Gaya Hidup
‘Mano in Figa’ Simbol Kesuburan yang Berubah Jadi Ajakan Bersenggama

MATA INDONESIA, JAKARTA – Selama ini kita menganggap tanda jempol yang dijepit jari telunjuk dan tengah berarti negatif yaitu mengajak bersenggama atau melecehkan. Maka kita yang diacungi tanda itu marah karena merasa diremehkan.
Betulkah arti simbol itu? Lalu pantaskah kita marah karena arti itu berkonotasi negatif?
Usut punya usut, simbol tersebut ternyata sudah digunakan di zaman Majapahit ketika Hayam Wuruk masih menjadi rajanya.
Konon ceritanya seorang pembesar kerajaan itu, Pamandana, pernah didekati perempuan yang tidak waras. Isyarat jempol dijepit dua jari tersebut pun dia acungkan kepada si perempuan seperti termuat dalam novel sejarah Majapahit: “Bala Sanggrama” karya Langit Kresna Hariadi.
Tetapi tidak ada yang bisa menjelaskan makna yang dipahami saat itu. Begitu juga sampai kapan penggunaannya.
Namun yang jelas simbol tersebut jelas tergambar pada bagian ujung belakang meriam si Jagur yang dulu terpajang di halaman Museum Fatahilah.

Julukan si Jagur sendiri diambil dari nama benteng suci Portugis, St Jago de Barra. Lidah orang Indonesia pun meluruskannya dengan menyebut Si Jagur.
Tetapi dalam bahasa Portugis tanda itu diberinama “mano in figa” yang berarti lambang kepercayaan dan kesuburan.
Itu sebagai cara mengejek orang Belanda di Indonesia yang menjadi musuh besar bangsa Portugis.
Mano berarti tangan dan figa persamaan katanya vulva idiom untuk organ genital perempuan. Simbol jempol dijepit dua jari di ujung meriam itu pun pada tahun-tahun 1960 an atau sebelumnya sering dianggap memiliki kekuatan magis sehingga sering digunakan masyarakat untuk meminta kesuburan.
Pada masa itu banyak perempuan mendatangi meriam berbobot 3,5 ton di halaman Museum Fatahilah itu meminta kesuburan. Mereka menaburkan bunga di muka meriam itu setiap Kamis.
“Mereka mengakhiri ‘upacara’ dengan duduk di atas meriam itu supaya kelak dapat menjadi hamil,” begitu tulis paderi katolik Adolf Heuken dalam buku-bukunya soal sejarah Jakarta.
Di era Gubernur Ali Sadikin, meriam Si Jagur dipindahkan ke halaman utara Museum Fatahillah. Sejak itu tidak ada lagi ritual meminta kesuburan kepada si meriam.