News
Judo Bukan Soal Diskriminasi Islam, Tapi Aturan Internasional

MATA INDONESIA, JAKARTA – Olimpiade London 2012 menjadi langkah awal yang besar dalam majunya perolahragaan dan tegaknya hak-hak perempuan Arab Saudi.
Sarah Attar dan Wojdan Ali Seraj Abdulrahim Shaherkani menjadi dua atlet perempuan pertama yang diutus kerajaan Saudi sepanjang sejarah Olimpiade.
Dituduh konservatif, sebelum itu Saudi tidak pernah mengirimkan atlet perempuannya ke Olimpiade dengan alasan-alasan berbau agama, terutama syariat Islam.
Tapi, Saudi tak sepenuhnya salah telah melarang perempuannya terjun ke Olimpiade. Soalnya, ada beberapa cabang olahraga yang tidak memperkenankan perempuan memakai hijab, meski itu kewajiban dalam Islam.
Salah satunya adalah cabang olahraga judo.
Sialnya pada saat itu, salah satu atlet perempuan Saudi, Shaherkani yang masih berusia 16 tahun adalah atlet judo kategori kelas berat +78 kilo. Ia tak dibolehkan mengenakan hijab atau jilbab selama bertanding di atas matras.
Presiden Federasi Judo Internasional (IJF), Mariuz Vizer, berkata Shaherkani wajib bertanding tanpa hijab dalam kompetisi judo internasional.
“Dia harus bertanding sesuai dengan prinsip dan semangat judo, jadi tanpa hijab,” kata Vizer, mengutip Arabian Business, 27 Juli 2012.
Dalam aturan main yang ditetapkan IJF, judo tidak boleh menggunakan penutup kepala yang berpotensi menimbulkan risiko kesehatan dan keselamatan atlet. Hijab dianggap sebagai salah satu penutup kepala yang berbahaya.
Tentu saja, aturan main IJF ini menimbulkan kontroversi Saudi. Pejabat olahraga senior Arab Saudi, Pangeran Nawaf bin Faisal bahkan secara tegas berkata kedua atlet hanya boleh bertanding dengan pakaian yang sesuai syariat Islam.
Bukan hanya Kerajaan Saudi yang melarang Shaherkani melepas hijab. Ayahnya mengirim sebuah pesan melalui surat kabar Al Watan yang berisi ancaman bahwa anaknya tidak akan bertanding jika dipaksa melepas jilbab.
Penyelenggara Olimpiade, IJF, Arab Saudi dan Shaherkani akhirnya terjebak dalam kebimbangan yang rumit. Apalagi, ia dijadwalkan bertanding pada 3 Agustus 2012 melawan peringkat 13 dunia, Melissa Mojica, dari Puerto Rico. Waktu semakin menghimpit, solusi pun belum tampak.
Namun, kabar baik akhirnya datang untuk Shaherkani. Ia dibolehkan bertanding melawan Mojica, tapi dengan syarat hijabnya harus dimodifikasi dengan desain khusus yang dianggap tidak menimbulkan faktor risiko ancaman keselamatan.
Itu pun setelah IJF dan Komite Olimpiade Internasional (IOC) melobi Kerajaan Saudi untuk sama-sama mencari jalan keluar agar Shaherkani tetap bertanding.
“Akhirnya kami menyetujui sebuah desain untuk Shaherkani, meskipun saya tidak tahu bagaimana desain ini akan terlihat,” kata Juru Bicara Komite Olimpiade Nasional Saudi, Razan Baker, mengutip Reuters, 31 Juli 2012.
Tanggal 3 Agustus 2012, Shaherkani akhirnya menghadapi Mojica di atas matras. Ia menggunakan penutup kepala berwarna hitam, yang lebih mirip kupluk dibanding hijab, serta masih memperlihatkan bagian lehernya.
Tapi, desain hijab itulah yang menjadi kesepatakan semua pihak. Shaherkani hanyalah seorang atlet yang ingin bertanding di kompetisi internasional dan mencatat sejarah baru dalam perolahragaan Saudi.
Ia hanya bertahan sekitar 1 menit 22 detik melawan Mojica. Maklum, lawannya tergolong tangguh. Tapi, Shaherkani patut bangga, saat memasuki gelanggang tanding, penonton pun serentak berdiri, memberinya sambutan hangat diiringi tepuk tangan yang meriah.
Miftahul Jannah Terdiskualifikasi, Siapa yang Salah?
