang masih terpecah-pecah pada masa itu.

Oerip lahir pada 22 Februari 1893 di Purworejo dan wafat pada 17 November 1948 di Yogyakarta. Oerip digelari sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pada tahun 1964.

Ada kisah paling mengharukan dalam sejarah tentang Oerip Soemohardjo. Setelah Indonesia mulai berbenah pasca proklamasi dikumandangkan oleh Soekarno dan Hatta, Oerip yang notabene adalah senior dalam urusan militer harus melanjutkan karirnya di bawah bayang-bayang kebesaran Jenderal Soedirman, junior jauhnya dalam kemiliteran.

Oerip diangkat menjadi Panglima sementara TKR pada 14 Oktober 1945. Ditunjuk langsung oleh Presiden Soekarno, Oerip juga mengembang amanah sebagai Kepala Staf Umum TKR karena pengalamannya di militer sejak era penjajahan Belanda.

Jabatan Panglima tak lama dipegang Oerip. Pada 12 November 1945, militer Indonesia menentukan nasibnya. Posisi Panglima TKR sedang diperebutkan melalui pemungutan suara yang berlangsung menegangkan dan alot.

Dua calon Panglima TKR, Oerip dan Soedirman sama-sama meraup suara imbang dalam dua putaran pemilihan.

Pada putaran ketiga, posisi Panglima jatuh ke tangan Soedirman. Ia unggul satu suara atas Oerip. Ketegangan mereda, suasana panas ruang pemungutan suara pun perlahan mendingin.

Soedirman mulai sadar diri atas kemenangannya. Berusia lebih muda 23 tahun dari Oerip, Sudirman berencana menyerahkan posisi Panglima yang baru saja dimenangkannya kembali ke tangan Oerip. Alasannya sederhana, Oerip adalah atasannya dan merupakan senior jauh dibanding Soedirman.

Niatan Soedirman ditentang oleh pendukungnya. Mereka tak setuju dipimpin oleh Oerip karena ia adalah lulusan KNIL yang didirikan Belanda, sedangkan Soedirman berasal dari PETA, tentara asli Indonesia.

Pendukung Soedirman tak ingin dipimpin oleh sosok yang disinyalir telah berbaiat setia kepada Pemerintah Belanda. Apalagi, Oerip berpangkat Mayor di KNIL, yang menjadikannya pribumi dengan posisi tertinggi yang pernah diraih di dalam barisan militer dirian Belanda itu.

Hasil pemilihan telah disepakati. Soedirman memimpin TKR sebagai Panglima. Oerip dengan rendah hati menerima kekalahannya. Bahkan, ia merasa sebagian bebannya telah berkurang, kekalahan disambut dengan perasaan lega.

Sebagai penghormatan, Panglima Soedirman meminta Oerip tetap menjabat posisi lamanya, yakni Kepala Staf Umum TKR dengan pangkat Letnan Jenderal. Lagi-lagi, Oerip menunjukkan kerendahan hatinya. Ia menerima tawaran Soedirman untuk mengisi posisi tersebut.

Setelah itu, nama Soedirman semakin melejit sebagai Panglima TKR. Sebaliknya, nama Oerip Soemohardjo perlahan memudar di bawah bayang-bayang kemahsyuran Sang Panglima.

Tapi, di balik hatinya yang penuh dengan kesabaran, Oerip tetaplah seorang militer. Ia secara tegas menolak jalan yang ditempuh pemerintah untuk menyelesaikan sisa-sisa konflik dengan Belanda melalui jalur diplomasi. Bagi Oerip, perang gerilya hingga titik darah penghabisan adalah jalan satu-satunya agar Belanda kapok untuk mengusik kemerdekaan Indonesia.

Oerip adalah orang di barisan depan yang menolak keras perjanjian Renville pada 17 Januari 1948. Bagi Oerip, perjanjian itu banyak merugikan Indonesia dan menyia-nyiakan perjuangan rakyat dalam mempertahankan kemerdekaan yang masih seumur jagung.

Selang beberapa hari setelah perjanjian Renville ditandatangani di atas kapal milik Angkatan Laut Amerika Serikat, Oerip mengundurkan diri dari karir kemiliterannya. Sebuah pukulan telak buat TKR karena kehilangan satu sosok terbaiknya.

Pemerintah tak ingin menyia-nyiakan jasa Oerip. Setelah menyatakan mundur, ia diangkat menjadi penasihat Wakil Presiden RI Mohammad Hatta. Beberapa bulan kemudian, pada 17 November 1948, Oerip meninggal dunia akibat serangan jantung.

Dalam karir militernya, pangkat terakhir Oerip adalah Letnan Jenderal (Letjen). Namun, karena jasa-jasanya yang besar dalam pembangunan militer negara, ia secara Anumerta diangkat sebagai Jenderal penuh dan digelari Pahlawan Nasional pada 1964.

Setelah wafat, Oerip juga menerima penghargaan Bintang Sakti pada 1959, Bintang Mahaputra pada 1960, Bintang Republik Indonesia Adipurna pada 1967, dan Bintang Kartika Eka Paksi Utama pada 1968.

Oerip yang Terlupakan

Waktu terus berjalan, zaman telah berubah. Dalam pelajaran sejarah yang menyinggung kisah perjuangan militer Indonesia pra dan pasca kemerdekaan, nama Jenderal Soedirman adalah sosok teratas dan paling dikenal.

Semua orang dari berbagai generasi mengenal Jenderal Soedirman sebagai pahlawan militer paling berjasa di Tanah Air.

Lalu kemana Oerip? Ia hilang bersama ingatan generasi tua yang perlahan mulai meningalkan dunia, satu per satu. Berganti generasi baru, hanya nama Soedirman yang tetap dikenal.

Bahkan, barangkali nama Soedirman akan bernasib sama dengan Oerip di masa yang akan datang, saat generasi yang lebih baru menggantikan generasi saat ini.

Namun, catatan sejarah Indonesia tak pernah melupakan Oerip. Ia tetaplah sosok besar. Jasanya tak ternilai.

Namanya diabadikan dalam banyak nama jalan, termasuk di tanah kelahirannya Puworejo, Yogyakarta maupun Jakarta. Meskipun, lagi-lagi, jalan yang menggunakan nama Oerip pasti tak sebesar yang menggunakan nama Soedirman. (Awan)

Tags

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Close