Asian Para Games 2018 sempat diwarnai dengan keputusan wasit mendiskualifikasi atlet judo tuna netra kelas 52 kilo asal Aceh, Miftahul Jannah, setelah ia enggan melepas hijab atau jilbabnya saat akan bertanding melawan Oyun Gantulga asal Mongolia, Senin 8 Oktober 2018.
Dalam beberapa sumber disebutkan, alasan Miftahul tidak melepas jilbabnya karena tidak ingin auratnya disaksikan lawan jenis. Ia juga menganggap prinsip berjilbab lebih penting dibanding pertandingan sekelas Asian Para Games.
Tapi, tetap saja terdikskualifikasinya Miftahul Jannah menimbulkan pertanyaan lainnya, siapa yang salah? Wasit, atlet, pelatih, penyelenggara, atau aturan judo internasional?
Beredar tudingan bahwa aturan judo telah mendiskriminasi hak-hak perempuan Islam menggunakan jilbab sebagai syariat.
Tudingan itu segera ditepis oleh banyak pihak. Ketua Umum Komite Paralimpiade Nasional (NPC) Indonesia Senny Marbun bahkan menyalahkan pelatihnya Miftahul yang dianggap tidak tahu aturan tentang larangan berjilbab.
Senny berkata Pelatih judo atlet disabilitas Indonesia tidak dapat berbahasa Inggris dan tidak tahu aturan larangan berjilbab ketika ada rapat delegasi teknis dari Komite Paralimpiade Asia.
Tak hanya itu, Senny menyebut sang pelatih tidak meminta tolong kepada sesama pelatih untuk menerjemahkan aturan dalam pertandingan judo.
“Prinsipnya, dalam olahraga tak ada diskriminasi,” kata Senny dalam jumpa pers di Jakarta, mengutip Tempo, Selasa 9 Oktober 2018.
Penanggung jawab judo Asian Para Games 2018, Ahmad Bahar, juga ikut berkomentar. Ia membenarkan bahwa ada aturan pelarangan hijab dalam olahraga judo.
Namun, Ahmad berkata aturan tidak bermaksud mendiskriminasi perempuan Muslim untuk ikut kompetisi. Hanya saja, ada risiko besar yang bisa terjadi dan membahayakan atlet.
“Hal yang perlu ditekankan adalah juri bukan tidak memperbolehkan kaum Muslim ikut bertanding,” ujar Ahmad, mengutip Serambi News, Selasa 9 Oktober 2018.
Sehari setelah didiskualifikasi, Miftahul Jannah akhirnya bercerita mengenai pertandingan yang memaksanya keluar dari gelanggang.
Ia mengaku sebelumnya sudah mengetahui larangan hijab dalam judo, apalagi aturan itu sudah tertera di IJF. Namun, Miftah memaksa ikut bertanding dengan alasan ingin menerobos aturan.
“Apapun yang terjadi, itu memang aturan yang harus dijalankan. Tapi, Miftah punya prinsip yang harus Miftah jalankan,” kata Miftahul saat diwawancarai di rumah dinas Menpora, Selasa 9 Oktober 2018, menguip Detik.
Kenapa Miftahul Jannah Tak Belajar dari Kasus Shaherkani?
Setelah melewati serangkaian lobi yang panjang, IJF, IOC dan Kerajaan Saudi sepakat Shaherkani ikut bertanding dalam pertandingan judo kelas berat pada Olimpiade 2012 di London. Tentu saja dengan syarat, hijabnya harus dimodifikasi agar tidak menimbulkan risiko berbahaya bagi keselamatan.
Semua pihak bergerak cepat. Modifikasi hijab kelar dan dipakai Shaherkani dalam pertandingan melawan wakil Puerto Rico, Mojica.
Sayang sekali, apa yang terjadi dalam kasus Shaherkani tidak terjadi dalam kasus terdiskualifikasinya Miftahul Jannah.
Miftah memilih terdiskualifikasi, padahal ia tahu aturan larangan berhijab dalam judo. Pelatih dan tim judo Indonesia di Asian Para Games 2018 juga seperti pasrah begitu saja tanpa ada inovasi harus berbuat apa dalam kasus Miftah.
Padahal, kabarnya, aturan pelarangan memakai hijab itu sudah disosialisasikan sejak tanggal 7 Oktober 2018. Seharusnya, tim judo tuna netra Indonesia sudah menyiapkan langkah-langkah khusus agar atlet yang berhijab tetap bisa bertanding.
Tapi, nasi sudah jadi bubur. Miftah sudah terdiskualifikasi. (Awan)